KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH
NASKAH MELAYU YANG TERTUA
ULI KOZOK, PH.D
KITAB UNDANG-UNDANG TANJUNG TANAH
NASKAH MELAYU YANG TERTUA
Alih Aksara:
Hassan Djafar, Ninie Susanti Y & Waruno Mahdi
Alih Bahasa:
Achadiati Ikram, I Kuntara Wiryamartana, Karl Anderbeck, Thomas
Hunter, Uli Kozok, & Waruno Mahdi.
Yayasan Naskah Nusantara
Yayasan Obor Indonesia
Jakarta
2006
Hak Cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
© Uli Kozok
Diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Obor Indonesia
dengan bantuan
The Ambassador’s Fund for Cultural Preservation
dan Yayasan Naskah Nusantara
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka
Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................ vii
Pendahuluan..................................................................ix
Kerinci ..................................................................... 1
Ulu dan Ilir .................................................................7
Kebangkitan Kembali Kerajaan Malayu.......................................................................11
Pamalayu: Hubungan dengan Singasari di Masa Awal Kerajaan Malayu ............13
Kerajaan Malayu di Suruaso .....................................................................17
Dari Muara Jambi ke Dharmasraya .................................................................18
Dari Dharmasraya ke Suruaso......................................................................19
Hubungan Adityawarman dengan Majapahit ...................................................................26
Pusaka: Naskah Kerinci......................................................................31
Pelestarian Pusaka secara Tradisional ................................................................ 32
Aksara dan Media Tulis....................................................................... 35
Bambu....................................................................... 37
Tanduk...................................................................... 38
Kertas ..................................................................... 39
Kulit Kayu ..................................................................41
Daun Lontar .................................................................41
Naskah Tanjung Tanah....................................................................... 43
Ringkasan Isi ...............................................................44
Aksara ......................................................................50
Aksara Pasca-Palawa.......................................................................50
Surat Incung.................................................................51
Surat Ulu dan “Aksara Minangkabau” ................................................................55
Bahan .......................................................................58
Analisis Radiokarbon................................................................. 59
Alih Aksara dan Alih Bahasa...................................................................... 63
Alih Aksara (1) ......................................................................... 63
Alih Aksara (2) ..........................................................................78
Alih Bahasa..................................................................79
Gambar .......................................................................91
Indeks ......................................................................161
Kepustakaan..................................................................165
Kata Pengantar
Buku ini mengenai sebuah naskah yang
pertama kali saya lihat di tahun 2002 di
sebuah kampung yang terletak di pinggir
Danau Kerinci. Di kemudian hari menjadi
nyata bahwa naskah sederhana yang disimpan
sebagai pusaka oleh penduduk Tanjung Tanah
merupakan naskah Melayu yang tertua di
dunia.
Kunjungan pertama saya ke Kerinci
merupakan kenangan tersendiri. Kolega saya
di Universitas Auckland, Drs. Eric van Reijn,
telah memperkenalkan saya dengan Bapak
Sutan Kari, seorang tokoh terkemuka di
Kerinci. Setiba di setasiun bus di Sungai
Penuh di tahun 1999 saya dijemput oleh Sutan
Kari dan pada pagi hari itu juga beliau
langsung mempertemukan saya dengan Bupati
Kerinci, Fauzi Siin. Kedatangan saya ternyata
disambut hangat oleh Pak Bupati.
Ketika saya beritahu bahwa maksud kedatangan
saya untuk meneliti aksara Kerinci yang
disebut surat incung, beliau secara spontan
menawarkan uluran tangan pemerintah daerah
untuk membantu kami dalam penelitiannya.
Bupati menyediakan mobil dinas, dan pemerintah
daerah juga sepenuhnya menanggung
biaya penginapan kami selama dua minggu.
Selain bantuan material yang kami peroleh
dari pemerintah daerah Kerinci, lebih penting
lagi adalah kesediaan bupati beserta stafnya
untuk senantiasa membantu kami dalam
segala urusan.
Selama di Kerinci saya terutama dibantu
oleh Bapak Sutan Kari dan Bapak Amir Gusti.
Keduanya adalah tokoh senior yang
dipercayai oleh masyarakat Kerinci sehingga
saya dengan mudah mendapat izin untuk
melihat koleksi-koleksi pusaka dan menyalin
naskah yang terdapat di antara pusaka yang
dijunjung tinggi oleh pemiliknya sebagai
warisan leluhur.
Dalam penyalinan naskah kami dibantu
oleh Bapak Iskandar Zakaria, seorang
seniman dan budayawan yang menjadi terkenal
karena batik Mushaf Al Quran yang selama
bertahun-tahun dilukisnya sehingga mencapai
panjangnya 1.919 meter. Beliau juga
termasuk di antara sedikit orang di Kerinci
yang masih mengetahui aksara Kerinci.
Terima kasih pula saya haturkan kepada
semua masyarakat Kerinci, dan terutama para
pemilik naskah Tanjung Tanah, atas segala
bantuan yang diberikan.
Setelah saya diberitahu oleh Rafter
Radiocarbon Laboratory di Wellington bahwa
umur naskah Tanjung Tanah lebih dari 600
tahun, maka saya menghubungi beberapa
orang peneliti untuk bersama-sama mengusahakan
transliterasi dan terjemahan naskah
Tanjung Tanah. Kegiatan tersebut dikoordinasi
oleh Yayasan Naskah Nusantara
(YANASSA) dengan dana dari Ambassador’s
Fund for Cultural Presentation yang kami
peroleh dari Kedutaan Amerika Serikat di
viii
Jakarta. Dalam hal ini kami dibantu oleh John
McGlynn dari Yayasan Lontar, Jakarta.
Yanassa kemudian mengadakan lokakarya
seminggu di Jakarta yang dihadiri oleh ketua
Yanassa Prof. Dr. Achadiati Ikram, Drs.
Hasan Djafar, Karl Anderbeck, Dr. Ninie
Susanti Y, Dr. Romo Kuntara Wiryamartana,
Dr. Thomas Hunter, dan Waruno Mahdi. Tim
inti lokakarya dibantu oleh Amyrna Leandra,
Dra. Dwi Woro Mastuti, Prof. Dr. Edi Sedyawati,
Made Suparta, Dra. Mujizah, Munawar
Holil, Yamin, dan Dr. Titik Pudjiastuti yang
juga merangkap sebagai ketua panitia.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada Dr. K.A. Adelaar yang berhalangan
mengikuti lokakarya tersebut, tetapi
memberi sumbangan yang berarti. Ucapan terima
kasih juga kami haturkan kepada pihak
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia,
serta kepada beberapa individu yang memberi
saran dan masukan yang berharga, termasuk
Isamu Sakamoto dari Tokyo Restoration and
Conservation Center, serta kolega saya di
University of Hawaii, Prof. Dr. Stephen
O’Harrow, dan Roderick Orlina, mahasiswa
Asian Studies di universitas yang sama.
Saya juga berterima kasih kepada Tim
Behrend, Henri Chambert-Loir, Annabel Teh
Gallop, Edmund Edwards McKinnon, dan Ian
Proudfoot atas masukan dan saran-saran yang
diberi pada dua edisi terdahulu mengenai
naskah Tanjung Tanah yang telah terbit
(Kozok, 2004a,b).
Pendahuluan
Kebudayaan Melayu merupakan salah satu
kebudayaan tertua di Nusantara1 yang sudah
lebih dari seribu lima ratus tahun mengenal
tulisan. Istilah Melayu sendiri dapat dipastikan
sama tua atau barangkali malahan lebih
tua lagi daripada sejarah keberadaan aksara di
bumi Melayu. Istilah Malayu pertama kali
muncul pada tahun 671 M oleh seorang biksu
Tiongkok bernama I-Tsing yang pada saat itu
bermukim di kerajaan Malayu (Jambi) yang
terletak di lembah Batang Hari untuk memperdalam
pengetahuan mengenai filsafat agama
Buda. Kemudian ia pindah ke kerajaan
Sriwijaya yang pusatnya berada di lembah
sungai Musi di sekitar kota Palembang untuk
menyalin dan menerjemahkan naskah-naskah
Sansekerta. Dari sini I Tsing melaporkan di
tahun 689 bahwa Malayu telah kehilangan
kedaulatannya pada Sriwijaya. Mulai saat itu
semua utusan yang dikirim ke negeri Tiongkok
berasal dari Sriwijaya, dan tidak satu pun
lagi dikirim dari Malayu. Selama berabadabad
Sriwijaya tetap berjaya sebagai kerajaan
yang mahakuasa, dan tidak pelak lagi bahwa
Sriwijaya patut dipandang sebagai tempatnya
kebudayaan Melayu berkembang di sepanjang
abad.
Serangan pasukan Cola dari India Selatan
1 Dalam buku ini istilah Nusantara merujuk pada kawasan
Asia Tenggara yang berbahasa Austronesia (Filipina,
Indonesia, dan Malaysia).
yang terjadi di tahun 1025 menjadi pukulan
berat bagi Sriwijaya sehingga kerajaan
Malayu sempat bangkit lagi. Masa kebangkitan
kembali berlangsung sampai pada akhir
abad kelima belas ketika hampir seluruh
kawasan Indonesia bagian barat berada di
bawah kekuasaan Majapahit, yang dilaporkan
telah menyerang dan menghancurkan baik
Jambi maupun Palembang. Namun, runtuhnya
Sriwijaya dan Malayu bukan berarti bahasa
Melayu kehilangan tempat di sejarahnya.
Malahan sebaliknya bahasa Melayu yang
sekarang tidak lagi ditulis dengan aksara
pasca-Palawa melainkan dengan huruf jawi,
berkembang menjadi bahasa yang terpenting
di kawasan Asia Tenggara. Pada abad keenam
belas bahasa Melayu meraih puncak kejayaannya.
Bahasa Melayu luas digunakan di kalangan
para saudagar, dan malahan menjadi
bahasa utama dalam hubungan antarnegara.
Pada saat ini, ketika hampir seluruh alam
Melayu telah memeluk agama Islam, tradisi
pernaskahan Melayu meraih puncak kejayaannya.
Huruf jawi sudah mulai menggeser
aksara pasca-Palawa di berbagai tempat sedini
abad ke-14 sebagaimana disaksikan oleh prasasti
jawi tertua, yaitu prasasti Terengganu
yang bertarikh 1326 M atau 1386 M. Diilhami
oleh tradisi pernaskahan Islam berkembanglah
tradisi pernaskahan Melayu yang tidak merupakan
tiruan belaka melainkan memiliki jati
x
diri sendiri.
Pada awal abad ketujuh belas kebudayaan
Melayu merupakan salah satu kebudayaan terpenting
dan berpengaruh di Nusantara dan
bahasa Melayu yang telah sangat dipengaruhi
oleh agama Islam dengan masuknya ratusan
kata serapan dari bahasa Arab dan Parsi
(Persia), malahan menjadi bahasa yang dipilih
oleh para misionaris untuk menyiarkan agama
Nasrani yang diprakarsai oleh bangsa Portugis,
dan kemudian dilanjutkan oleh bangsabangsa
Eropa lainnya, terutama Belanda dan
Jerman.
Bahasa Melayu juga digunakan oleh
penjajah Eropa (Belanda dan Inggris) sebagai
bahasa pengantar di bidang administrasi dan
komunikasi dengan bangsa “pribumi” di seluruh
kawasan penjajahan Inggris dan Belanda
termasuk di daerah yang tidak berbahasa
Melayu seperti di Jawa, Bali, dan Indonesia
bagian timur. Bahasa Melayu kini menjadi
bahasa nasional di Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, dan Singapura dengan jumlah
penutur yang mencapai hampir 250 juta
orang.
Prasasti-prasasti yang diwariskan oleh Sriwijaya
yang semuanya berasal dari abad ketujuh
dan berbahasa Melayu Tua membuktikan
bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang
sangat tua, akan tetapi pengetahuan kita tentang
perkembangan bahasa Melayu sesudah
itu sangat terbatas. Hal itu dikarenakan
jarangnya prasasti yang berbahasa Melayu,
sementara naskah Melayu yang ditulis pada
kertas tidak dapat bertahan lama di iklim
tropis sehingga hanya sejumlah kecil naskah
yang ditulis sebelum abad ketujuh belas masih
ada sampai sekarang.
Karena kebanyakan naskah Melayu yang
sebelumnya diketahui ditulis dengan huruf
jawi maka malahan ada pakar yang meragukan
bahwa sebelum zaman Islam pernah
ada tradisi pernaskahan Melayu. Dengan ditemukannya
naskah Tanjung Tanah terbukti
bahwa orang Melayu memiliki tradisi naskah
pra-Islam. Naskah Tanjung Tanah yang
berasal dari abad keempat belas juga menunjukkan
bahwa orang Melayu pernah menggunakan
kulit kayu sebagai media tulis, dan
tidak ada alasan untuk menolak lagi dugaan
bahwa di dahulu kala juga ada naskah Melayu
yang ditulis di media lain seperti buluh, daun
palem dan sebagainya, dan bahwa tradisi pernaskahan
sudah berkembang sejak abad
ketujuh. Dengan ditemukannya naskah Tanjung
Tanah maka semua teori tentang sejarah
keberaksaraan di alam Melayu perlu ditinjau
kembali.
Naskah Tanjung Tanah sebetulnya “ditemukan”
dua kali, pertama di tahun 1941 oleh
Petrus Voorhoeve yang pada saat itu menjabat
sebagai taalambtenar (pegawai bahasa di
zaman kolonial) untuk wilayah Sumatra, dan
kedua kali oleh Uli Kozok di tahun 2002.
Sebagai taalambtenar, Petrus Voorhoeve
dua kali mengunjungi Kerinci di bulan April,
dan sekali lagi di bulan Juli 1941, untuk mendaftarkan
naskah Kerinci yang merupakan bagian
dari pusaka yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat Kerinci. Semua naskah yang ditulis
di tanduk kerbau atau tanduk kambing
dan juga naskah yang ditulis pada ruas bambu
yang panjang dengan menggunakan surat
incung – variasi surat ulu yang digunakan di
Kerinci2 – disalin atau langsung ditranslitera-
2 Di Sumatra, aksara lazim disebut sebagai surat, misalnya
Surat Batak, Surat Lampung, dsb. Setiap abjad lokal
memiliki nama tersendiri. Di berbagai daerah abjad lokal
xi
si, sementara naskah kertas, kulit kayu, dan
daluang difoto, dan naskah daun lontar yang
bertuliskan “sejenis aksara Jawa” disalin
dengan sangat teliti. Di kediamannya di
Kabanjahe, Sumatra Utara, Voorhoeve
menyelesaikan transliterasi naskah-naskah
Kerinci dibantu oleh Abdulhamid – seorang
guru sekolah dari Kerinci. Ketika Voorhoeve
dipanggil untuk menjalankan wajib militer
pada 8 Desember 1941 sekretarisnya mengetik
daftar ke-252 naskah Kerinci setebal 181
halaman yang diberi judul Tambo Kerinci.
Kemudian keenam salinan tersebut dikirim ke
Kerinci, Batavia (Jakarta), dan Belanda.
Ternyata pada saat itu Jepang menyerang
Hindia-Belanda, dan salinan yang dikirim ke
Bataviaasch Genootschap (Lembaga Kebudayaan
Indonesia) serta ke perpustakaan
KITLV di Belanda tidak pernah tiba di tempat
tujuannya, sementara salinan yang dikirim ke
Kerinci juga dianggap hilang. Lebih dari tiga
puluh tahun kemudian diketahui bahwa salinan
yang dikirim ke Kerinci ternyata sampai,
dan ditemukan kembali oleh seorang antropolog
Inggris di tahun 1975 (Watson, 1976).
Watson lalu membawanya ke Belanda dan
menyerahkannya kepada Voorhoeve. Tambo
Kerinci itu kini disimpan di perpustakaan
Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land-, en
Volkenkunde (KITLV) di Leiden, Belanda,
dengan nomor inventaris D Or. 415.
Yakin Tambo Kerinci memang hilang,
Voorhoeve menerbitkan daftar sementara naskah
Kerinci di majalah BKI, Nomor 126
(Voorhoeve, 1970). Di No. 160 daftar tersebut
(sama dengan No. 214 di Tambo Kerinci)
disebut sebagai surat ulu (aksara yang digunakan di
daerah ulu atau hulu, yaitu kawasan pegunungan Bukit
Barisan). Abjad Kerinci lazim disebut surat incung.
Voorhoeve menyebutkan sebuah naskah daluang
dari Tanjung Tanah di mendapo Seleman
(terletak sekitar 15 kilometer dari ibu kota
Kerinci, Sungai Penuh), yang pernah dilihatnya
pada tanggal 9 April 1941. Pada saat itu
beliau sempat mengambil foto naskah tersebut
namun mutu gambar kurang memuaskan:
“Keadaan di Tanjung Tanah, di atas jembatan
beratap dikelilingi kerumunan orang enak dipandang,
tetapi kurang sesuai untuk mengambil
foto” (ibid, hal. 384). Naskahnya berupa
“buku kecil yang dijilid dengan benang
[…berisikan] dua halaman beraksara rencong,
halaman-halaman lainnya beraksara Jawa
Kuno. […] Teks naskah tersebut merupakan
versi Melayu dari buku undang-undang Sarasamucchaya
[...] Sebagian besar teks terdiri
atas daftar denda. Saya ingat dengan pasti
bahwa nama Dharmasraya disebut dalam teks.
Di tempat inilah didirikan patung Amoghapasa
di tahun Saka 1208 (1286 M)” (ibid, hal.
385).
Voorhoeve pasti menyadari keistimewahan
naskah yang ditemukannya, misalnya dengan
menyebutnya ”jelas pra-Islam” (ibid, hal.
389), namun beliau tidak sampai pada sebuah
kesimpulan, mungkin karena jarak waktu
yang hampir 30 tahun sesudah ia melihat naskahnya
dengan mata sendiri.
Setelah Watson menemukan Tambo Kerinci
dan mengirimnya ke Leiden, Voorhoeve
juga tidak menulis lagi tentang naskah tersebut,
mungkin karena pada saat itu ia sangat
sibuk dengan studi Batakologinya. Melihat
daftar pustakanya selama paruh kedua tahun
70an, Voorhoeve menyelesaikan sebuah buku
tebal yang tentu makan waktu banyak
(Voorhoeve, 1975). Satu lagi alasannya mengapa
Voorhoeve tidak lagi menaruh perhatian
xii
pada naskah Tanjung Tanah mungkin karena
dikiranya bahwa naskah itu barangkali sudah
hilang selama masa perang dan revolusi.
