Sriwijaya Post - Jumat, 26 Maret 2010 08:45 WIB
SELAMA berabad-abad, rakyat Besemah menjadi “penjaga” atau pengawal wilayah kesultanan dari ancaman yang berasal dari daerah perbatasan. Sikap ini pula yang menyebabkan Belanda kesulitan menaklukkan Palembang (baca: Sumatera Selatan) pasca-jatuhnya Kesultanan Palembang Darussalam, 1821. Besemah (Pagaralam, Empat Lawang, dan daerah sekitarnya) tercatat sebagai wilayah terakhir yang dikuasai Belanda, yaitu sekitar 1860-an.
Belanda juga mengalami kesulitan untuk menangkap “pemberontak” dari Palembang yang melarikan diri ke Besemah. Hal ini disebabkan sifat Beganti “sifat dan sikap setia kawan” yang dipegang teguh oleh rakyat Besemah. Sebagai catatan, Kesultanan Palembang menempatkan Besemah sebagai Sindang. Dalam perspektif berbeda, rakyat Besemah memandang Palembang dalam hubungan kelawai-muanai atau ikatan persaudaraan lelaki-perempuan. Palembang dalam kaitan dengan Puyang Atung Bungsu merupakan saudara perempuan rakyat Besemah yang mesti dilindungi.
Karakter yang terbentuk kolektif oleh sejarah itulah yang membuat rakyat Besemah memegang banyak prinsip baik dalam kehidupan. Apalagi, pesan baik biasanya dalam bentuk ujar-ujar itu dipandang sebagai pesan Puyang (leluhur) yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.