Wednesday, April 14, 2010

Seni Tutur Besemah yang Nyaris Punah, Pagaralam.


Seni Tutur Besemah yang Nyaris Punah

Selasa, 9 Maret 2010 | 09:00 WIB

KOMPAS/EDDY HASBY
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, didampingi Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri, Wakil Bupati Lahat Sukadi Duaji, dan Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo, melepas tim Ekspedisi Jelajah Musi 2010 di Desa Tanjung Raya, Pendopo, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Senin (8/3). Pada etape pertama, tim ekspedisi menempuh rute Tanjung Raya-Tebing Tinggi yang berjarak 35 kilometer dengan kondisi sungai yang penuh jeram dan riam.
TERKAIT:
Giliran Tebing Tinggi-Muara Kelingi Disusuri
Tim Jelajah Musi 2010 Selesaikan Rute "Seram"
Warga Sambut Tim Jelajah Musi 2010
Seni Guritan Warnai Pelepasan Jelajah Musi 2010
KOMPAS.com - Perkembangan dunia komunikasi, informasi, dan hiburan membuat sastra tutur sebagai warisan budaya nenek moyang semakin terdesak. Jika tetap dibiarkan tanpa upaya pelestarian yang berarti, media pewarisan nilai dan tradisi masyarakat-masyarakat adat itu terancam punah.

Hal itu juga dialami seni tutur suku Besemah di kawasan Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat, dan Kabupaten Empat Lawang di Sumatera Selatan. Besemah juga disebut Pasemah, istilah warisan Belanda terhadap suku Besemah.

Ketua Lembaga Adat Besemah Haji Akhmad Amran di Pagar Alam, Selasa (16/2) lalu, mengatakan, dari delapan jenis seni tutur Besemah, semua nyaris ditinggalkan, bahkan tidak dikenali lagi oleh warganya.

Seni tutur yang saat ini sedang gencar diperkenalkan kembali adalah guritan. Isi dari guritan biasanya menggambarkan tentang sejarah perjuangan, sanjungan kepada pahlawan, legenda, kisah hidup seseorang, atau cerita rakyat yang diguritkan atau dibawakan dalam bentuk nyanyian. Karena dinyanyikan, cerita-cerita itu menjadi enak didengar.

Salah satu seni tutur yang paling sulit berkembang adalah tangis ayam atau berimbai. Seni ini hanya diungkapkan dalam kondisi kesedihan yang sangat sendu. Jenis ini biasanya dinyanyikan oleh ibu atau nenek pada pagi hari yang teringat kematian anak atau cucunya.

Ratap kesedihan itu terdengar oleh kaum perempuan lain di sekitarnya. Alhasil, ratapan individu itu berkembang menjadi ratapan kolektif yang dinyanyikan secara bersama.

”Tangis ayam paling sulit berkembang karena memang hanya dinyanyikan pada saat tertimpa musibah besar saja. Walau irama lagu tangis ayam sangat mendayu-dayu dan enak didengar, namun karena tujuan dan situasinya sangat tidak mengenakkan, seni ini jarang dituturkan lagi,” tutur Amran.

Betembang

Selain guritan dan tangis ayam, seni tutur Besemah lain yang nyaris hilang adalah betembang, tadut, ngicik panjang, andai-andai, rejung besemah, dan meringit.

Betembang umumnya dinyanyikan orang dengan keras dalam suasana mencekam di hutan untuk mengusir sepi. Nyanyian ini juga dimaksudkan untuk mengusir binatang buas, setidaknya menjauh, dan sebagai petunjuk kepada orang lain di hutan bahwa ada dia di tempat itu.

Tadut adalah seni tutur baru yang masuk setelah Islam masuk ke wilayah dataran Besemah. Ia menjadi sarana penyebaran agama dan dakwah Islam yang efektif karena masyarakat saat itu masih buta huruf.

Adapun ngicik panjang adalah tuturan yang berupa senda gurau berbentuk obrolan panjang dan dilakukan minimal oleh dua orang. Model ini banyak menggunakan bahasa sindiran.

Rejung besemah adalah seni tutur yang mengungkapkan kesedihan, jengkel, putus asa, dan kesusahan. Seni ini mirip dengan tangis ayam, tetapi tingkat kesedihannya tidak semendalam tangis ayam dan lagunya lebih datar dibandingkan dengan tangis ayam yang lebih mendayu-dayu.

Sementara meringit adalah seni tutur ringan yang isinya sekadar mengisi kekosongan semata. Bentuk tuturan ini juga bisa dinyanyikan sambil bekerja dengan ungkapan bebas. Seni tutur ini juga dapat dibawakan tanpa perlu ada orang yang mendengarkannya.

Dari seluruh bentuk seni tutur Besemah tersebut, hanya ngicik panjang, andai-andai, dan meringit yang dibawakan tanpa lagu.

Penurunan penggunaan seni tutur Besemah dimulai sejak invasi Jepang ke Pagar Alam tahun 1943. Berbagai seni tradisi, termasuk seni tutur, tertekan karena banyak pekerja seni yang tewas atau menjadi romusa. Alat-alat kesenian mereka, baik alat musik maupun pakaian, banyak yang dijual karena impitan ekonomi yang parah saat itu.

Hilangnya pekerja seni membuat lambat laun berbagai seni tradisi itu sulit diteruskan dan menghilang.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, kata Amran, kondisi seni tradisi Pagar Alam makin terpuruk. Pagar Alam, yang ketika itu menjadi bagian dari Kabupaten Lahat, membuat seni tradisi kota tersebut tergencet oleh seni tradisi Lahat.

Setelah Pagar Alam menjadi kota otonom tahun 2001, kesadaran untuk melestarikan berbagai seni tradisi itu muncul kembali. Namun, untuk menghidupkannya kembali bukan perkara mudah.

Arman Idris, pengajar seni guritan di sejumlah sekolah di Pagar Alam, mengatakan, rata-rata seni menjadi pekerjaan sampingan bagi pekerja seni di daerah tersebut. Pekerjaan utama mereka adalah menjadi petani, khususnya kopi.

Untuk fokus pada pengembangan seni jelas tidak mungkin karena memang pekerjaan seni belum bisa menghasilkan. Ditambah lagi, tidak ada tunjangan apa pun dari pemerintah setempat bagi mereka.

Untuk melestarikan seni tutur Besemah, khususnya guritan, Arman memperkenalkannya kepada anak-anak sekolah di Pagar Alam dalam bentuk pelajaran tambahan dan pembentukan sanggar-sanggar seni. Kini, secara perlahan, guritan mulai banyak dilakukan anak-anak muda Pagar Alam walau masih terbatas. Namun, langkah itu setidaknya dapat menyelamatkan salah satu jenis seni tutur Besemah. (Zaid Wahyudi/Buyung Wijaya Kusuma)