Antara tahun 1999 dan 2004 penulis
beberapa kali mengunjungi Kerinci untuk
melanjutkan penelitian mengenai paleografi
aksara surat di Sumatra sesudah menyelesaikan
bagian pertama dari penelitian tersebut
dengan menerbitkan buku yang membahas
surat Batak (Kozok, 1999). Pada Juli 2002
penulis pertama kali berkunjung ke Tanjung
Tanah dan menemukan naskah daluang masih
dalam keadaan seperti diceritakan oleh
Voorhoeve. Ternyata naskah tersebut tetap
bertahan dan tidak diganggu oleh perang,
revolusi, kobaran api, atau gempa bumi.
Pada beberapa kesempatan penulis sempat
mengumumkan penemuan ‘baru’ ini,
termasuk pada Simposium Internasional ke-8
Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(MANASSA) di Jakarta, dan di dalam sebuah
buku yang masih belum terbit (Kozok,
[forthcoming]). Di situ diuraikan kemungkinan
bahwa naskah Tanjung Tanah berasal dari
abad ke-14 dan merupakan naskah Melayu
yang tertua karena empat hal berikut:
1. Di dalam teks naskah tidak terdapat kata
serapan dari bahasa Arab sehingga dapat
disimpulkan bahwa naskah tersebut berasal
dari zaman pra-Islam. Penanggalan ini tentu
sangat relatif apalagi mengingat betapa sedikit
kita ketahui tentang masuknya agama Islam
ke pedalaman Jambi. Namun demikian,
sebuah naskah yang terdiri dari teks undangundang
dan tidak mengandung kata serapan
Arab dapat dipastikan melebihi umur 300
tahun karena bahkan naskah yang dari abad
ke-16 sudah padat dengan kata serapan dari
bahasa Arab. Malahan, menurut pendapat
Johns, “tidak ada karya sastra yang lebih tua
dari abad kelima belas, dan tidak ada satu pun
naskah yang tidak mengandung kata serapan
dari bahasa Arab, dan yang tidak ditulis
dengan huruf Jawi" (Johns, 1963).
2. Maharaja Dharmasraya dua kali disebut
dalam naskah Tanjung Tanah sementara
kerajaan Dharmasraya hanya disebut pada
sumber-sumber sejarah dari abad ke-13 dan
ke-14. Hal tersebut merupakan petunjuk kuat
bahwa naskah itu ditulis sebelum abad ke-15.
3. Sebagian besar naskah ditulis dalam
bahasa Melayu namun terdapat juga kata
pengantar serta penutup yang berbahasa
Sansekerta, yang memuja Maharaja Dharmasraya.
Hal itu sangat berbeda dengan konvensi
yang mana biasa terdapat pada teks yang
berasal dari zaman Islam.
4. Pada naskah Tanjung Tanah, selain teks
beraksara pasca-Palawa, terdapat satu lagi
teks yang beraksara surat incung. Jenis aksara
yang digunakan di sini jelas lebih tua daripada
semua naskah Kerinci yang selama ini
diketahui.
5. Naskah Tanjung Tanah tertanggal dengan
menggunakan tahun Saka namun tahunnya
tidak terbaca. Penggunaan tahun Saka dan
bukan tahun Hijrah jelas menunjukkan bahwa
naskah berasal dari zaman pra-Islam.
Voorhoeve dan Poerbatjaraka (yang mentransliterasikan
naskah Tanjung Tanah)
menyebut aksaranya sebagai “Jawa Kuno”
karena jenis huruf yang digunakan memang
mirip dengan aksara Jawa Kuna. Penulis telah
menghubungi beberapa pakar meminta bantuan
untuk menafsirkan usia naskah Tanjung
Tanah secara paleografi. Dua di antara empat
pakar yang dihubungi, cenderung bahwa
naskah Tanjung Tanah berasal dari abad kexiii
17 atau ke-18 sementara yang dua lagi
beranggapan bahwa akasaranya berasal dari
abad ke-13 sampai ke-15. Karena tidak ada
satu dari keempat pakar yang mendukung
pendapatnya dengan bukti yang kuat maka
penulis mencari alternatif untuk menentukan
tanggal naskah itu, yaitu dengan menggunakan
metode penanggalan radiokarbon yang
sampai sekarang belum pernah digunakan
untuk menentukan usia naskah Nusantara.
Selama bulan Mei 2003 penulis kembali
lagi ke Tanjung Tanah dan minta izin dari
yang empunya naskah untuk mengambil
sebuah sampel kecil yang diambil dari salah
satu dari halaman yang kosong. Potongan
sampel yang kecil itu kemudian dikirim ke
Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington,
New Zealand. Hasil laboratorium tertanggal
18 November 2003 membenarkan dugaan
Voorhoeve bahwa naskah Tanjung Tanah
benar dari zaman pra-Islam, dan – dengan
usia yang melebihi enam ratus tahun – juga
merupakan naskah Melayu yang tertua yang
pernah ditemukan.
Naskah Tanjung Tanah sampai sekarang
masih disimpan di Kerinci, tetapi berasal dari
Dharmasraya yang terletak di tepi Batang
Hari di perbatasan antara Jambi dan Sumatra
Barat. Ditulis oleh Dipati Kuja Ali atas
perintah sang maharaja, naskah ini merupakan
kitab undang-undang yang dikeluarkan oleh
kerajaan Dharmasraya untuk menetapkan
hukum di Kerinci. Isi dari naskah tersebut
akan diuraikan dengan lebih terinci di buku
ini.
Dalam dua bagian buku pertama penulis
menguraikan kedudukan Kerinci dalam peta
politik Sumatra di zaman prapenjajahan.
Walaupun terletak jauh dari jalur perdagangan
internasional di Selat Malaka, daerah
pedalaman seperti Kerinci memainkan peranan
yang penting dalam peta politik dan ekonomi
Jambi/Sumatra Barat karena kaya akan
penduduk dan hasil hutan, hasil pertanian,
serta hasil pertambangan, terutama emas.
Dalam tiga bagian buku berikut penulis
meninjau kembali sumber-sumber sejarah dari
akhir abad ketiga belas sampai akhir abad
keempat belas yang merupakan periode
kebangkitan kembali kerajaan Malayu yang
mengalami masa kejayaan selama pemerintahan
Akarendrawarman dan Adityawarman
di Sumatra Barat. Ternyata perpindahan
ibu kota dari Muara Jambi di Selat Malaka ke
Dharmasraya di bagian ulu Batang Hari dan
kemudian ke daerah pegunungan Minangkabau
merupakan upaya raja-raja Malayu untuk
mencari jati diri baru dengan mengeksploitasi
sumber pedalaman sehingga pada awal abad
ke-14 proses transformasi telah selesai dengan
berbentuknya kerajaan Malayu-Minangkabau
yang berpusat di Suruaso. Proses penyesuaian
ini juga didukung oleh keadaan geopolitis dan
ekonomi yang telah mengalami perubahan
dengan runtuhnya monopoli perdagangan di
Selat Malaka dan terancamnya keamanan dari
pihak Sukothai dan kerajaan Tiongkok.
Hubungan kerajaan Malayu dengan kerajaan
Singasari dan Majapahit juga ditinjau secara
mendetail. Penulis cenderung untuk mengikuti
teori yang dikemukakan oleh Berg dan
kemudian didukung oleh De Casparis yang
melihat peristiwa Pamalayu sebagai “perjanjian
dengan Malayu” dan bukan penaklukan
Malayu melalui serangan militer.
Karena naskah Tanjung Tanah yang
berasal dari Dharmasraya ditemukan di Kerinci,
maka dianggap perlu memasukkan satu baxiv
gian buku yang secara umum membahas naskah
Kerinci sebagai bagian dari pusaka yang
sampai sekarang masih dijunjung tinggi oleh
masyarakat Kerinci.
Bagian buku terakhir secara khusus
membahas naskah Tanjung Tanah, termasuk
penanggalannya secara radiokarbon yang memastikan
bahwa naskah berasal dari abad keempat
belas. Buku ini ditutup dengan alih
aksara naskah Tanjung Tanah yang dilakukan
oleh Drs. Hasan Djafar, Dr. Ninik dan Waruno
Mahdi, dan terjemahan yang merupakan
upaya terpadu oleh sejumlah pakar selama
lokakarya satu minggu yang khusus diadakan
untuk mentransliterasi dan menerjemahkan
naskah Tanjung Tanah di kampus Universitas
Indonesia pada bulan Desember 2004.
Kerinci
Ahli antropologi C.W. Watson yang sejak
tahun 70an mengadakan berbagai penelitian di
Kerinci pernah mengatakan bahwa “Kerinci
adalah daerah yang penting di Indonesia tetapi
jarang diminati oleh para pakar” (Watson,
1976:45). Hal ini mengherankan mengingat
bahwa Kerinci merupakan sebuah tempat
yang cukup menarik, dengan iklim yang
sejuk, gunung api yang menakjubkan,
kampung-kampung yang indah dan bersih,
dan penduduk yang sangat ramah. Kabupaten
Kerinci terletak di tengah-tengah Taman
Nasional Kerinci Seblat, salah satu taman
nasional yang terdiri dari berbagai jenis
ekosistem, dan keanekaan flora dan fauna
yang luar biasa. Namun, sebagaimana taman
nasional lainnya di Indonesia di masa kini,
TNKS pun tidak luput dari kerakusan
sekelompok orang yang meraih untung yang
luar biasa besar dari penebangan kayu secara
ilegal.
Lembah Kerinci dikelilingi gunung yang
hijau, dan gunung yang paling menonjol adalah
Gunung Kerinci yang, dengan ketinggian
3.805m di atas permukaan laut, merupakan
gunung tertinggi di Indonesia bagian barat.
Gunung api ini masih aktif tetapi tidak menimbulkan
letusan yang membahayakan penduduk.
Alam Kerinci lebih rawan karena gempa
bumi yang sering menimbulkan bencana.
Gempa bumi terakhir yang mencapai 7,0 di
skala Richter terjadi pada bulan Oktober 1995
dan meminta lebih dari seratus korban.
Di antara lima belas danau di lembah
Kerinci yang relatif datar, Danau Kerinci yang
terletak pada ketinggian 650m di atas permukaan
laut, merupakan danau yang terbesar
(4.200 ha). Terletak di bagian selatan Kerinci,
16 km dari Sungai Penuh, Danau Kerinci
merupakan sumber Batang Merangin, anak
sungai dari Batang Hari. Di bagian hilir
Batang Hari terletak kota Jambi yang menjadi
ibu kota propinsi Jambi, dan kabupaten
Kerinci merupakan salah satu di antara sembilan
kabupaten di propinsi Jambi.
Berkat tanahnya yang subur Kerinci
merupakan salah satu kabupaten terkaya di
Sumatra. Padi tumbuh dengan subur di bagian
Kerinci yang berhawa panas seperti di sekeliling
danau Kerinci, sementara tanah di kawasan
yang beriklim sejuk ditanami sayur-mayur,
kayu manis, kopi, dan teh. Lembah
Kerinci juga merupakan salah satu kawasan di
propinsi Jambi yang paling padat penduduknya.
Kepadatan tertinggi terdapat di kecamatan
Sitinjau Laut dengan 332 penduduk per
kilometer persegi. Sungai Penuh adalah ibu
kota Kerinci yang berpenduduk sekitar 40.000
orang. Kotanya bersih dan lumayan menarik
dengan sarana pendidikan, telekomunikasi
dan medis yang tergolong sederhana. Walaupun
sarana pengangkutan di dalam kota
2
Sungai Penuh masih terbatas pada bendi dan
ojek, Sungai Penuh telah memiliki bandar
udara sendiri yang terletak di Hiang, 15 km
selatan dari Sungai Penuh dengan dua penerbangan
per minggu ke Padang dan Jambi.
Bandar udara antarbangsa yang terdekat adalah
bandara Tabing di Padang, sekitar 250 km
dari Sungai Penuh. Jalan darat yang menghubungkan
Kerinci dengan dunia luar pada
umumnya dalam keadaan cukup baik, akan
tetapi sempit dan berliku-liku sehingga perjalanan
ke ibu kota propinsi Jambi makan waktu
sekitar sembilan sampai dua belas jam untuk
menempuh jarak 450 kilometer, sementara
perjalanan darat ke Padang makan waktu sekitar
enam sampai delapan jam.
Di lembah Kerinci terdapat beberapa situs
dengan peninggalan dari zaman batu muda
(Neolitik) yang membuktikan bahwa daerah
ini sudah lama dihuni manusia. Akan tetapi
sampai sekarang belum dilakukan penggalian
arkeologi sehingga pengetahuan kita terbatas
pada apa yang ditemukan oleh penduduk
setempat yang, antara lain, berupa kapak batu
dan pecahan obsidian. Hal ini berbeda dengan
bagian utara pulau Sumatra yang setahu kami
belum ada penemuan yang membuktikan
adanya permukiman Neolitik.
Di Museum Negeri Bengkulu juga terdapat
sejumlah kapak batu sehingga dapat diduga
bahwa wilayah pegunungan di sekitar, termasuk
Lebong, Rejang, dan Pasemah, sudah
dihuni selama zaman neolitik. Karena belum
ada penggalian secara profesional maka kita
hampir tidak tahu apa-apa tentang pola
kehidupan penduduk pada zaman itu, namun
dapat diduga bahwa mereka sudah menanam
padi. Hal itu memang belum dapat dibuktikan,
akan tetapi butir-butir beras sudah ditemukan
di situs-situs Neolitik di berbagai tempat di
Asia Tenggara mulai sekitar 2000 SM
(Bellwood, 1997:244).
Dibanding dengan kawasan Bukit Barisan
yang relatif kaya akan peninggalan artefak
Neolitik, kawasan pesisir di pantai timur sama
sekali tidak menunjukkan adanya penduduk di
zaman Neolitik. Hal ini mungkin disebabkan
oleh keadaan alam daerah ilir ini yang kurang
menopang kehidupan bercocok tanam. Pada
umumnya tanah tergolong kurang subur atau
malahan sama sekali tidak subur, rawan banjir,
dan tinggi kadar garam. Di samping itu
kawasan ini juga kurang sehat dengan adanya
berbagai penyakit seperti malaria khususnya
di daerah yang banyak rawa-rawa. Keadaan
alam berbeda sekali dengan kawasan Bukit
Barisan yang memiliki tanah yang subur dan
iklim yang sejuk. Pendatang Neolitik yang
mula-mula menghuni pulau Sumatra, kemungkinan
besar memilih lokasi di sekitar
salah satu dari banyaknya danau yang ada di
sepanjang Bukit Barisan karena ikan danau
sangat dibutuhkan sebagai sumber pangan
selama fase awal. Di daerah pesisir Sumatra
Utara terdapat tumpukan kerang yang menunjukkan
adanya permukiman di sepanjang
pantai Sumatra Utara selama berabad-abad.
Adapun artefak yang ditemukan dalam tumpukan
kerang tersebut dipercaya berasal dari
zaman Hoabinhian. Dengan demikian besar
kemungkinan bahwa penduduk asli Sumatra
belum bercocok tanam dan mereka dapat
dipastikan tidak masuk dalam kelompok ras
Mongoloid sebagaimana penduduk Sumatra
yang sekarang, melainkan kemungkinan mereka
masuk dalam kelompok Negroid yang
berkulit hitam dan rambut keriting seperti
penduduk di pulau Andaman dekat Aceh.
3
Penduduk asli Sumatra ini juga pasti tidak
berbahasa Austronesia, sedangkan semua
bahasa yang terdapat di Sumatra pada saat ini
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Pola permukiman prakolonial di Sumatra
menunjukkan adanya penduduk yang relatif
padat di sepanjang Bukit Barisan yang didiami
oleh suku Gayo, Alas, Batak, Minangkabau,
Kerinci, Rejang, Pasemah, dan
Lampung sementara di daerah pesisir penduduknya
relatif jarang. Satu-satunya kekecualian
adalah Aceh yang memiliki penduduk
yang relatif padat disebabkan oleh faktor
tanah dan iklim yang menopang pola kehidupan
bercocok tanam di daerah pesisir serambi
Mekah. Ekonomi penduduk di pegunungan
Bukit Barisan didominasi oleh bercocok
tanam, terutama padi yang umumnya ditanam
di ladang yang perpindah-pindah, atau ladang
tadah hujan, namun ada juga daerah yang
memiliki jaringan irigasi yang kompleks
seperti terdapat di berbagai lembah di bagian
selatan danau Toba. Tanaman lainnya yang
cukup penting adalah lenga (jawawut), ubi
kayu (singkong), dan ubi jalar (ubi rambat).
Guci kuno dan gendang yang terbuat dari
perunggu yang ditemukan di dua tempat di
sebelah selatan danau Kerinci menunjukkan
bahwa Kerinci dihuni secara berkesinambungan
dari zaman batu sampai sekarang. Gendang
yang sama jenisnya juga ditemukan di
Pasemah, sebuah lembah yang letaknya
sekitar 200 kilometer arah selatan Kerinci.
Gendang yang serupa juga digambarkan pada
salah satu megalit di Pasemah. Di Batu Gajah
ini kelihatan seorang laskar bersenjata yang
memegang gendang perunggu dari jenis
Heger 1. Menurut Caldwell (1997:170) kebudayaan
megalit Pasemah kemungkinan berasal
dari zaman yang sama ketika gendang
jenis Heger dibuat di Vietnam antara 300 SM
dan 200 M.
Oleh karena pengetahuan kita mengenai
prasejarah Sumatra sangat terbatas maka kita
harus sangat berhati-hati dalam mengambil
kesimpulan. Bila memang benar bahwa
penduduk Neolitik Sumatra memilih untuk
menempati daerah pegunungan maka besar
kemungkinan bahawa pesisir timur baru
ditempati ketika arus perdagangan internasional
mulai mengalir melalui Selat Malaka,
yaitu pada sekitar akhir milenium pertama
sebelum Masehi.
4
Teori ini bertolak belakang dengan teori
yang menempatkan pulau Borneo (Kalimantan)
sebagai tempat asal bahasa Melayu
yang dikemukakan oleh para ahli bahasa
termasuk Adelaar, Blust, Collins, dan Nothofer.
Menurut teori mereka maka masyarakat
yang berbahasa Melayu di Sumatra relatif
muda sehingga tidak mungkin berasal dari
pegunungan Bukit Barisan melainkan merupakan
keturunan dari masyarakat berbahasa
Melayu di Borneo yang merantau ke Sumatra
sekitar dua ribu tahun yang silam, lalu
mendirikan kerajaan Sriwijaya. Teori ini semata-
mata berdasarkan pada ilmu bahasa dan
tidak diterima secara umum. Bellwood
mengemukakan bahwa dinilai dari segi
linguistik tanah asal Melayu boleh saja
terletak di Borneo atau di Sumatra (Bellwood,
1997:287), dan ahli bahasa Uri Tadmor
malahan sama sekali menolak teori Adelaar
dkk. dan yakin bahwa bagian selatan Sumatra
adalah tanah asal orang Melayu. Teori
Tadmor antara lain berdasarkan keragaman
bahasa Melayu yang terdapat di sini termasuk
dialek Malayu Riau, Minangkabau, Kerinci,
Besemah, Orang Akit dsb. (Tadmor, 2002).
5
Peta Sumatra Tengah
Ulu dan Ilir
Yang mana dari kedua teori akhirnya akan
“menang” dalam pertarungan ilmu bahasa dan
prasejarah belum dapat ditentukan dan juga
tidak seberapa penting untuk tujuan studi ini.
Yang perlu ditekankan ialah bahwa kedua
masyarakat Melayu, yang di hilir (ilir) dan
yang di hulu (ulu) masing-masing mengembangkan
struktur masyarakat yang cukup
berbeda yang, antara lain, disebabkan oleh
kekayaan yang dapat diraih dari perdagangan.
Struktur masyarakat ilir cenderung lebih
berlapis dengan seorang raja atau sultan
sebagai kepala kerajaan, dan golongan elit
yang dekat dengan pusat kekuasaan. Masyarakat
ilir sangat berfokus pada dunia luar dan
dengan mudah menyerap unsur kebudayaan
asing seperti dari Eropa, India, Jawa, Timur
Tengah, dan Tiongkok. Karena perdagangan
internasional baik di negara-negara Arab,
maupun di India dan di Tiongkok didominasi
oleh saudagar yang beragama Islam maka
masyarakat ilir pun lebih dulu memeluk
agama Islam, suatu proses yang sudah mulai
sejak abad kedua belas dan mencapai puncak
pada abad kelima belas.
Pengaruh luar juga merembes ke pedalaman
tetapi biasanya agak lambat sampai di daerah
ulu yang pada umumnya bersifat lebih
konservatif. Masyarakat pedalaman tidak terlibat
secara langsung dalam perdagangan internasional,
tetapi merekalah yang menyediakan
hasil-hasil hutan yang sangat laku di luar
negeri seperti kapur Barus, berbagai jenis damar,
rempah-rempah dan sebagainya. Akan
tetapi hasil kekayaan alam yang paling ‘harum’
adalah emas sehingga Sumatra terkenal
di India sebagai Suvarnadvipa (pulau emas).
Hubungan antara ulu dan ilir ditandai oleh
saling membutuhkan. Kedua saudara yang
sama-sama berbahasa Melayu dan memiliki
kebudayaan yang sangat mirip tergantung satu
sama lain. Kerinci misalnya tergantung pada
barang dagangan yang hanya dapat diperoleh
di pesisir seperti garam, besi, kain, serta
barang-barang mewah, sementara daerah ilir
meraih untung besar dengan menjual hasil
hutan yang mereka peroleh dari orang ilir.
Faktor sumber daya manusia juga tidak kalah
penting dalam hubungan ulu-ilir. Daerah ilir
kaya hasil perdagangan, tetapi miskin dalam
hal penduduk sementara seorang raja mustahil
menjadi raja kalau tidak mempunyai rakyat.
Semakin banyak rakyatnya semakin tinggi
gengsi seorang raja sehingga sangat penting
bagi seorang raja ilir untuk memastikan
penduduk ulu ingin menjadi rakyatnya.
Kerinci tampaknya selalu mengakui raja
atau sultan Jambi sebagai tuannya, tetapi secara
nyata mereka boleh dikatakan tidak terlalu
tergantung pada kekuasaannya. Karena faktor
jarak, dan juga karena miskinnya sarana perhubungan
maka sang raja di ilir tidak selalu
8
mampu memerintah rakyatnya yang di ulu.
Selain itu, tergantung pada konstelasi politik,
Kerinci dapat mengakui raja Jambi (ilir) atau
raja Inderapura (barat) sebagaimana dikatakan
dalam sepucuk surat dari sultan Inderapura
Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan
124(?)6H atau 14 Juni 1830M, yang kini disimpan
oleh Depati Muda di dusun Kemantan
Barat (Tambo Kerintji No. 140). Dalam surat
tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan
raja antara sultan Jambi dengan sultan
Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah
beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat,
ialah ke tanah Inderapura.” Masyarakat Kerinci
sebagaimana masyarakat ulu lainnya juga
wajib membayar upeti, dan secara teratur harus
menghadap di istana, dan memberi hadiah
kepada sang raja. Sebagai imbalan masyarakat
ulu dapat mengharapkan perlindungan, dan
para raja setempat dibekali dengan gelar serta
tanda-tanda kerajaan (Andaya, 1993:76). Hubungan
antara ulu dan ilir dapat berjalan cukup
lancar karena hubungan antara kedua pihak
ditandai oleh ikatan kekerabatan. Bangsawan
ilir sering mengambil seorang perempuan
ulu sebagai isteri untuk menjamin agar hubungan
ulu-ilir berjalan lancar:
"In the world of legend one of the most pervasive
themes is the way in which, sometimes
in the distant past, the sexual union
between an upstream woman and a downstream
king helped establish the basis for
cooperation between ulu and ilir. Here the
ruler is readily presented as a distant kinsman,
the obligations to him justified by ancient
bonds that make the rendering of tribute
and the fulfillment of labor services explicable
and even proper." (Andaya,
1993:76-77)3
3 Salah satu topik yang berulang kali muncul dalam cerita
rakyat berkaitan dengan perkawinan yang terjalin di
Sebagai imbalan orang ulu dapat mengharapkan
perlindungan dan imbalan lainnya
seperti hadiah-hadiah bergengsi. Sang raja
juga diharapkan untuk dapat memutuskan perselisihan
antarkampung atau antardaerah yang
tidak dapat diselesaikan oleh pihak-pihak
yang terkait. Hal ini sering terjadi karena
kebanyakan masyarakat ulu tidak mengenal
pemerintahan pusat sehingga hanya raja yang
di ilir yang dapat berfungsi sebagai otoritas
tertinggi. Perselisihan yang paling sering
perlu dilerai berkaitan dengan batas-batas
daerah. Keputusan yang diambil diabadikan
dalam sebuah piagam yang diukir di tanduk
kerbau (dengan menggunakan surat incung)
atau ditulis dengan kalam di atas kertas
dengan menggunakan huruf jawi. Sampai
sekarang orang Kerinci masih menyimpan
puluhan piagam seperti itu sebagai pusaka.
Piagam-piagam tersebut biasanya tidak dikeluarkan
oleh sang sultan sendiri melainkan
oleh seorang temenggung yang berperan sebagai
penengah antara raja ilir dan rakyatnya
yang di ulu. Walaupun para temenggung berada
di bawah sultan Jambi ada pula yang
menentang kekuasaan sang raja sebagaimana
terjadi pada pertengahan abad ketujuh belas
ketika temenggung Pangeran Dipanegara
secara mandiri memerintah daerah Merangin
yang terkenal kaya akan lada (Andaya, 1993).
Dari daerah inilah, di Muara Mesumi di
tepi Sungai Merangin yang merupakan anak
sungai Batang Hari, Jambi memerintah daerah
dahulu kala antara seorang raja ilir dengan seorang
perempuan ulu sehingga terbentuk azas kerjasama antara
ulu dan ilir. Dalam cerita-cerita tersebut sang raja digambarkan
sebagai seorang kerabat yang jauh sehingga
segala kewajiban terhadapnya dianggap wajar karena
berdasarkan ikatan yang sudah dijalin di dahulu kala
sehingga segala pemberian kepada raja seperti membayar
upeti dan kewajiban bekerja dianggap pantas.
9
taklukannya di Jambi ulu. Menurut tradisi
lisan di dahulu kala ada seorang Pangeran
Temenggung Kebaruh, yang dikatakan masih
keturunan Majapahit, mengunjungi Kerinci
dari Muara Mesumi yang meyakinkan para
raja untuk mengakui kedaulatan Jambi. Para
raja diberi hadiah berbentuk kain dan dianugerahi
dengan gelar dipati (juga disebut
depati) yang berasal dari gelar Jawa adipati.
Dengan demikian Kerinci dibagi menjadi dua
daerah yang masing-masing disebut Tiga
Helai Kain dan Selapan Helai Kain. Raja Ulu
Temiai, Pulau Sangkar dan Pengasih masingmasing
menerima sehelai kain sehingga
daerahnya menjadi terkenal sebagai Tiga
Helai Kain. Kain yang satu lagi dibagi seperti
berikut: separuh diberi kepada depati Atur
Bumi di Tanah Hiang, dan separuh lagi dibagi
lagi antara tujuh raja lainnya di sebelah utara
danau Kerinci, yaitu di Semurup, Kemantan,
Rawang Kudik, Depati Tujuh, Rawang Hilir,
Seliman dan Penawar. Daerah ini selanjutnya
disebut sebagai Selapan Helai Kain. Selain
kedua belas mendapo yang menerima sehelai
kain terdapat tiga lagi, yaitu Sungai Penuh,
Sanggaran Agung dan Lolo sehingga jumlah
mendapo yang ada di Kerinci berjumlah lima
belas (Kathirithamby-Wells, 1986).
Pembagian Kerinci menjadi dua daerah
tidak pernah terwujud secara politik. Tanpa
pemerintahan pusat, konfederasi kampung
yang disebut mendapo yang pada umumnya
terdiri atas sejumlah kampung yang berasal
dari satu kampung induk masih tetap menjadi
kesatuan pemerintahan yang terbesar di
Kerinci. Melalui mendapo ini sultan Jambi
memerintah daerah Kerinci, namun tidak
selalu dengan sukses.
Menurut tradisi lisan lembaga depati diperkenalkan
oleh raja Jambi melalui Temenggung
Kebaruh di zaman pra-Islam. Hal ini
diperkuat oleh naskah Tanjung Tanah yang
menyebut bahwa “dipati berarti lebih daripada
sekalian.” Kendati lembaga depati diperkenalkan
oleh raja Jambi lebih dari enam ratus
tahun yang lalu sebagai alat untuk memerintah
di Kerinci, dan walaupun Kerinci
mengakui kedaulatan raja Jambi, kekuasaan
Jambi di Kerinci terbatas. Charles Campbell
melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk
Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada
sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari
seekor kerbau, setahil emas, dan seratus
bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat
yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi
yang sampai sekarang masih disimpan sebagai
pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa
penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada
perintah rajanya di Jambi. Berulang kali terdapat
seruan agar Kerinci menegakkan hukum,
hal mana ternyata tidak selalu dihiraukan
olek rakyat Kerinci. Naskah Tanjung Tanah
sendiri yang merupakan kitab undangundang
yang disusun di Dharmasraya juga
menunjukkan bahwa sejak ratusan tahun yang
lalu Jambi sudah berusaha untuk menegakkan
hukum di Kerinci agar dapat dengan lebih
mudah memerintahnya.
Salah satu contoh betapa terbatas pengaruh
Jambi di Kerinci tampak pada usaha sultan
Jambi untuk menegakkan hukum syariah di
Kerinci. Di berbagai surat para depati di
Kerinci diimbau untuk memutuskan adat dan
kepercayaan pra-Islam dan memeluk agama
Islam dengan menerima hukum syariah. Di
mendapo Keliling Danau terdapat tiga surat
yang tertanggal antara tahun Masehi 1776 dan
1778 (TK 229-231) yang mengimbau agar
10
orang Kerinci memeluk agama yang benar
dan menghentikan kebiasaan yang berlawanan
dengan Islam termasuk minum tuak dan arak,
serta pesta yang diiringi musik dan tari-tarian.
Surat yang serupa juga dikirim ke Dusun Baru
di Sungai Penuh (TK 3, 4, dan 13). Dapat
diragukan apakah imbauan sultan Jambi
meraih sukses karena baru pada paruh kedua
abad kesembilan belas maka orang Kerinci
secara massal memeluk agama Islam (Tholen,
1987).
Kesuksesan ilir di ulu ternyata sangat bergantung
pada kemauan penduduk ulu sendiri,
namun mesti diakui bahwa pada umumnya
daerah ulu menerima kepemimpian ilir
dengan mengakui kedaulatan para sultan di
pesisir.
Selama periode yang dicakupi dalam karya
Barbara Andaya “To Live as Brothers"
(Andaya, 1993), yaitu abad ke-17 sampai
abad ke-18 belas, dominasi ilir jelas menonjol.
Namun demikian, ada pula masa yang roda
pemerintahan digerakkan dari daerah ulu.
Salah satu contoh adalah kerajaan Malayu di
masa pemerintahan Akarendrawarman dan
penggantinya Adityawarman.
Selama masa pemerintahan Adityawarman
(1347-1377) kerajaan Malayu mengalami
puncak kejayaan. Pada saat itu kerajaan
tersebut berpusat di daerah Minangkabau, dan
diduga sudah dipindahkan ke pedalaman
Sumatra pada awal abad ke-14 selama masa
pemerintahan Akarendrawarman atau malahan
sebelumnya. Pemindahan ibu kota kerajaan
Malayu yang sebelumnya selalu berada di
pesisir, dan timbulnya sebuah kerajaan besar
di lembah-lembah pegunungan Bukit Barisan
merupakan fenomena yang perlu dikaji lebih
dalam, terlebih-lebih karena naskah Tanjung
Tanah sebagai naskah Melayu tertua kemungkinan
besar ditulis selama zaman kerajaan
Adityawarman.
Kebangkitan Kembali Kerajaan Malayu
Dalam karya “To Live as Brothers"
(Andaya, 1993) ahli sejarah Barbara Andaya
telah melukiskan dengan sangat teliti betapa
rumitnya hubungan antara kedua wilayah
yang paling berpengaruh di Sumatra bagian
selatan, yaitu Jambi dan Palembang.
Di dalam studinya yang mencakup abad
ke-17 dan ke-18 Andaya dapat mengandalkan
sumber dari arsip VOC akan tetapi untuk
masa prapenjajahan sumber sejarah sangat terbatas.
Namun demikian tampaknya cukup
jelas bahwa kedua saudara tersebut sudah berabad-
abad bersaing secara sangat gigih.
Wilayah Palembang mencakup daerah
aliran sungai (DAS) Musi, sungai terpanjang
di Sumatra (507 km) yang sebagian besar terletak
di dalam batas provinsi Sumatra Selatan
yang sekarang ini. Wilayah Jambi mencakup
DAS Batang Hari, yang dengan panjangnya
yang 485 km hampir sepanjang Sungai Musi.
Daerah ini juga sebagian besar mencakup
wilayah yang termasuk dalam provinsi Jambi.
Dengan demikian keadaan kedua daerah dari
segi geografi dan ekologi sangat mirip
sehingga tidak mengherankan bahwa kedua
saudara tersebut selalu bersaing untuk
memanfaatkan posisi strategis kedua wilayah
tersebut dalam menguasai Selat Malaka dan
arus perdagangannya.
Rupa-rupanya Palembang sering dapat
mengungguli Jambi dalam persaingannya
sehingga Sriwijaya selalu dikaitkan dengan
Palembang sebagai pusat kerajaannya mulai
dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-11.
Pada tahun 1025 Rajendra Chola yang
memerintah kerajaan Koromandel di India
menyerang pusat-pusat perdagangan di Selat
Malaka. Ekspedisi militer ini merupakan
pukulan dahsyat bagi Sriwijaya, dan memberi
kesempatan kepada Malayu (Jambi) untuk
bangkit kembali. Sumber Tiongkok memberitakan
bahwa antara tahun 1079 dan 1082 ibu
kota Sriwijaya pindah dari Palembang ke
Jambi, dan utusan yang dikirim ke Tiongkok
di tahun 1079 dan 1088 berasal dari Zhanbei
(Jambi). Walaupun Malayu telah berhasil
menyingkirkan Palembang, perubahan yang
terjadi antara abad ke-11 dan abad ke-13 yang
terutama menyangkut pola perdagangan di
Asia Tenggara tidak terlalu menguntungkan
bagi Malayu yang tidak pernah dapat meraih
kembali status yang pernah dipegang oleh
Palembang sebagai penguasa mutlak di
kawasan Selat Malaka.
Pola perdagangan di Asia mengalami perubahan
secara mendasar selama abad ke-10
sampai pada abad ke-13. Jumlah pedagang
asing yang mendarat di pesisir Asia Tenggara
makin meningkat dan mereka lebih suka
untuk membeli sendiri komoditi yang dicarinya
daripada bergantung pada satu negeri
pemegang monopoli. Karena perubahan pola
12
perdagangan tersebut maka kedudukan Sriwijaya
melemah karena tidak lagi dapat mengontrol
arus perdagangan dengan menguasai
Selat Malaka. Yang diuntungkan adalah Jawa
yang pada saat itu menguasai perdagangan
rempah-rempah asal Maluku. Pada abad ke-12
rempah-rempah dari Asia Tenggara, seperti
merica, jahe, kayu manis, cengkeh, dan terutama
pala, menjadi makin populer di Eropa.
Permintaan yang makin meningkat tentu saja
sangat menjanjikan bagi pihak yang menguasai
arus perdagangan dengan komoditi yang
sangat laris ini.
Sedangkan bagi kerajaan yang dulu masih
berjaya di Selat Malaka keadaannya menjadi
makin sulit karena selama abad ke-13 kerajaan
Sukothai mulai masuk ke semenanjung
Malaya sehingga konflik dengan Malayu tidak
terelakkan. Hal ini diketahui dari sumber
Tiongkok Yuan Shih yang melaporkan bahwa
pihak kerajaan Tiongkok menyuruh Sukothai
untuk berhenti melaksanakan peperangan terhadap
Malayu, dan kekalahan yang dialami
oleh kerajaan-kerajaan yang berkuasa di
bagian tenggara Sumatra masih tercermin
dalam cerita-cerita rakyat di Jambi pada abad
ke-19. Pada awal abad ke-14 dilaporkan pula
bahwa Temasek (Singapura) sudah berada di
bawah kekuasaan Thai. Karena sepanjang
pengetahuan kita Sukothai pada saat itu tidak
memiliki pasukan laut yang berarti maka Hall
(1981:25) tiba pada kesimpulan bahwa kerajaan
Thai dibantu oleh kelompok-kelompok
Melayu di sekitar kepulauan Riau yang sebagian
sudah terbiasa untuk mencari nafkah
sebagai bajak laut.
Selain serangan yang dilancarkan oleh
kerajaan Sukothai, Malayu juga menghadapi
ancaman yang lebih serius lagi. Pada
penghujung abad ke-13 seluruh Asia Tenggara
menjadi gelisah karena harus menghadapi
ancaman pasukan Kublai Khan (1215-
94), putera Genghis Khan, yang telah mendirikan
dinasti Mongol di Tiongkok. Semua
faktor tersebut kurang menguntungkan bagi
Sumatra sehingga Jawa merasa bahwa sudah
tiba saatnya untuk memperluas kekuasaannya
ke Sumatra.
Pamalayu: Hubungan dengan Singasari di Masa
Awal Kerajaan Malayu
Bagi Jawa, tentu saja bukan hal yang
mudah untuk memperluas kekuasaan sampai
ke Sumatra mengingat jarak yang begitu jauh
antara Jawa Timur dan Sumatra. Akan tetapi
pada pada pupuh 41/5 kakawin Nagarakrtagama
dapat kita baca bahwa di tahun 1275 raja
Singasari, Kertanagara (1269-1292), "mengeluarkan
perintah untuk menunduk Bumi
Malayu" (Mpu Prapanca, 1995:54) sehingga
“seluruh wilayah Pahang [= semenanjung
Malaya] dan Malayu menunduk kepadanya"
(ibid:55). Peristiwa "penundukan" yang disebut
Pamalayu itu telah ditafsirkan oleh para
ahli sejarah. Kebanyakan sejarahwan cenderung
mengikuti teori yang dikemukakan oleh
Krom dalam karya Hindoe-Javaansche
Geschiedenis (Krom, 1931:335-336). Krom
mendukung teorinya bahwa Kertanagara memang
berhasil menaklukkan Sumatra dengan
sebuah prasasti beraksara Jawa Kuna yang
dipahat pada bagian bawah patung Amoghapasa
yang ditemukan di Pulau Punjung.
Menurut prasasti tersebut patung dewa Amoghapasa
dihadiahkan Kertanagara kepada raja
Tribuanaraja Mauliwarmadewa di Suwarnabhumi
di tahun Saka 1208 (1286 M). Patung
tersebut dibawa dari Jawa ke Sumatra agar
didirikan di Dharmasraya (diantuk dari bhumi
Jawa ka Swarnnabhumi dipratistha di
Dharmmasraya), sehingga "segenap rakyat
Bhumi Malayu [...], dan terutama raja Srimat
Tribuanaraja Mauliwarmadewa, dengan gembira
menerima hadiah tersebut" (ibid, hal.
336). Prasasti tersebut merupakan dokumen
pertama yang menyebut Dharmasraya yang
terletak di tepi Batang Hari di kecamatan
Pulau Punjung, Kabupaten Sawahlunto-Sijunjung,
Sumatra Barat. Berdasarkan undangundang
pemekaran maka mulai Januari 2004
kabupaten tersebut telah dibagi menjadi dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Sawahlunto-
Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya (!)
dengan Pulau Punjung sebagai ibu kotanya.
Profesor Slamet Muljana tiba pada
kesimpulan bahwa ibu kota kerajaan Suwarnabhumi
yang juga disebut kerajaan Malayu
dalam prasasti Amoghapasa terletak "di sekitar
desa Muara Jambi" (Muljana, 1983:99).
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa "ketika
tentara Singasari menguasai Suwarnabhumi,
rupanya ibu kota Suwarnabhumi dijadikan
benteng pertahanan tentara Singasari. Rajanya
yang bernama Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa
mengungsi ke Dharmasraya, Kabupaten
Bungo-Tebo, karena prasasti Amoghapasa
yang dikirim oleh Sri Kertanagara untuk ditegakkan
di Dharmasraya, ditemukan di daerah
Sungai Langsat di desa Rambahan, Kabupaten
14
Bungo-Tebo" (ibid 101).
Di sini timbul pertanyaan mengapa raja
Malayu Tribuanaraja Mauliwarmadewa mesti
mengungsi ke Dharmasraya untuk memperoleh
hadiah dari raja yang mengalahkannya!
Tidak masuk akal kalau seorang yang mengungsi
kemudian malahan diberi hadiah oleh
yang mengusirnya.
Bahwa "Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa
mengungsi ke Dharmasraya" adalah interpretasi
Profesor Slamet Muljana yang tidak
didukung oleh sumber sejarah. Menurut
hemat penulis kenyataan bahwa prasasti
Amoghapasa dikirim oleh Sri Kertanagara
untuk ditegakkan di Dharmasraya merupakan
petunjuk bahwa pada saat itu ibu kota Malayu
sudah dipindahkan dari Muara Jambi ke
Dharmasraya, hal mana dapat dikaitkan
dengan ancaman serangan oleh pasukan
Kublai Khan serta ketidakpastian kondisi di
pesisir yang juga diganggu oleh kehadiran
pasukan Sukothai di semenanjung.
Menurut Krom prasasti Amoghapasa jelas
menunjukkan bahwa pada tahun 1286 Malayu
telah menjadi daerah taklukan Singasari
(Krom, 1931:336). Coedès menarik perhatian
kita kepada kenyataan bahwa pada saat
Singasari mulai menguasai Sumatra pasukan
Thai telah merebut semenanjung Melayu, dan
menyodorkan teori bahwa kerajaan Thai dan
Singasari bekerjasama untuk menyingkirkan
Sriwijaya (Jambi-Palembang) dari Selat Malaka
dan Sunda (Coedès, 1968:202).
Teori tersebut bertolak belakang dengan
C.C. Berg yang menginterpretasi Pamalayu
sebagai bagian dari sebuah program terpadu
yang bertujuan untuk menyatukan Nusantara
(pulau-pulau di luar Jawa) agar bersama-sama
dapat menghadapi ancaman dari kaisar
Mongol Kublai Khan. Dengan demikian politik
luar negeri Kertanagara terhadap Nusantara,
dan khususnya Malayu, merupakan akibat
langsung dari keprihatinan Singasari akan ancaman
agresi Mongol yang pada saat itu telah
mengalahkan Yunnan (1253-57) dan mengancam
seluruh kawasan Asia Tenggara. Dengan
demikian Berg menginterpretasikan Pamalayu
sebagai "perjanjian dengan Malayu" (Berg,
1950:485) untuk membentuk persekutuan
melawan agresi dinasti Mongol. Teori Berg
belakangan ini juga didukung oleh De
Casparis.
Menurutnya, hadiah patung Amoghapasa
malahan dapat dilihat sebagai tanda persahabatan
untuk mendirikan persekutuan yang memiliki
tujuan ganda: Pertama, agar Malayu
mengakui kedaulatan Singasari, dan kedua,
untuk menyatukan negara-negara Malayu agar
bersama dengan Singasari siap untuk menghadapi
ancaman pasukan Kublai Khan
(Casparis, 1989; 1992). Menurut Berg, Pamalayu
tidak pula diadakan di tahun 1275
sebagaimana diduga Krom yang mengutip
Nagarakrtagama, melainkan di tahun 1292.
Berg menunjukkan dengan mengupas secara
sangat teliti pupuh 41/5 Nagarakertagama
bahwa pada tahun 1275 Kertanagara hanya
memberi perintah “menyuruh tundukkan
Malayu” dan tidak ada petunjuk bahwa pada
tahun itu perintah tersebut juga dilaksanakan
(Berg, 1950:9). Selebihnya Berg mengingatkan
kita bahwa Kertanagara baru dinobatkan
menjadi raja di tahun 1268 pada waktu mana
ia masih sangat muda. Berg tidak percaya
bahwa sedini itu Kertanagara sudah berhasil
memantapkan negaranya untuk mengambil
risiko yang berkaitan dengan sebuah ekspedisi
terhadap Malayu yang letaknya begitu jauh
15
dari Jawa Timur (ibid, hal. 16).
Pada saat itu Kertanagara belum tentu
sudah menguasai Madura yang letaknya berhadapan
dengan Tuban, sedangkan Tuban
merupakan pelabuhan keberangkatan armada
Pamalayu untuk menghadapi Malayu. Lagipula
pada tahun 1280 Kertanagara masih berhadapan
dengan lawan dalam negeri (ibid,
hal. 17), dan baru pada tahun 1284 Singasari
dapat mengalahkan Bali yang letaknya begitu
lebih dekat dibandingkan dengan Malayu.
Dengan demikian Berg tiba pada kesimpulan
bahwa Pamalayu yang sudah dikumandangkan
sejak tahun 1275 baru diwujudkan
pada tahun 1292 ketika Kertanagara sudah
menguasai Madura, Sunda, dan Bali. Pada
saat itu ia sudah yakin akan diserang oleh
pasukan Mongol dan membutuhkan sekutu
untuk melawannya. Kaisar Mongol sudah
beberapa kali menyuruh Kertanagara untuk
datang ke Tiongkok menghadap sang kaisar,
tetapi Kertanagara selalu menolak, dan pada
tahun 1289 para utusan Kublai Khan yang
berkunjung ke Jawa malahan dianiaya. Tentu
saja Kaisar Mongol merasa terhina dan
mengirim sebuah armada untuk membalas
penghinaan tersebut. Ketika pasukan Mongol
mendarat di Tuban, ternyata Kertanagara sudah
dibunuh oleh seorang pembangkang bernama
Jayakatwang dari Kediri yang juga menandai
akhir kerajaan Singasari.
Berg mengaitkan peristiwa tersebut yang
terjadi di bulan Mei atau Juni 1292 dengan
keberangkatan pasukan Singasari untuk
menyerang Sumatra:
“Saat untuk melaksanakan rencana yang penuh
risiko ini [serangan terhadap Sumatra;
UK] tiba di tahun 1292. Pasukan Jawa naik
kapal dipimpin oleh Kebo-Anabrang. [...]
Setelah mendampingi pasukan ke Tuban,
Aragani kembali ke Singasari, dapat diduga
dengan perasaan cemas mengingat bahwa
pasukan yang tertinggal amatlah sedikit.
Sudah jelas bahwa bahaya pembangkangan
mengancam Jawa dari pihak yang merasa
dirugikan yang hanya menanti kesempatan
untuk memanfaatkan kelemahan Singasari.
Salah seorang yang merasa dirugikan adalah
raja Kediri.” (Berg, 1950:24)
Ternyata Kertanagara sama sekali tidak
menduga bahwa pihak kerajaan Kediri, yang
di bawah Singasari menikmati posisi yang
cukup terhormat, akan memberontak terhadap
Singasari. Setelah wafatnya Kertanagara, ibu
kota kerajaan yang dipegang oleh Jayakatwang
pindah ke Kediri, tetapi Jayakatwang
tidak lama menikmati kekuasaannya karena
Raden Wijaya yang masih keturunan raja Singasari
memanfaatkan kedatangan pasukan
Mongol pada akhir tahun 1292 yang bertujuan
untuk menyingkirkan Kertanagara yang sudah
lebih dulu meninggal. Dengan bantuan pasukan
Mongol Raden Wijaya berhasil mengalahkan
Jayakatwang di bulan April 1293. Sesudah
kemenangan itu Raden Wijaya malahan
menyerang pasukan Mongol dan memaksanya
kembali ke kapalnya. Pada tanggal 31 Mei
1293 mereka terpaksa meninggalkan Jawa dan
berlayar kembali ke Tiongkok.
Dengan argumentasi yang sangat masuk
akal dan dengan cukup banyak bukti Berg
berhasil meyakinkan kita bahwa Pamalayu
memang sudah direncanakan di tahun 1275,
tetapi baru dapat dilaksanakan 17 tahun kemudian,
dan secara tidak langsung membawa
malapetaka untuk Singasari sendiri sehingga
pelaksanaan pembangunan Jawa Agung yang
direncanakan oleh Kertanagara terpaksa
ditunda.
Suatu hal yang belum diuraikan di sini
16
ialah kerajaan mana yang sebenarnya ditargetkan
dengan Pamalayu tersebut. Sudah jelas
bahwa tujuan utama Kertanagara adalah untuk
menguasai Selat Malaka dengan perdagangan
internasionalnya. Pada akhir abad ke-13 terdapat
dua kerajaan di Selat Malaka yaitu
Sriwijaya (Palembang), dan Malayu (Jambi)
akan tetapi pengetahuan kita tentang keadaan
kedua kerajaan pada waktu itu sangat terbatas.
Pada awal abad ke-13 Sriwijaya (yang disebut
San-fo-ch'i dalam sumber sejarah Tiongkok)
masih kuat dan, menurut sumber Tiongkok,
menguasai Sunda, semenanjung Malaya,
Aceh dan kebanyakan pantai timur Sumatra.
Akan tetapi Malayu-Jambi tidak lagi termasuk
wilayah kerajaannya, dan Sriwijaya makin
merosot selama abad ke-13 (Coedès,
1968:184). Sebagian sejarahwan tiba pada
kesimpulan bahwa ekspansi Jawa ke Sumatra
terutama dimaksud untuk menghancurkan Sriwijaya,
dan bahwa Malayu menjadi mitra
Jawa dalam pelaksanaan rencana tersebut.
Hubungan antara Singasari dan Malayu
sebagaimana digambarkan oleh Berg dan
Casparis dapat membawa kita pada kesimpulan
bahwa kedudukan mereka setara.
Namun hal ini sepertinya tidak didukung oleh
prasasti Amoghapasa yang menyebut raja
Suvarnabhumi (Malayu) sebagai maharaja
sementara gelar yang disandang Kertanagara,
yaitu maharajadiraja, jelas lebih tinggi (Krom,
1916). Patung Amoghapasa dengan prasastinya
itu menunjukkan bahwa Singasari di zaman
pra-pelaksanaan Pamalayu sudah menjalin
hubungan erat dengan Malayu. Dapat diduga
bahwa sama dengan Singasari, Malayu
juga menyadari bahaya ancaman pasukan
Kublai Khan sehingga raja Malayu rela bernaung
di bawah kekuasaan Singasari yang
pada saat itu menjadi kerajaan yang terkuat di
Nusantara.
Sayangnya, wujud Pamalayu dan akibatnya
tidak dapat kita ketahui secara sempurna.
Menurut Pararaton sepuluh hari setelah pasukan
Tiongkok meninggalkan Jawa pasukan
Singasari yang berada di luar Singasari kembali
ke tanah asalnya. Kalau memang demikian
maka pasukan Pamalayu hanya berada di
Sumatra selama waktu yang sangat singkat
saja karena pasukan Pamalayu yang menyerang
Sumatra dan pasukan Mongol yang
menuju ke Singasari malahan berpapasan
(tetapi tidak bertemu) di tengah lautan (Berg,
1950:26).
Akan tetapi peristiwa yang disebut di Pararaton
dan juga di Nagarakertagama tidak boleh
dianggap begitu saja sebagai fakta sejarah
karena kedua karya tidak dapat diandalkan secara
sempurna. Jelas bahwa selama kerajaan
Singasari berjaya maka pengaruhnya terasa di
tanah Malayu, namum tidak seekstrem penilaian
Krom yang melihat Malayu sebagai “Javaansch
Sumatra” (Krom, 1931:336). Kalaupun
pada tahun 1286 raja Malayu hanya menyandang
gelar maharaja maka jelas bahwa
tidak lama kemudian raja Malayu sangat percaya
diri dan mengenakan gelar tertinggi maharajadiraja
sehingga bahkan Krom harus
mengakui bahwa raja Malayu Adityawarman
tidak tunduk kepada siapa pun (ibid, hal. 413).
Kerajaan Malayu di Suruaso
Setelah runtuhnya Singasari muncullah sebuah
kerajaan baru, yaitu Majapahit (1293-
1520) yang menjadi kerajaan Hindu-Budha
terakhir di Indonesia. Majapahit sering
diagungkan sebagai kerajaan besar yang
menyatukan seluruh Nusantara, namun interpretasi
tersebut agaknya tidak dapat dipertahankan,
dan malahan banyak sejarahwan
yang beranggapan bahwa Majapahit tidak berhasil
memperluas pengaruh sebagaimana dilakukan
oleh Singasari di bawah Kertanagara.
Proses Islamisasi telah dimulai jauh sebelum
Majapahit berdiri, di bagian utara Sumatra
malahan sudah pada abad ke-12. Akan
tetapi, mengingat luasnya kawasan Nusantara
dengan beragam budayanya, proses pengislaman
seluruh kawasan tidaklah seragam
sehingga pada abad ke-14 sebagian besar
Sumatra pun masih belum rela memeluk
agama yang baru ini, dan kerajaan Malayu
termasuk salah satu kawasan yang dengan
gigih mempertahankan diri terhadap "ancaman"
agama Islam yang sudah bertapak dengan
kokoh di semenanjung Malaya (Casparis,
1992:238). Casparis juga menunjukkan bahwa
penekanan terhadap unsur-unsur Tantrisme –
yang dinilainya sebagai tanggapan terhadap
ancaman Islam – merupakan tanda kemerosotan
ajaran Hindu-Budha yang menjadi landasan
agama dalam kerajaan Malayu (Casparis,
1989:937).
Pupuh 13 Nagarakrtagama, yang selesai
dikarang pada tahun 1365, mencatat 24 negara
di “Bumi Malayu” yang mengakui kedaulatan
Majapahit mulai dari Barus dan Lamuri
(Aceh) di utara sampai Lampung di selatan
pulau Sumatra. Sudah jelas bahwa "Bumi
Malayu" di sini merujuk kepada Sumatra
secara keseluruhan dan bukan kepada kerajaan
Malayu Adityawarman. Empat di antara
ke-24 negara boleh dipastikan merupakan inti
kerajaan Malayu, yaitu Dharmasraya, Jambi,
Minangkabau, dan Teba (Muara Tebo).
Bagaimana status Palembang pada saat itu
kurang jelas, namun kerajaan yang di dahulu
kala sangat berjaya rupanya tidak berdaya
menandingi kerajaan Malayu yang sedang
berada di puncak kejayaannya.
Dari Nagarakrtagama kita mendapat kesan
seolah-olah seluruh Sumatra takluk kepada
kekuasaan Majapahit. Mungkin saja bahwa
Majapahit menganggap Malayu sebagai
wilayah taklukannya akan tetapi raja Malayu
sendiri jelas menganggap dirinya sebagai raja
yang memiliki kedaulatan yang sempurna
yang tidak takluk kepada siapa pun (Casparis,
1989:919).
Ketika pasukan Pamalayu kembali ke Jawa
di tahun 1294 mereka membawa dua putri
Malayu, Dara Petak dan Dara Jingga. Dara
Jingga melahirkan Adityawarman yang menjadi
raja Malayu yang memerintah negaranya
18
antara kira-kira 1347 dan 1376 M. Masa
pemerintahan Adityawarman merupakan puncak
kejayaan kerajaan Malayu sebagaimana
dapat dilihat dari lebih dari 20 prasasti yang
ditinggalkannya. Pada masa pemerintahan
Adityawarman ibu kota Malayu sudah pindah
dari Dharmasraya ke Suruaso di Ranah Minangkabau
dan kebanyakan prasasti Adityawarman
juga ditemukan di lembah-lembah
pegunungan Bukit Barisan yang sekarang
menjadi provinsi Sumatra Barat. Adityawarman
menjadi raja yang terpenting yang memerintah
Malayu dari Sumatra Barat, tetapi
bukan dia yang memindahkan ibu kota Malayu
dari Dharmasraya ke Suruaso. Menurut
Casparis ibu kota Malayu sudah pindah ke
daerah Minangkabau sekitar tahun 1310 oleh
Akarendrawarman, pendahulu Adityawarman
yang kemungkinan besar menjadi mamak
(paman) Adityawarman (Casparis, 1992:241).
Di sini timbul pertanyaan: Apa alasan
maka dalam kurun waktu hanya sekitar 30
tahun ibu kota Malayu dua kali dipindahkan?
Dari Muara Jambi ke
Dharmasraya
Selama berabad-abad ibu kota Malayu
terletak di Muara Jambi, sebuah kompleks
ritual-politik dengan jumlah penduduk yang
lumayan besar. Schnittger yang mengadakan
survei arkeologi di Muara Jambi tiba pada
kesimpulan bahwa “dilihat dari segi luasnya,
keindahan, dan jumlah bangunan Muara
Jambi tidak kalah dengan situs lain di Sumatra.
Bangunannya merupakan bagian daripada
sebuah kota yang besar, barangkali lebih besar
dari Palembang” (Schnitger, 1937:6). McKinnon
menambahkan bahwa “situs Muara Jambi
barangkali merupakan situs yang terbesar dan
paling penting di Sumatra” (McKinnon,
1984:60). Muara Jambi yang terletak sekitar
30 kilometer timur laut dari kota Jambi yang
sekarang (yang merupakan ciptaan kolonial
Belanda), juga jelas masih dihuni sampai
zaman Islam, namun masa kejayaan diperkirakan
selama abad ke-12 dan abad ke-13.
Akan tetapi Muara Jambi bukan satusatunya
situs di bagian hilir Batang Hari. Di
sekitar Sungai Kuala Niur yang merupakan
cabang Batang Hari yang dapat dilayari,
terdapat beberapa pelabuhan di sekitar Muara
Sabak/Koto Kandis yang dari abad ke-12
sampai abad ke-14 masih menunjukkan pola
pemukiman yang lumayan padat (Atmodjo,
1997; McKinnon, 1984). Muara Kumpeh Hilir
(Suak Kandis) dan Koto Kandis merupakan
dua situs lagi yang dihuni antara abad ke-12
sampai abad ke-14 (McKinnon, 1984).
Salah satu candi di Muara Jambi, Candi
Gumpung, menunjukkan persamaan yang
menonjol dengan Candi Jawi di Jawa Timur,
yaitu candi yang dibangun untuk memuliakan
raja Kertanagara sehingga Suleiman menyimpulkan
bahwa: "Krtanagara tampaknya berupaya
untuk memperkuat Jambi sebagai
tempat yang strategis dengan mengirim
armada yang terdiri dari laskar dan buruh, dan
juga dengan membangun tempat ibadah agama
Budha di Muara Jambi. Pemindahan
tenaga kerja dalam skala besar ini melemahkan
Singasari, dan malahan dapat dillihat
sebagai akibat langsung yang menyebabkan
keruntuhan kerajaan Krtanagara” (Suleiman,
1982). Sebagaimana jauh upaya Kertanagara
untuk memperkuat Muara Jambi tidak diketahui
dengan pasti, tetapi kita tahu bahwa
Kertanagara menganugerahkan patung Amo19
ghapasa kepada segenap rakyat Malayu yang
atas perintahnya didirikan di Dharmasraya
yang letaknya juga di tepi Batang Hari, tetapi
sekitar 300 kilometer ke arah hulu.
Lokasi Dharmasraya, walaupun belum
diteliti secara mendalam, telah menarik perhatian
orang ketika pada tahun 1935 di desa
Sungai Langsat ditemukan patung raksasa
Bhairawa setinggi 4.41m yang terbuat dari
batu andesit. De Casparis (1989:938) menduga
bahawa patung yang berujud ganas itu
barangkali sengaja diletakkan di Dharmasraya
untuk menakuti musuh-musuhnya agar mereka
tidak berani mendekati pusat kerajaan
Adityawarman. Arca itu memang ditemui di
tepi jalan yang menuju daerah Sumatra Barat,
dan dapat diduga bahwa di dahulu kala jalan
yang sama juga digunakan dalam menempuh
perjalanan ke dataran tinggi Minangkabau.
Mengapa Kertanagara yang, menurut
Suleiman, berupaya untuk memperkuat Muara
Jambi sebagai tempat strategis, menaruh
perhatian pada tempat yang letaknya sedemikian
jauh dari pesisir?
Dari Dharmasraya ke
Suruaso
Kertanagara tentu mengetahui akan ancaman
yang berasal dari luar seperti pasukan
Kublai Khan yang mulai mengganggu ketenteraman
di hampir seluruh Asia Tenggara, ditambah
lagi dengan kehadiran pasukan Thai
di semenanjung. Mengingat keadaan yang tidak
aman lagi di daerah pesisir, pemindahan
ibu kota ke pedalaman adalah tindakan yang
bijaksana. Sekiranya benar bahwa ibu kota
Malayu pindah dari Muara Jambi ke Dharmasraya
di sekitar tahun 1286, dan mengingat
pula bahwa pada tahun 1310 ibu kota Malayu
sudah berada di Suruaso di lembah-lembah
pegunungan Sumatra Barat, maka Dharmasraya
hanya menjadi ibu kota selama kurang dari
25 tahun. Apa yang terjadi selama kurun waktu
itu sehingga ibu kota Malayu dua kali dipindahkan?
Secara geografis kawasan Malayu-Jambi
mencakup daerah aliran sungai Batang Hari
beserta dengan anak sungai seperti Merangin,
Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan
seperti Kerinci dan Sumatra Barat.
Menurut Scholz (1988:31) secara geografis
Sumatra terdiri dari lima kawasan, yaitu pesisir
barat, kawasan pegunungan, kawasan kaki
gunung, dataran luas yang hampir rata (peneplain),
dan pesisir timur. Pesisir barat yang
sangat sempit (10-20 km) mencakup daerah
kira-kira dari Pariaman di utara sampai Mukomuko
di selatan. Daerah ini ditandai oleh curah
hujan yang tinggi sehingga terdapat sejumlah
sungai yang deras yang memotongmotong
daerah pesisir barat sehingga mempersulit
hubungan antara utara dan selatan, ditambah
lagi oleh rawa-rawa yang sering terdapat
di kawasan ini. Hubungan laut pun sangat
sulit karena ombaknya tinggi dan kurangnya
pelabuhan yang terlindung. Kawasan ini
umumnya dihuni oleh penduduk yang merantau
dari pegunungan.
Kawasan pegunungan termasuk tiga lembah
di daerah Minangkabau di sekitar Gunung
Merapi. Bagian bawah ketiga lembah dibentuk
oleh Danau Maninjau dan Danau Singkarak,
dan arah selatan di Kecamatan Solok Selatan
terdapat dua danau kecil, yaitu Danau
Dibawah dan Danau Diatas. Bagian selatan
kawasan pegunungan Bukit Barisan ditandai
oleh Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci.
20
Dapat diduga bahwa pemukiman yang paling
tua terletak di sekitar danau-danau tersebut,
dan lembah-lembah di sekelilingnya sangat
cocok sebagai daerah pemukiman karena hawa
yang sejuk dan tanah yang subur. Tidak
mengherankan bahwa kepadatan penduduk
yang paling tinggi ditemukan di daerah pegunungan.
Di sebelah timur pegunungan Bukit Barisan
terdapat kawasan kaki gunung (dengan
ketinggian di bawah 150m) yang lebarnya
sekitar 40km, peneplain, dan pesisir timur.
Untuk tujuan kita cukuplah bila ketiga
kawasan tersebut dianggap satu saja. Pendekatan
yang sama juga diambil oleh Miksic
(1985:424) yang menyebut ketiga kawasan
sebagai dataran rendah.
Berbeda dengan kawasan pegunungan,
dataran rendah ditandai oleh kesuburan tanah
dan kepadatan penduduk yang sangat rendah.
Akan tetapi hubungan antar daerah di dataran
rendah jauh lebih mudah karena terdapat
sungai-sungai yang dapat dilayari, dan di
pesisir timur yang dibatasi oleh Selat Malaka
juga terdapat sejumlah pelabuhan yang aman.
Batang Hari dan anak sungai seperti Tembesi,
Merangin, Bungo, dan Tebo, dapat dilayari
oleh kapal seberat 20 ton sejauh 300km ke
pedalaman di musim kemarau, dan lebih jauh
lagi di musim penghujan. Oleh sebab itu tempat
permukiman biasanya didirikan di tempat
perhubungan yang strategis seperti di tempat
dua sungai bertemu, dan tidak di muara sungai
yang rawan terhadap angin yang dapat
menghancurkan armada kapal.
Dengan demikian terdapat dua zona ekonomi
yang sangat berbeda: Pegunungan yang
subur dan padat penduduk, dan pesisir timur
yang tanahnya miskin, tetapi strategis dalam
hal perdagangan.
Melihat sumber arkeologi, Bambang Budi
Utomo tiba pada kesimpulan bahwa pusat-pusat
kerajaan yang awal selalu terletak di pedalaman
(Utomo, 1990:72). Kemakmuran kerajaan-
kerajaan ini bersumber pada kekayaan
alam, dan aset utamanya ialah tanah yang subur.
Karena makmur dan padat penduduk maka
kerajaan-kerajaan ini dapat memperluas
kekuasaan sampai ke pesisir. Bambang juga
mengingatkan kita bahwa “apabila daerah
pesisir menjadi lebih menguntungkan maka
pusat kerajaan dapat dipindahkan ke pesisir timur.
Itulah sebabnya maka Jambi dapat berkembang
didukung oleh sumber penghasilan
yang berasal dari daerah pedalaman.”
Memang benar bahwa Malayu-Jambi diuntungkan
karena dapat memperdagangkan hasil
dari pegunungan, akan tetapi kerajaan-kerajaan
pesisir seperti Sriwijaya menjadi makmur
karena dapat menguasai arus perdagangan di
Selat Malaka. Karena kekuasaan yang mutlak
atas perdagangan di Selat Malaka maka Sriwijaya
berkembang menjadi salah satu kerajaan
yang terkuat di Asia Tenggara, tetapi keadaannya
sudah mulai berubah ketika Palembang
dikalahkan oleh Jambi di abad ke-11.
Karena pola perdagangan telah berubah
dan Jambi tidak lagi menguasai perdagangan
di Selat Malaka tetapi hanya menjadi salah
satu dari beberapa pemain, dan karena keadaan
keamanan – ancaman dari pasukan Kublai
Khan dan Thai – maka diputuskan untuk memindahkan
ibu kota Malayu ke Dharmasraya
yang terletak lebih aman di perbatasan dataran
rendah dengan kawasan kaki gunung.
Dapat diduga bahwa Dharmasraya dipilih
sebagai pusat kerajaan baru karena letaknya
lebih aman di pedalaman, tetapi masih dapat
21
berfungsi sebagi tempat yang penting dalam
arus perdagangan internasional karena Dharmasraya
merupakan tempat yang, walaupun
terletak 200 km di pedalaman, masih dapat
diraih oleh tongkang yang berlayar hilirmudik
di Batang Hari. Menurut Thahar
sampai sekarang tongkang masih dapat berlayar
sampai ke Sungai Dareh yang terletak
10km arah ke hulu dari Dharmasraya (Thahar,
2000). Dengan adanya pusat pemerintahan di
Dharmasraya maka hubungan antara Dharmasraya
dan daerah di pegunungan menjadi
lebih erat, apalagi mengingat bahwa daerah
pedalaman kaya akan hasil hutan dan hasil
pertanian yang dapat diperdagangkan. Kerinci
memang sudah lama dikenal sebagai daerah
penghasil lada (merica).
Jenis lada yang ditanam di zaman Adityawarman
mungkin merupakan lada asli Indonesia,
dan bukan Piper Nigrum yang berasal dari
daerah Malabar di India dan lebih laku di pasaran.
Lada pada saat itu memang merupakan
komoditi yang sangat laris dalam perdagangan
internasional, dan diketahui bahwa utusan
yang dikirim dari Jawa ke Tiongkok pada
tahun 1382 membawa 75.000 kati (sekitar 20
ton) lada, dan sebuah kapal yang berlayar dari
Malayu ke Tiongkok membawa upeti yang di
samping lada juga termasuk rempah-rempah
lain seperti cengkeh, kapulaga, serta kapur
Barus dan wangi-wangian. Tidak tertutup pula
kemungkinan bahwa Malayu bahkan sudah
menghasilkan Piper Nigrum yang mungkin
diperoleh dari saudagar Tamil.
Pada abad ke-14 Malayu, termasuk daerah
pegunungan, sudah mempunyai kaitan erat
dengan para saudagar Tamil. Nama Kerinci
sendiri berasal dari bahasa Tamil dan dari naskah
Tanjung Tanah kita ketahui bahwa pada
abad ke-14 Kerinci dikenal sebagai Kurinci,
yaitu nama sebuah bunga (Strobilanthes) yang
hanya terdapat di pegunungan dan yang
berkembang hanya sekali dalam dua belas
tahun. Menurut kosmologi orang Tamil, bumi
Tamil dapat dibagi menjadi lima daerah, dan
salah satu di antaranya, yaitu daerah pegunungan,
dinamakan Kurinci sesuai dengan
bunga yang khas di pegunungan Tamil
(Singaravelu, 1966:19). Bahwa saudagar
Tamil memang sudah berpijak di pegunungan
Malayu juga tampak dari prasasti Batu
Bapahat yang mengandungi teks berbahasa
Tamil dan Sansekerta yang ditemukan dekat
Suruaso di Sumatra Barat (Casparis, 1990).
Pengaruh Tamil juga jelas ada di pesisir timur
sebagaimana tampak dari patung Dipalaksmi
bergaya Cola yang ditemukan di Koto Kandis
di hilir Batang Hari (McKinnon, 1984).
Hubungan yang cukup erat antara Malayu dan
Tamil menunjukkan bahwa seluruh daerah
Malayu telah terlibat dalam perdagangan
internasional, dan kemungkinan besar bahwa
Malayu, di samping lada asli Indonesia, juga
sudah mulai menanam Piper Nigrum untuk
diekspor.
Tetapi bukan lada saja yang menjadi
komoditi laris dalam perdagangan antarbangsa.
Dilaporkan pula bahwa lilin lebah,
gading, tanduk burung enggang, kayu gaharu,
damar kayu tusam, dan tanduk badak juga
menjadi komoditi yang sangat laris di pasaran
Tiongkok (McKinnon, 1992:134-135).
Dilihat dari segi perdagangan, ibu kota
Malayu di pegunungan Minangkabau terletak
di daerah yang strategis yang merupakan tempat
bertemunya berbagai jalan darat sehingga
perdagangan darat dapat dikuasai secara efektif.
Jalan darat yang yang melintas dari utara
22
hingga selatan sampai sekarang masih melewati
daerah Minangkabau, dan demikian juga
jalan darat dari barat ke timur yang menghubungkan
Padang dengan Jambi dan Palembang.
Begitu juga halnya dengan jalan yang
menghubungkan Padang dengan Pekanbaru
yang juga melintas lembah-lembah di pegunungan
Sumatra Barat. Tentu bukan kebetulan
bahwa Dharmasraya terletak tepat di pinggiran
jalan raya antara Padang dan Jambi! Kemungkinan
besar bahwa pola hubungan darat
yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan
keadaan di zaman Adityawarman. Keadaan di
pegunungan sangat ideal karena terlindung
dari bahaya yang berasal dari luar, dan juga
karena tanah yang subur di lembah-lembah
Ranah Minangkabau merupakan dasar ekonomi
yang kuat, terutama jika perdagangan internasional
kurang menjanjikan sebagaimana
halnya di abad ke-14.
Hasil hutan, pertanian, dan pertambangan
diperdagangkan ke pantai timur melalui dua
sungai yang berhulu di sekitar daerah Minangkabau
dan bermuara di Selat Malaka, yaitu
Batang Kuantan (Indragiri) dan Batang
Hari. Menurut Dobbin (1983:61) emas diperdagangkan
melalui Batang Kuantan dan Kampar
Kiri, namun teori tersebut bertumpu pada
keadaan di kemudian hari dan belum tentu
mencerminkan keadaan di masa pemerintahan
Akarendrawarman dan Adityawarman. Pada
masa itu Suruaso, Dharmasraya dan Muara
Jambi merupakan tiga pusat utama sehingga
dapat kita simpulkan bahwa barang dagangan
terutama diangkut melalui Batang Hari.
Dua prasasti Adityawarman yang dipahat
di batu dan yang terletak di atas sebuah selokan
yang digali untuk mengairi daerah persawahan
di sekitar Suruaso menunjukkan
bahwa Adityawarman juga menaruh perhatian
pada pekembangan pertanian. Di kedua prasasti,
yang satu berbahasa Tamil dan yang
satu lagi berbahasa Sansekerta, dapat kita
baca bahwa selokan tersebut telah dibangun
selama masa pemerintahan Akarendrawarman,
tetapi baru diselesaikan di bawah pemerintahan
Adityawarman untuk mengairi
“taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa
kaya akan padi” (Casparis, 1990:42).
Surawasa adalah nama tempat yang sekarang
berubah menjadi Suruaso yang letaknya hanya
beberapa kilometer dari Batusangkar dan
Pagaruyung yang di kemudian hari menjadi
ibu kota Minangkabau. Keadaan Suruaso di
zaman Adityawarman pasti tidak jauh beda
dengan keadaan yang sekarang. Tempatnya
indah dengan pemandangan areal persawahan
yang luas. Akarendra dan Adityawarman
tentu sangat menyadari pentingnya sektor pertanian,
akan tetapi tempat untuk mendirikan
ibu kota juga dipilih karena tidak jauh dari
Suruaso terletak daerah pertambangan emas.
Di atas sudah disebut beberapa alasan maka
Malayu tergiur untuk menjejaki potensi pedalaman
seperti jumlah penduduk yang padat,
sawah yang subur, dan beraneka hasil hutan
yang dapat digarap. Namun demikian daya tarik
utama daerah pegunungan adalah kekayaannya
akan emas. Adityawarman menyebut
dirinya Kanakamedinindra – “Penguasa Tanah
Emas", dan malahan seluruh Sumatra dikenal
di India sebagai Suvarnadvipa (pulau
emas). Sumber emas di Sumatra terdapat di
sepanjang Bukit Barisan, dan terutama di Minangkabau,
Kerinci, serta di Lebong.
Kerinci sudah lama dikenal sebagai daerah
penghasil emas sehingga Valentijn menyebut
Kerinci di 1726 sebagai penghasil emas ter23
utama di Sumatra (namun keterangan tersebut
mesti ditanggapi dengan hati-hati karena daerah
lain juga sering disebut sebagai “penghasil
utama”). Pengetahuan kita akan pertambangan
emas di zaman dahulu sangat terbatas, tetapi
seorang ahli geologi Belanda mencatat adanya
42 tambang emas di sekitar Kerinci yang dikerjakan
secara tradisional dan mencapai kedalaman
sampai 60 meter (Miksic, 1985:452).
Tanah Datar di Sumatra Barat juga dikenal sebagai
daerah penghasil emas, sementara sumber
emas di Rejang-Lebong di zaman dahulu
tidak ditambang melainkan didulang
(Prodolliet dan Znoj, 1992:58).4
Kekayaan Suvarnadvipa yang juga disebut
Suvarnabhumi (bumi emas) tercermin ketika
600.000 biji emas yang disumbangkan maharaja
Palembang demi pembangunan kuil Tao
di Kanton pada tahun 1079 (Wolters,
1970:15). Sumber Arab dari abad ke-10 menceritakan
bahwa maharaja Zabag (Malayu)
setiap hari “melemparkan biji emas ke dalam
sebuah kolam. Pada saat air surut baru
kelihatan betapa banyak emas yang sudah terkumpul
di dasar kolam tersebut. Ketika maharaja
meninggal seluruh emas dibagi kepada
permaisuri dan keluarganya [...]. Sisanya diberi
kepada kaum miskin” (Andaya,
2001:322). Emas menjadi penting terutama
sebagai lambang status bagi para bangsawan,
dan juga digunakan untuk membeli kain,
garam, besi, dan barang-barang mewah, tetapi
baru pada abad ke-16 maka emas menjadi
komoditi yang diekspor.
Walaupun pemindahan ibu kota dari Muara
Jambi ke Dharmasraya pada awalnya merupakan
tindakan defensif untuk mencegah
4 Pertambangan emas dalam skala besar baru dimulai di
Lebong pada masa zaman Belanda.
kemungkinan Malayu diserang pasukan
Kublai Khan, dan untuk lari dari serangan
bertubi-tubi dari pasukan Sukothai yang
dilangsungkan oleh berbagai suku di perairan
Selat Malaka, pada akhirnya pemindahan ke
pedalaman juga membuka kesempatan yang
mungkin tidak diduga semula. Dharmasraya
yang letaknya persis di perbatasan antara
Jambi dan Minangkabau merupakan tempat
yang ideal untuk menggarap potensial yang
terletak di pedalaman sehingga diambil langkah
untuk memindahkan ibu kota Malayu ke
Suruaso agar dengan mudah dapat mengontrol
tambang emas yang terletak di sekitar Tanah
Datar.
Dharmasraya dan Muara Jambi masih tetap
memainkan peranannya yang masing-masing.
Muara Jambi tetap menjadi pelabuhan tempat
armada perdagangan Malayu berpangkal,
tetapi Malayu tidak lagi menguasai Selat
Malaka dan hanya menjadi salah satu dari
berbagai pemain dalam perdagangan antarpulau
dan antarbangsa. Dharmasraya tetap
sangat penting sebagai pelabuhan tempat
bongkar-muat barang, dan juga sebagai
tempat untuk menjalin hubungan dengan
negeri-negeri di sekitar seperti Kerinci. Sebagaimana
tampak dari naskah Tanjung Tanah
penguasa Dharmasraya jelas berada di bawah
penguasa Suruaso karena yang pertama
menyandang gelar Maharaja sementara baik
Akarendrawarman maupun Adityawarman
bergelar maharajadiraja.5
Setelah ibu kota pindah ke Suruaso Malayu
meraih puncak perkembangannya. Bahwa
5 Bahwa Adityawarman menggunakan gelar tertinggi ini
tampak dari prasasti yang dipahat di tahun 1347 pada
bagian belakang patung Amoghapasa yang 61 tahun
sebelunya dihadiahkan oleh Krtanagara kepada raja
Malayu.
24
negerinya kaya-raya tampak dari puluhan prasasti
yang hampir semuanya berada di dataran
tinggi Minangkabau. Menurut De Casparis
kerajaan Malayu di bawah Adityawarman
malahan menjadi sebuah imperium yang
menguasai seluruh Sumatra. Casparis di sini
merujuk pada pupuh 13 Nagarakrtagama yang
menyebut 24 negeri yang tunduk kepada bumi
Malayu. Dalam hal ini penulis tidak sepenuhnya
setuju dengan De Casparis karena dua
alasan. Pertama, hal yang ditekankan dalam
Nagarakrtagama adalah bahwa seluruh bumi
Malayu tunduk pada Jawa Timur, dan yang
dimaksud dengan bumi Malayu di sini
kemungkinan besar bukan kerajaan Malayu
melainkan pulau Sumatra pada umumnya.
Kedua, sulit untuk mebayangkan bagaimana
Malayu secara efektif dapat menguasai
negara-negara di Aceh seperti Samudra Pasai
yang pada awal akhir abad ke-13 telah memeluk
agama Islam, dan menjadi salah satu pelabuhan
terutama di perairan Selat Malaka.
Menurut Hall selama abad ke-14 bagian selatan
Sumatra tidak lagi memainkan peranan
yang berarti dalam perdagangan internasional
di Selat Malaka yang telah diambil alih oleh
Lamuri dan Samudra Pasai (Hall, 1985:213).
Di sisi yang lain De Casparis tentu benar
bila ia menolak bahwa Malayu takluk pada
Jawa: “Mungkin sekali Adityawarman mengakui
kewibawaan negara Madjapahit, tetapi
hal itu tidak ternyata dari prasastinya, yang
tidak pernah menyebutkan ketergantungan
Adityawarman dari Majapahit: nama pulau
Jawa pun belum ditemukan dalam prasastiprasasti
raja itu” (Casparis, 1992). Beberapa
halaman kemudian ditambahnya: “Dipandang
dari sudut mata itu kita mendapat kesan
bahwa penggunaan gelar luhur itu [maharajadhiraja]
oleh Akarendrawarman berarti bahwa
ia memandang kedudukannya setinggi raja
Jawa [...] dengan kata-kata lain, ia tidak
mengakui kewibawaan negara Jawa Timur,
yaitu negara Majapahit” (ibid, hal. 240).
Ternyata kerajaan Tiongkok juga
memandang Adityawarman sebagai penguasa
yang mutlak. Kaisar T‘ai-Tsu (1368-98)
mengirim utusan ke Sumatra yang selama
setahun (1370-71) menetap di San-fo ch’i –
demikian kawasan Jambi-Palembang dikenal
di Tiongkok). Sesudah utusan tersebut pulang
maka raja Malayu mengirim pula utusan ke
Tiongkok dengan membawa upeti. Raja tersebut
bernama Ma-ha-la-cha-pa-la-pu yang
dapat diartikan sebagai Maharaja Prabhu,
yang, menurut Wolters, tidak lain daripada
Adityawarman sendiri (Wolters, 1970:58).
Prasasti terakhir yang menyebut Adityawarman
bertanggal tahun 1375, dan menurut
sebuah sumber sejarah raja Ta-ma-sha-na-achih
meninggal pada tahun 1376. Raja yang
sama pernah disebut di tahun 1374 dengan
nama Ta-ma-lai-sha-na-a-chih, dan jika unsur
ma-lai dalam nama tersebut berarti Malayu,
maka dapat disimpulkan bahwa Adityawarman
meninggal pada tahun 1376. Disebut pula
bahwa pada tanggal 13 September 1377 raja
yang menggantikannya yang bernama Ma-nachich-
wu-li mengirim utusan ke Tiongkok
dengan permintaan agar diakui sebagai raja
Malayu. Tentu saja pengganti Adityawarman
itu merasa dirinya berhak untuk diakui sebagai
raja yang memiliki kedaulatan yang mutlak.
Ternyata Majapahit, yang masih menganggap
Malayu sebagai daerah tundukannya,
tidak rela mengizinkannya, dan merasa tersinggung
karena ternyata kaisar Tiongkok
25
menganggap raja Malayu dan raja Jawa
setaraf kedudukannya. Amarah Majapahit ternyata
meluap sedemikian rupa sehingga armada
Jawa disuruh untuk menangkap dan membunuh
utusan Tiongkok yang sedang berlayar
ke Malayu untuk menobatkan raja yang baru.
Sumber Tiongkok melaporkan bahwa sesudah
kejadian itu Malayu makin melemah dan
tidak lagi mengirim utusan ke Tiongkok. Apa
yang terjadi di Malayu pada periode sesudah
1376 kurang jelas, akan tetapi karena tidak
ada lagi prasasti yang didirikan maka dapat
kita anggap bahwa Majapahit telah menyerang
Malayu dan melumpuhkan pemerintahannya.
Sumber Tiongkok pun tidak lagi menyinggung
Malayu, dan baru pada tahun 1397
kaisar T‘ai-Tsu menaruh lagi perhatian pada
Sumatra. Dalam sumber Tiongkok Ming-shih
dikabarkan bahwa Palembang telah dikuasi
oleh Jawa dan bahwa San-fo-ch‘i merupakan
"negara yang hancur yang dilanda kerusuhan
sehingga Jawa sendiri tidak lagi dapat
mengendalikan negara tersebut” (Wolters,
1970:71).
Apa yang sesungguhnya terjadi tidak jelas,
tetapi data arkeologi mengesankan bahwa
sebagian besar situs di pantai timur Sumatra,
termasuk Pulau Kompei dan Kota Cina di
Sumatra Utara, serta Muara Jambi, Muara
Kumpeh Hilir, dan Koto Kandis yang terletak
di tepi Batang Hari, dimusnahkan atau ditinggalkan
oleh penduduknya pada akhir abad ke-
14, yang, menurut McKinnon, merupakan akibat
langsung dari politik imperialis Majapahit
di perairan Selat Malaka (McKinnon,
1984:65).
Berdasarkan data sejarah sangat besar
kemungkinan bahwa naskah Tanjung Tanah
yang ditanggalkan secara radio karbon antara
tahun 1304 dan 1436 ditulis sebelum tahun
1397. Mengingat bahwa periode antara 1377
dan 1397 ditandai oleh ketidakpastian dan
diwarnai peperangan, maka dapat disimpulkan
bahwa naskah Tanjung Tanah malahan ditulis
sebelum tahun 1377, yaitu selama masa kerajaan
Adityawarman.
Ternyata dari naskah tersebut bahwa Maharaja
Dharmasraya yang menurut gelarnya
jelas merupakan bawahan Maharajadhiraja
Adityawarman, berkehendak untuk mengukuhkan
hubungan dengan para penguasa di
lembah Kerinci. Tidak diketahui secara jelas
bagaimana hubungan antara Malayu dan
Kerinci pada saat itu, akan tetapi Kerinci pasti
menjadi salah satu mandala kerajaan Malayu
sehingga Malayu menganggap penting untuk
memperkukuh hubungan perdagangan
dengannya. Bagian kitab undang-undang
Tanjung Tanah yang menyebut “Dan lagi,
barang siapa mengubah sukatan gantang,
cupak, katian, kundir,6 bungkal,7 pihayu8, didenda
satu seperempat tahil” menunjukkan
bahwa pihak penulis naskah, yaitu penguasa
Dharmasraya, menganggap penting untuk menetapkan
aturan-aturan perdagangan dengan
mengenakan denda bagi mereka yang memalsukan
takaran. Ternyata Kerinci pada saat itu
menjadi mitra perdagangan yang cukup penting
buat kerajaan Malayu.
Pemindahan ibu kota dari pesisir ke pedalaman
merupakan proses penyesuaian terhadap
keadaan geopolitis dan ekonomi yang
telah mengalami perubahan. Periode ketika
Dharmasraya menjadi ibu kota dapat dilihat
6 1 kundir = 1/16 mas
7 1 bungkal = ½ kati
8 Arti pihayu tidak diketahui.
26
sebagai masa pengalihan. Kerajaan Malayu-
Jambi yang dahulu bersifat bahari mencari jati
diri baru dengan mengeksploitasi sumber pedalaman
sehingga pada awal abad ke-14
proses transformasi telah selesai dengan berbentuknya
kerajaan Malayu-Minangkabau
yang berpusat di Suruaso.
Namun hal ini tidak berarti bahwa dengan
pemindahan ibu kota ke pedalaman Malayu
tidak lagi terlibat dalam perdagangan internasional.
Malayu diketahui masih tetap mengirim
utusan ke Tiongkok, yaitu di tahun 1281,
1293, 1299 dan 1301, dan enam lagi utusan
dikirim antara 1371 dan 1377. Dengan demikian
Malayu masih tetap mempertahankan
identitas sebagai kerajaan bahari sambil mencari
identitas baru dengan lebih memfokuskan
diri pada potensi pedalaman. Perdagangan
maritim masih tetap menjadi salah satu pilar
penopang ekonomi, kendatipun pilar itu sudah
mulai goyang. Perdagangan maritim tetap
berlangsung di pantai timur di sekitar Muara
Jambi serta pelabuhan lainnya di sekitar
Sungai Kuala Niur
Hubungan Adityawarman
dengan Majapahit
Bagian ini berdasarkan uraian De Casparis
dalam artikel yang berjudul Kerajaan Malayu
dan Adityawarman (Casparis, 1992). Karena
artikel tersebut sangat sukar diperoleh, dan
juga karena tidak layak untuk dikutip karena
terlalu banyak salah cetak, maka sebagian dari
artikel tersebut disalin kembali dalam bagian
buku ini.
Menurut historiografi tradisional nama
Minangkabau berasal dari kemenangan orang
Minang dalam pertandingan adu kerbau
dengan orang Jawa. Kerbau orang Jawa yang
sangat besar dapat dikalahkan oleh anak kerbau
Minangkabau yang dipasangi pisau di
kepalanya. Konon anak kerbau itu selama berhari-
hari tidak diberi minum susu sehingga
mengejar kerbaunya orang Jawa hendak
minum susu. Mitos tersebut mungkin berkaitan
dengan keengganan baik Akarendrawarman
maupun Adityawarman untuk mengakui
kedaulatan Majapahit.
Di sisi yang lain Adityawarman juga dikenal
sebagai seorang yang dekat dengan penguasa
Majapahit. Menurut kitab Pararaton yang
ditulis di abad ke-15 pasukan Jawa yang dikirim
oleh Kertanagara ke negara Malayu kembali
ke Jawa Timur di tahun 1293 dengan
membawa dua putri Melayu, masing-masing
bernama Dara Petak dan dara Jingga. Dara
Petak dikawinkan dengan Wijaya yang menjadi
Prabu Majapahit yang pertama (1293-
1309) sementara Dara Jingga menikah dengan
seorang “dewa”, dan putranya menjadi raja di
Malayu yang bernama Tuhan Janaka, bergelar
Sri Marmadewa, dan dinobatkan sebagai Haji
Mantrolot. Nama-nama yang disebut di dalam
Pararaton tidak terdapat dalam sumber sejarah
sehingga sulit untuk ditafsirkan. Yang dimaksud
dengan “Marmadewa” yang menjadi raja
Malayu kemungkinan besar Warmadewa,
ialah nama penobatan ketiga raja Malayu, Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa, Akarendrawarman,
dan Adityawarman yang juga bergelar
Maulimaniwarmadewa. Adapun “dewa”
yang menjadi suami Dara Jingga dapat diinterpretasikan
sebagai seorang anggota keluarga
Prabu Singasari/Majapahit yang memakai
gelar yang berakhir dengan uttungadewa.
Menurut De Casparis perkawinan puteri
Malayu dengan keluarga raja Jawa Timur
27
dimaksud untuk memperkokoh hubungan
persekutuan yang telah dijalin dengan
Malayu. Pada umumnya dianggap bahwa
Adityawarman menjadi putra Dara Jingga,
namun De Casparis lebih cenderung bahwa
Akarendrawarman yang dimaksud dengan
Tuhan Janaka alias Sri Marmadewa, alias raja
(aji) Mantrolot. Beliau jugalah yang mendirikan
ibu kota baru di Suruaso sebagaimana
tampak dari prasasti Pagaruyung (PG 07)
yang menceritakan perjalanan yang dilakukan
oleh raja Akarendrawarman yang menurut
penafsiran De Casparis bertalian dengan
pemindahan ibu kota ke Suruaso.
Mengenai hubungan antara Akarendrawarman
dan Adityawarman maka De Casparis
yakin bahwa Akarendrawarman adalah
mamaknya Adityawarman sesuai garis keturunan
matrilineal yang berlaku di Minangkabau.
9
Di istana Majaphit terdapat seorang pegawai
tinggi bergelar mantri praudhataro, alias
wreddhamantri, gelar tinggi di istana Majapahit
yang bernama Adityawarma. Nama itu tercantum
dalam tulisan di belakang patung
Manjusri di Candi Jago (sekarang tersimpan
di Museum Nasional dengan nomor inventaris
D. 214). Isinya menyebut bahwa patung Manjusri
ditempatkan di tempat pendarmaan Jina
oleh seorang bernama Adityawarma yang
tidak lain daripada Adityawarman.
Menurut Bosch tulisan dan ejaan prasasti
di belakang patung tersebut berbeda dengan
jenis tulisan yang lazim terdapat di Jawa
Timur selama abad ke-14. Akan tetapi tulisan
tersebut mirip dengan tulisan prasasti Aditya-
9 Di kemudian hari, mungkin di bawah pengaruh Islam
yang diterima di abad ke-16, penggantian raja dilakukan
menurut sistem patrilineal.
warman di Sumatra Barat. Pada zaman itu
tulisan Sumatra sudah mempunyai gaya khusus,
yang sepintas dapat dibedakan dari
tulisan Jawa pada masa itu. Antara lain,
sandangan ulu (i) yang di Jawa dinyatakan
dengan lingkaran kecil di atas aksara, menjadi
lebih besar dan terbuka di bagian bawahnya.
Ejaannya juga berbeda, misalnya pemakaian
aksara ba dalam kata bansa, sementara di
Jawa adalah wansa. Terjemahannya menurut
Bosch berbunyi sebagai berikut:
Dalam kerajaan yang dikuasai oleh Ibu
Yang Mulia Rajapatni maka Adityawarman
itu, yang berasal dari keluarganya, yang berakal
murni dan bertindak selaku menteri
wreddaraja, telah mendirikan di pulau Jawa,
di dalam Jinalayapura, sebuah candi
yang ajaib – dengan harapan agar dapat
membimbing ibunya, ayahnya dan sahabatnya
ke kenikmatan Nirwana.10 (Bosch,
1921:194)
Candi Jinalaya(pura) yang dimaksud adalah
Candi Jago atau Tumpang, tempat asalnya
patung Manjusri tersebut. Candi tersebut
mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara
untuk menghormati ayahanya, raja
Wisnuwardhana, yang mangkat pada tahun
1268. Bila sebuah candi umumnya didirikan
(atau diresmikan) sesudah upacara sraddha
yang dilangsungkan 12 tahun sesudah kemangkatan,
maka Candi Jago didirikan pada
tahun 1280M. Berdasarkan tafsiran Bosch
dari tulisan tersebut, maka Adityawarman
mendirikan candi tambahan di lapangan Candi
Jago tersebut. Atau mungkin pula candi yang
didirikan tahun 1280 sudah runtuh dan digantikan
dengan candi baru. Tidak adanya sisasisa
bangunan besar di samping Candi Jago
10 Terjemahan asli dalam bahasa Belanda, diterjemahkan
ulang oleh De Casparis.
28
yang sekarang, menunjukkan penjelasan yang
kedua yang masuk akal. Ini didukung pula
dengan gaya relief dan ukiran pada candi tersebut
yang, menurut analisis Stutterheim
(1936), membuktikan bahwa candi yang sekarang
lebih baru daripada abad ke-13.
Akan tetapi soal yang paling banyak
memunculkan diskusi adalah persoalan kata
majemuk tadbangsaja, “berasal dari keluarganya”
atau lebih tepat “yang dilahirkan di keluarga.”
Tentang asal Adityawarman tercatat
bahwa ia merupakan keturunan raja Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa yang memerintah
di Melayu pada tahun 1286 dan menyambut
dengan hormat patung Amoghapasa yang
dikirim Kertanagara ke sana. Lalu bagaimana
kedua jenis keterangan tersebut dapat digabungkan?
Berdasarkan gaya tulisan dan ejaan prasasti
Adityawarman pada patung Manjusri, Bosch
menyimpulkan bahwa keduanya dipengaruhi
oleh gaya Sumatra. Hal ini membuktikan
bahwa tulisan itu berasal dari tangan seorang
Sumatra dan barangkali malahan dari tangan
Adityawarman sendiri. Di bagian belakang
prasasti Ombilin terbaca kata-kata svahastena
maya Adityawamana, (ini ditulis) oleh saya,
Adityawarman. Dengan demikian raja itu pandai
menulis dalam bahasa Sansekerta sehingga
terdapat kemungkinan bahwa prasasti
Manjusri juga ditulis Adityawarman sendiri
yang pada saat itu belum menjadi raja, tapi
seorang wreddhamantri. Kalaupun bukan
Adityawarman maka penulisnya tentu seorang
dari perwiranya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Adityawarman pernah
singgah di istana Majapahit sebagai seorang
putera Sumatra. Sesuai dengan politik Gajah
Mada terhadap “Nusantara” (pulau-pulau di
luar Jawa), para pembesar dari berbagai
daerah di Indonesia diundang atau dipanggil
ke istana guna memberi hormat pada sang
Ratu di Majapahit.
Dengan demikian asal-usul Adityawarman
dapat disimpulkan bahwa (1) ia adalah
seorang pembesar dari Sumatra, yang singgah
beberapa saat di Jawa Timur di istana Majapahit,
(2) ia dilahirkan di dalam keluarga Rajapatni:
putri Kertanagara dan permaisuri Kertarajasa
(Raden Wijaya) yang keempat. Pertentangan
ini dapat diselesaikan bila sang Rajapatni
sendiri juga berasal dari Sumatra.
Prof. Berg pernah memberi perhatian khusus
kepada keempat putri Kertanagara yang
menjadi permaisuri Kertarajasa, yang dianggapnya
sebagai misteri. Dalam sumber-sumber
sejarah, seperti Negarakertagama, Pararaton
dan beberapa buah prasasti, ada beberapa
data yang sukar ditafsirkan. Yang terpenting
adalah keterangan bahwa keempat
putri itu melambangkan keempat nusantara:
Banli (Bali: ialah seluruh bagian timur kepulauan
Indonesia), Melayu (yaitu pulau Sumatra),
Madhura (pulau Madura), dan Tanjungpura
(pulau Borneo/Kalimantan). Keempat
“nusantara” itu tak hanya dianggap sebagai
empat benteng yang melindungi pulau Jawa
(catusprakara), melainkan juga dihubungkan
dengan keempat putri Kertanagara, yang disebut
prakerti nusantara itu masing-masing.
Mungkin maksud si penulis ialah untuk
menunjukkan betapa erat hubungan raja
dengan pulau-pulau di luar Jawa, tetapi justru
jumlah empat menimbulkan kesan bahwa
setiap putri dihubungkan dengan pulau tertentu.
Umum diketahui bahwa menurut hukum
adat di Jawa (dan lain wilayah di Indonesia),
anak-anak dapat diangkat dan kemudian
29
menikmati hak yang sama dengan anak kandung.
Guna menjamin eratnya hubungan antara
Jawa dengan pulau-pulau lain di Indonesia
maka Kertanagara memilih putri-putri dari
setiap “nusantara” untuk menjadi menantunya.
Dipandang dari sudut ini maka ada kemungkinan
bahwa seorang putri Melayu adalah
anggota rajakula Singasari/Majapahit, sehingga
keturunannya juga dianggap sebagai
seorang putra Melayu yang sebangsa dengan
ratu Tribhuwana. Maka dengan demikian
Kertanagara seakan-akan menciptakan kekerabatan
antarpulau di Indonesia, yang
kemudian menjadi dasar negara Majapahit.
Hipotesa ini dapat menjelaskan seloka di
dalam prasasti Ombilin yang menyebut bahwa
Adityawarman “bukan keturunan raja-raja”,
tetapi juga seorang raja dari bangsa Widyadhara.
Meskipun tidak jelas maksudnya, tetapi
sindiran ini terkait dalam hubungannya dengan
istana dan rajakula Majapahit. Dipandang
dari sudut politik, Adityawarman adalah
seorang pembesar Sumatra, yang berhubungan
erat dengan rajakula di Melayu (misalnya
dengan menikahi putri di rajakula tersebut),
meskipun juga dari keluarga lain.
Rekonstruksi ini walaupun mengandung
unsur hipotesa tetapi dapat memberi arti kepada
sejarah hubungan antara Jawa Timur dan
Sumatra (Malayu) pada akhir abad ke-13 dan
abad ke-14. Sebelum jangka waktu tersebut,
di masa kejayaan negara Sriwijaya, terdapat
kesan bahwa sering ada suasana persaingan
antara Sriwijaya dan Jawa, terutama sejak ibu
kota kerajaan Jawa dipindahkan ke Jawa
Timur. Sesudah runtuhnya Sriwijaya pada
akhir abad ke-13 pengaruh Jawa di Sumatra
menjadi makin nyata.
Sebab kemunduran Sriwijaya belum dapat
dipastikan, tetapi yang pasti ialah sikap pemerintah
Jawa, pada khususnya raja Kertanagara,
yang memanfaatkan kelemahan Sriwijaya
untuk memperbesar pengaruhnya di Sumatra.
Istilah ‘Pamalayu’ adalah ungkapan sikap tersebut,
apa pun arti sesungguhnya. Menurut
kitab Pararaton Pamalayu adalah ekspedisi
atau serangan terhadap Melayu, tetapi mungkin
tindakan Kertanagara disalahpahami oleh
pengarang kitab itu. Kalaupun ada pasukan
Jawa yang dikirim ke sana (dipimpin oleh
Kebo Anabrang, ‘yang menyeberangi laut’),
namun mungkin sekali maksudnya adalah
melindungi Melayu dari ancaman Kublai
Khan. Hasil pengiriman pasukan itu tentu
memperluas pengaruh Jawa di sana.
Sebagaimana sering terjadi dalam hubungan
antarnegara maka persekutuan diperkuat
dengan adanya perkawinan antara anggotaanggota
kedua pemerintahan atau dinasti yang
bersangkutan. Adityawarman yang dilahirkan
dari hubungan yang demikian, menjadi tokoh
yang dipilih Majapahit, terutama Gajah Mada,
untuk melanjutkan dan mengembangkan hubungan
persahabatan antara kekuasaan yang
terpenting di Nusantara pada waktu itu. Dari
sudut pandang ini, maka perkembangan-perkembangan
yang terjadi pada masa itu (1280-
1345) merupakan tahap terpenting dalam pertumbuhan
rasa kesatuan negara Republik
Indonesia.
Perlu diingat bahwa Adityawarman bertindak
selaku pemimpin negara bebas sejak saat
ia menjadi raja di Sumatra Barat, karena
dalam prasasti-prasasti Adityawarman tidak
terbaca ungkapan atau istilah yang menandakan
bahwa ia mengakui kewibawaan Majapahit.
Tetapi hubungan antar negara pada masa
30
lalu, yang dicerminkan dalam kitab-kitab
India seperti Arthasastra, adalah sangat rumit
dan memungkinkan banyak derajat ketergantungan.
Adapun Adityawarman bukanlah sematamata
alat Gajah Mada dalam usahanya memperluas
kebesaran Majapahit, melainkan
seorang prabu dengan cita-citanya sendiri. Ia
adalah seorang penutup masa lalu yang
kadang-kadang disebut “Hindu-Sumatra” dan
pencipta negara Malayu baru, yang patut disebut
pengganti Sriwijaya, yang menjadi pendahulu
negara Melayu yang berpusat di Malaka.
Pusaka: Naskah Kerinci
Menyembah dan menghormati arwah leluhur
merupakan unsur terpenting dalam kepercayaan
tradisional Indonesia. Tradisi tersebut
tidak begitu saja hilang dengan masuknya
agama baru seperti Islam atau Kristen,
melainkan unsur tradisional sering dipadukan
dengan agama baru sehingga terjadi sinkretisme
(berpadunya dua budaya agama). Kebanyakan
masyarakat Indonesia sekarang menganut
agama Islam sehingga arwah leluhur
tidak lagi disembah – hal mana bertentangan
dengan agama Islam – tetapi masih tetap dihormati.
Arwah leluhur dianggap dapat melindungi
dan memberkati keturunannya sehingga
upacara yang berkaitan dengan penguburan
yang dilakukan oleh kebanyakan orang Indonesia
lebih daripada sekedar memenuhi kewajiban
menurut agama Islam. Benda-benda
yang pernah dimiliki oleh seorang leluhur
sering dianggap sakral dan disimpan sebagai
pusaka. Hal ini terutama penting bagi kaum
elit tradisional seperti para depati di Kerinci.
Pusaka Kerinci lazim dilihat sebagai wujud
nyata kebesaran nenek moyang dan menjadi
bukti bahwa keturunannya berhak atas gelargelar
yang disandang oleh para leluhur mereka.
Sebagai pimpinan tradisional para depati
di Kerinci memang selalu laki-laki, akan
tetapi gelar depati diturunkan secara matrilinear
dari seorang ibu ke puterinya, yang suaminya
nanti berhak untuk menjadi depati.
Pada umumnya anak perempuan tertua yang
berhak mewarisi pusaka dan suaminya menjadi
depati. Akan tetapi keputusan tentang
siapa yang menjadi depati bergantung pada
faktor-faktor lain pula seperti kemampuan
seseorang sehingga tidak jarang terjadi bahwa
anak perempuan lainnya dipilih sebagai pemegang
pusaka.
Pada upacara pengangkatan seorang depati
semua pusaka yang disimpan di loteng rumah
diturunkan, dibersihkan, dan dipamerkan.
Oleh sebab itu maka upacara tersebut juga disebut
sebagai kenduri sko (kenduri pusaka) –
sebuah upacara yang biasanya memakan waktu
berhari-hari. Pusaka hanya boleh diturunkan
dari loteng apabila proses tersebut diawasi
oleh seorang dukun perempuan yang disebut
dayang-dayang. Karena kemampuannya
untuk berkomunikasi dengan para leluhur
maka ia dapat saja membatalkan upacara bila
persyaratannya tidak dipenuhi secara sempurna.
Misalnya apabila sesaji-sesaji yang dipersiapkan
sebagai santapan para leluhur tidak
lengkap, atau kalau ada hambatan lain. Pernah
terjadi di tahun 2003 ketika penulis ingin melihat
pusaka di salah satu kampung maka
dayang-dayang itu tiba-tiba kesurupan. Ia
mulai menari dan keluarlah dari mulutnya
pesan dari para leluhur bahwa sebaiknya upacara
tersebut ditunda karena persyaratannya
dianggap tidak lengkap sehingga batallah ren32
cana kami untuk melihat naskah yang termasuk
di antara pusaka di keluarga tersebut.
Naskah sering, tetapi tidak selalu, termasuk
di dalam koleksi pusaka, dan tidak ada koleksi
pusaka yang terdiri dari naskah melulu. Jenis
pusaka yang disimpan sangat beragam. Sebagian
pusaka menjadi bukti kekuasaan para
leluhur seperti panji-panji, tombak, keris, dan
perisai sementara pusaka lain melambangkan
kekayaan dan wibawa leluhur seperti keramik
antik, kain, atau naskah Alquran. Di samping
itu termasuk beragam azimat dan malahan
juga benda yang relatif modern, seperti kliping
dari surat kabar berbahasa Perancis, atau
sebuah baju kaos dengan tulisan bahasa
Inggris.
Selama beberapa kunjungan ke Kerinci di
antara tahun 1999 dan 2004 tampak bahwa
kebanyakan pusaka termasuk naskah yang telah
diinventaris oleh Voorhoeve di tahun 1941
masih tetap berada di tempat semula. Tentu
ada pusaka yang hilang karena rumah tempatnya
pusaka itu disimpan dilanda bencana seperti
gempa bumi dan kobaran api. Ada pula
naskah – biasanya naskah lontar – yang sudah
sedemikian rapuh sehingga yang tinggal hanya
pecahan-pecahan kecil. Karena pusaka
tidak dimiliki oleh seseorang, tetapi menjadi
milik kaum, dan terutama karena pusaka dianggap
sakral maka jumlah pusaka yang hilang
karena dijual atau dicuri sangat kecil.
Kebanyakan naskah yang berada di koleksi-
koleksi pusaka ditulis di Kerinci sendiri.
Hal itu tampak dari tulisan yang digunakan,
yaitu aksara yang disebut surat incung yang
merupakan aksara asli orang Kerinci. Kebanyakan
naskah incung ditulis pada ruas-ruas
bambu serta tanduk kerbau atau kambing. Di
samping itu terdapat juga sejumlah besar naskah
bertuliskan huruf jawi (Arab Melayu).
Kebanyakan naskah jawi bukan berasal dari
Kerinci, tetapi dari luar, biasanya dari Jambi
atau Inderapura. Naskah seperti itu biasanya
merupakan surat yang dikirim oleh salah seorang
dari lingkungan istana, misalnya seorang
temenggung yang atas perintah sultan
Jambi menulis sepucuk surat kepada seorang
depati. Surat seperti itu biasanya dibubuhi cap
kerajaan, dan sering juga memuat tempat dan
waktu penulisan sehingga jelas tempat asalnya.
Pelestarian Pusaka secara
Tradisional
Naskah Melayu yang sampai sekarang
dianggap naskah Melayu tertua adalah dua
surat berhuruf jawi bertanggal tahun 1521 dan
1522M yang ditulis oleh sultan Abu Hayat
dari Ternate kepada raja Portugal. Kedua surat
tersebut hanya dapat bertahan selama hampir
lima ratus tahun karena disimpan dalam arsip
nasional Portugal di Lisabon. Di sana kedua
naskah tersebut disimpan secara aman, jauh
dari ancaman bencana alam, dan hawa lembab
dan panas yang menjadi ciri khas di Asia
Tenggara. Bahan-bahan organik sulit sekali
untuk bertahan lama di kawasan Nusantara
bukan saja karena keadaan alam dan cuaca
yang kurang mendukung, tetapi juga karena
mudah sekali dimakan oleh hama seperti
rayap, atau menjadi hancur akbibat berbagai
fungi dan organisme mikro lainnya yang berkembang
subuh di daerah tropis. Faktor yang
tidak kalah penting adalah faktor manusia
sendiri. Bukan sedikit naskah yang dengan
sengaja dihancurkan karena isinya dianggap
tidak sesuai dengan ajaran Islam atau agama
33
Nasrani. Selama perang Paderi berkobar di
Mandailing, ribuan naskah Batak (pustaha)
dihancurkan oleh para militan Paderi. Nasib
pustaha Batak di Toba tidak jauh lebih baik
karena sebagian misionaris tidak lebih bijaksana
daripada kaum Paderi. Misionaris Meerwaldt
misalnya menulis bahwa pustaha Batak
“sudah saatnya untuk dibakar” (Meerwaldt,
1922:295). Selain itu banyak naskah hancur
karena perawatan atau penanganan yang tidak
sesuai, dan banyak naskah juga hilang karena
dicuri.
Tentu saja para penulis naskah di zaman
dahulu sudah insyaf akan masalah pelestarian
naskah di iklim tropis, dan naskah yang
dianggap penting disalin kembali. Dalam hal
ini yang menyalin naskah sering mengubah isi
naskah, misalnya dengan menambah sesuatu
atau mengurangi yang dianggap tidak penting.
Dengan demikian sebuah salinan jarang sama
dengan naskah aslinya. Karena faktor-faktor
yang disebut di atas maka jarang sekali dapat
kita temukan naskah Indonesia yang ditulis
sebelum abad ke-17.
Kalau memang demikian mengapa naskah
Tanjung Tanah dapat bertahan selama hampir
tujuh ratus tahun di sebuah kampung kecil di
pedalaman Sumatra?
Sebagaimana sudah disebut di atas, barang
pusaka Kerinci selalu disimpan di loteng
rumah, dan jarang sekali diturunkan. Penyimpanannya
juga tidak sembarangan melainkan
dilakukan dengan sangat seksama. Semua barang
pusaka pada umumnya dibalut dengan
kain dan disimpan di sebuah peti kayu yang
sangat kokoh. Bila disimpan dengan cara itu
maka pusaka itu terlindung dari sinar matahari
yang bersifat merusak. Pusaka yang dibalut
kain dan disimpan dalam peti juga terlindung
dari perubahan suhu secara mendadak yang
juga bersifat merusak. Memang suhu di siang
hari menjadi sangat panas di loteng rumah,
akan tetapi suhu panas sendiri sifatnya tidak
begitu merusak dibandingkan perubahan suhu
yang terjadi secara mendadak. Faktor yang
paling mendukung dari segi pelestarian ialah
bahwa kelembaban udara di loteng relatif
rendah. Selama atap tidak bocor barang
pusaka yang disimpan di loteng dapat saja
bertahan untuk sangat lama. Selain itu keadaan
alam Kerinci juga mendukung. Hawa di
Kerinci sebetulnya tidak patut disebut sebagai
iklim tropis karena letaknya Kerinci di pegunungan.
Tanjung Tanah terletak 800m di atas
permukaan laut dengan suhu tertinggi di siang
hari sekitar rata-rata 27 derajat dan suhu
terendah di malam hari rata-rata 20 derajat.
Dibandingkan dengan daerah pesisir curah
hujan juga lebih rendah.
Bila kita tanya mengapa pusaka disimpan
di loteng maka jawabannya karena lotenglah
tempat yang paling terhormat di rumah, dan
juga karena alasan keamanan. Akan tetapi dapat
kita duga bahwa sebetulnya sudah ada
pengetahuan tentang tempat mana yang paling
sesuai dari segi pelestarian. Soalnya bukan di
Kerinci saja pusaka disimpan di loteng. Hal
yang sama juga dilaporkan di Sulawesi. Kahlenberg
menulis bahwa Sulawesi yang terletak
di daerah katulistiwa memiliki iklim yang terburuk
untuk pelestarian kain pusaka. Akan tetapi
karena kain-kain itu disimpan di loteng
maka kain itu relatif aman dari ancaman serangga,
tikus, dan kelembaban tinggi. Sama
dengan halnya pusaka Kerinci, pusaka itu pun
jarang diturunkan sehingga terlindung dari sinar
matahari, dan hanya dipamerkan pada
acara penguburan ketua adat (Kahlenberg,
34
2003:86). Kain-kain dari Sulawesi itu sudah
dianalisis secara radiokarbon dan ternyata
beberapa di antaranya berasal dari abad ke-
13!
Kain dari Sulawesi membuktikan bahwa
barang pusaka dapat bertahan lama di iklim
tropis apabila disimpan dengan cara yang
tepat, dan hal itu ternyata hanya terwujud bila
cara penyimpananya sesuai dengan cara yang
tradisional, yaitu di loteng, dan benda-benda
pusaka hanya tersimpan dengan aman apabila
benda itu dianggap sakral dan dilindungi oleh
adat setempat.
Masyarakat Kerinci sampai sekarang masih
teguh berpegangan pada adat leluhur mereka
dan benda-benda pusaka dianggap memiliki
nilai yang luar biasa yang dapat melindungi
mereka dari ancaman bahaya. Bila ada benda
pusaka yang hilang akibatnya bisa fatal bukan
saja untuk pemiliknya tetapi untuk seluruh
masyarakatnya. Oleh sebab itulah maka sampai
sekarang masih banyak pusaka di Kerinci
yang selama berabad-abad tersimpan dengan
aman.
Selain faktor mendukung yang sudah disebut
di atas masih ada faktor lain yang barangkali
tidak kalah penting. Naskah Tanjung
Tanah ditulis di daluang, dan kertas kulit kayu
itu dapat bertahan lama asal tidak dibubuhi
kanji. Kanji kadang-kadang digunakan untuk
memudahkan tinta lengket pada kertasnya,
akan tetapi kanji itu juga menyebabkan bahwa
naskah itu menjadi santapan enak bagi serangga.
Jika naskah daluang tidak diolesi kanji
maka naskah itu memiliki sifat pelestarian
yang sangat mendukung dan dapat bertahan
selama ratusan tahun (Dr. Tim Behrend,
korespondensi pribadi, 24 Desember 2003).
Aksara dan Media Tulis
Di dalam karya Tambo Kerintji Voorhoeve
memuat transliterasi 261 naskah. Tiga naskah
di antaranya, yaitu nomor 259, 260, dan 261,
pada saat itu disimpan di Museum Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen (cikal bakal Museum Nasional),
dan kini tersimpan di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Ke-258 naskah
yang lain berasal dari 83 koleksi naskah/pusaka
di Kerinci. Analisis selanjutnya dibatasi
pada 240 naskah saja karena 21 di antara 261
naskah tidak layak untuk dianalisis. Naskah
yang “tidak layak” tersebut termasuk naskah
yang diinventaris di Tambo Kerintji (TK)
akan tetapi tidak diperlihatkan kepada Voorhoeve
sehingga tidak ada data sama sekali
(TK 76, 253). “Naskah” yang hanya dibubuhi
cap, tetapi sama sekali tidak ada tulisan
tangan juga tidak dapat dimasukkan (TK 46,
83, 210, 233, 247). Selain itu ada sejumlah
naskah yang hampir sama sekali tidak dapat
dibaca (TK 47, 48, 51, 52, 53, 71, 72, 255,
256) atau naskah yang hanya terdiri dari rajah
(TK 166). Dalam penyusunan Tambo Kerintji
Voorhoeve mendefinisikan semua benda bertulisan
sebagai naskah. Termasuk di antaranya
sebuah cap perak (TK 29), sehelai kain
dengan tulisan Jawa yang sudah tidak terbaca
lagi (TK 225), kliping surat kabar Perancis
(TK 82), dan sebuah baju kaos dengan tulisan
bahasa Inggris (TK 89). Benda-benda seperti
itu tidak layak dianggap sebagai naskah
sehingga ke-21 benda tersebut tidak termasuk
dalam analisis berikut. Dengan demikian jumlah
naskah menyurut menjadi hanya 240.
Selanjutnya ke-240 naskah tersebut akan disebut
sebagai naskah Kerinci walaupun sebagian
tidak berasal dari Kerinci. Jadi definisi
“naskah Kerinci” semata-mata berdasarkan
tempat penyimpanannya.
Hampir semua naskah Kerinci ditulis pada
lima jenis media, yakni bambu, kulit kayu,
daun lontar, tanduk, dan kertas dengan menggunakan
tiga jenis aksara, yaitu surat incung,
jawi, dan sejenis aksara yang oleh Voorhoeve
disebut “Jawa Kuno”. Sepuluh naskah dikatakan
mengandung teks dalam huruf yang disebut
“Arab” (TK 33, 61, 91, 209, 239, 240,
241, 244, 245, 258). Kesepuluh naskah tersebut
hanya mengandung beberapa kata saja
yang merupakan doa atau jampi yang pendek,
biasanya diiringi berbagai jenis rajah. Barangkali
karena bahasa yang digunakan biasanya
bahasa Arab maka hurufnya juga disebut
Arab. Dalam artikel Kerintji Documents
Voorhoeve juga selalu menyebut teks yang
berhuruf jawi sebagai “tulisan Arab”
(Voorhoeve, 1970). Dengan demikian Voorhoeve
tidak terlalu membedakan antara “jawi”
dan “Arab”. Oleh sebab itu kesepuluh naskah
yang “beraksara Arab” selanjutnya dimasukkan
dalam kategori jawi.
Empat naskah ditulis pada media yang
tidak lazim ditemukan di Kerinci, yaitu naskah
Tanjung Tanah yang ditulis di daluang
(TK 214), silsilah depati Saliman yang ditulis
di tulang (TK 119), sebuah teks berhuruf jawi
yang ditulis dengan tinta di kulit (TK 178),
dan sebuah teks yang sangat pendek, dan
tidak jelas isinya, yang ditulis di “tapak
gajah” (TK 191). Tapak Gajah (Merremia [=
Convolvulus] nymphaeifolia Hall.f.) merupa36
kan sebuah tumbuhan yang digunakan sebagai
obat, tetapi tidak jelas bagaimana “tapak
gajah” tersebut dapat digunakan sebagai
media tulis. Sayang naskah tersebut belum
sempat dilihat oleh penulis. Daluang merupakan
media tulis yang lazim dipakai di Jawa
dan Madura, sementara naskah tulang sering
ditemukan di daerah Batak, tetapi kulit (apakah
itu kulit lembu, kambing atau kerbau
tidak disebut) sangat jarang digunakan sebagai
bahan tulis.
Aksara yang paling lazim digunakan adalah
surat incung serta jawi. Naskah lontar dan
daluang ditulis dengan aksara “Jawa Lama”.
Akan tetapi, pada sebuah artikel yang ditulis
Voorhoeve di kemudian hari beliau sempat
meralat asumsi tersebut:
“Ternyata saya salah dalam menyebut semua
naskah beraksara Jawa di Kerinci sebagai
Jawa Kuna. Schrieke telah mencatat di
tahun 1929 bahwa aksara Jawa yang digunakan
di Kerinci terdiri atas dua jenis aksara
yang berbeda. Aksara yang jelas kuno digunakan
dalam kitab undang-undang Tanjung
Tanah (no. 160) serta dalam naskah yang
berasal dari Hiang (no. 136). Kedua-duanya
jelas dari zaman pra-Islam, dan aksara yang
digunakan barangkali merupakan aksara
yang berdiri di antara tulisan Jawa Kuna
dan aksara rèncong.” (Voorhoeve, 1970)
Voorhoeve ternyata mengikuti kebiasaan
pada masa itu yang cenderung menganggap
semua aksara yang mirip dengan aksara Jawa
Kuna sebagai aksara Jawa terlepas dari tempat
asalnya. Akan tetapi menurut De Casparis
terdapat kemungkinan bahwa aksara Jawa
Kuna sebetulnya berasal dari Sumatra karena
sebagian besar prasasti-prasasti yang tertua ditemukan
di Sumatra. Oleh karena sebab itu,
dan karena kaitan antara aksara Jawa Kuna
dengan aksara Sumatra Lama belum diketahui
dengan sempurna, maka De Casparis
(1975:57) memilih istilah aksara Malayu,
yang khususnya ia gunakan untuk aksara
pasca-Palawa yang terdapat di prasastiprasasti
Adityawarman.
Dalam artikel yang dikutip di atas,
Voorhoeve juga mengakui bahwa beberapa
naskah yang semula ia sebut sebagai Jawa
Kuna ternyata lebih muda:
“Surat lontar yang dikirim oleh pihak istana
Jambi kepada para depati di Kerinci merupakan
contoh yang sangat jarang ditemukan.
Surat tersebut ditulis pada daun lontar yang
dipotong sehingga menjadi panjang tetapi
kecil bidangnya. Ketika masih lentur daun
lontar tersebut digulung dan ditutup dengan
sebuah cap yang terbuat dari tanah liat. [...]
DR. Poerbatjaraka berhasil untuk membaca
beberapa kalimat yang ditulis dengan aksara
Jawa dalam bahasa Jawa campur bahasa
Melayu. [...] Menurut DR. Th. Pigeaud aksara
tersebut berasal dari sekitar abad ke-18
atau sesudahnya. Piagam yang berhuruf
jawi juga ditulis dalam periode yang sama.”
(Voorhoeve, 1970:388-389)
Voorhoeve tidak menyebut naskah lontar
mana yang dimaksud, tetapi agaknya ia merujuk
pada naskah TK 217-222: "Enam helai
surat bertulisan Jawa Lama pada daun lontar,
ada yang berbahasa Melayu ada yang berbahasa
Jawa. Salinannya belum siap (lagi
diperiksa oleh tuan Dr. Poerbatjarakan [sic] di
Batawi)” (ibid).
Di antara naskah-naskah Kerinci terdapat
beberapa yang menggunakan lebih dari satu
aksara. Dua naskah kertas (TK 61 dan 258)
bermula dengan Bismillahi ar-Rahmani ar-
Rahim yang ditulis dengan huruf jawi, sementara
teks utama ditulis dalam surat incung.
Selain dari kedua naskah tadi hanya ada satu
naskah lagi yang menggunakan dua aksara
yang berbeda, yaitu naskah Tanjung Tanah.
37
Tabel 1 Media tulis dan aksara
Incung Jawi Jawa Jumlah
Buluh 34 0 0 34
Tanduk 81 1 0 82
Kertas 10 89 0 97
Kulit
Kayu 3 8 0 11
Lontar 3 0 10 13
Tulang 1 0 0 1
Lain 1 1 0 2
Jumlah 134 92 10 240
Sebagaimana tampak dari tabel di atas
(yang tidak termasuk naskah Tanjung Tanah)
terdapat persesuaian yang nyata antara aksara
dan media tulis. Semua nakah bambu dan
hampir semua naskah tanduk menggunakan
surat incung sementara kebanyakan naskah
kulit kayu dan kertas berhuruf jawi, dan naskah
lontar umumnya beraksara Jawa.
Korelasi antara media dan teks juga menjadi
ciri-ciri khas dalam tradisi pernaskahan
Batak (Kozok, 2000a) dan persesuaian tersebut
ternyata bukan kebetulan.
Bambu
Sebelum adanya kertas, bambu sudah dipakai
sebagai bahan tulis di Tiongkok sejak
abad ke-5 SM. Bambu sangat sesuai sebagai
media tulis karena terdapat di mana-mana,
mudah ditulisi, dan tidak perlu adanya proses
pengolahan mana pun. Namun demikian,
bambu hanya cocok digunakan untuk teks
yang pendek, dan menulis dengan pena di kertas
tentu lebih mudah daripada mengukir permukaan
bambu dengan pisau raut. Sekitar
15% naskah Kerinci menggunakan bambu
sebagai bahan tulis, akan tetapi kalau hanya
naskah yang berasal dari Kerinci diperhitungkan
(kebanyakan naskah kertas berasal dari
luar Kerinci), maka persentase naskah bambu
jauh lebih tinggi.
Ke-34 naskah bambu semuanya ditulisi
dengan surat incung, dan kebanyakan naskah
tersebut merupakan ratap tangis seorang
bujang yang patah hati karena cintanya tidak
dibalas. Bambu adalah bahan tulis utama di
Sumatra Utara (Batak) dan juga di Filipina,
tetapi jarang digunakan di Jawa, Bali, dan di
pesisir Sumatra yang cenderung mengutamakan
kertas dan daun lontar.
Salah satu alasan maka bambu masih digunakan
di Sumatra dan di Filipina sampai abad
ke-20 ialah karena kertas relatif lambat masuk
ke daerah tersebut. Akan tetapi sesudah kertas
dapat diperoleh secara luas, orang Karo di
Sumatra Utara dan suku Mangyan di Filipina
masih tetap menggunakan bambu, khususnya
untuk puisi ratapan tangis (Kozok, 2000a)
(Postma, 1972). Juga di daerah Kerinci bambu
masih tetap dipakai di zaman Islam sebagaimana
dibuktikan oleh naskah bambu yang
dimulai dengan bismillah, yang biasanya ditulis
basamilah atau basumamilah.
Ratapan tangis luas dikenal di Sumatra dan
merupakan bagian dari adat berpacaran. Di
Mandailing ratap tangis dikenal sebagai
andung, sementara orang Lampung menamakannya
bandung. Nama yang mirip tentu
bukan suatu kebetulan, tetapi menunjukkan
bahwa di dahulu kala adat berpacaran tersebar
luas di Sumatra, dan malahan dapat ditemukan
pada suku Mangyan di pulau Mindanao,
Filipina. Di semua daerah yang tadi disebut,
ratap tangis selalu ditulis pada bambu,
dan malahan di Kerinci bambu hanya digunakan
sebagai bahan tulis untuk tujuan tersebut.
38
Ternyata tradisi ratap tangis di Kerinci dan di
daerah Batak menunjukkan persamaan baik
dari segi bahan tulis namun isinya. Bambu
yang sepanjang satu sampai lima ruas sering
dihiasi dengan berbagai ornamen, khususnya
di sekitar buku. Baik ornamen maupun aksara
diukir dengan ujung pisau dan kemudian dihitamkan
dengan abu kemiri yang dibakar. Pada
tradisi Mandailing tampak jelas mengapa
bambu yang dipilih sebagai bahan tulis. Ratap
tangis Mandailing biasanya dibuka dengan
kata-kata yang ditujukan kepada sang bambu
yang nyawanya diambil oleh si penulis yang
membutuhkannya sebagai bahan tulis. Contoh
berikut dikutip dari andung yang ditulis pada
sejenis bambu yang disebut sebagai buluh
riman yang sekarang tersimpan dalam koleksi
Museum Antropologi Leiden dengan nomor
inventaris 370-2824 (Kozok, 2000b).
I pe da anggi bulu aor riman
ulang ko mardabu-dabu holso di badan
simanare on
dibaen na sundat ko magodang maginjang
ko dioloi ama inamu sirumondop udan
dohot alogo simarangin-angin.
Ia mardabu-dabu siluluton pe ho anggi bulu
aor riman
tu Toba Silindung Julu ho mardabu-dabu
silungunon
di Na Mora Pande Bosi i do ho mardabudabu
silungunon.
I do na pajadi-jadi situlison.
Inilah, adik buluh riman,
janganlah kau lemparkan sumpah serapah
kepada diriku
tidak jadilah kau tinggi dan besar karena
kau tidak disayangi oleh orang tuamu hujan
dan angin.
Jikalau mau bersumpah serapah, wahai adik
buluh riman
arahkan sumpah serapahmu ke Toba
Silindung Hulu
bersumpah serapahlah kau pada raja Pandai
Besi.
Dialah yang menyebabkan kau menjadi
bambu tulisan.
Pada masyarakat yang menganut paham
animisme semua mahluk hidup, termasuk
tumbuhan, dianggap bernyawa. Bambu yang
sanggup mencipta alunan suara yang lembut,
ringan, sekaligus syahdu bila ditiup angin,
mesti dibunuh oleh raja Pandai Besi (pisau)
sehingga menjadi tempat si penulis dapat
melontarkan penderitaan: “Kutumpangkan
dulu penderitaanku ini” (Hupatompang hupaihut
do ma jolo na dangol ni simanarengku i),
katanya seraya minta maaf karena terpaksa
memutuskan nyawanya agar dapat melontarkan
tekanan jiwanya kepada sang bambu
dengan menggunakan kekuatan gaib aksara
Batak.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa
ratap tangis masih tetap ditulis di bambu kendatipun
kertas sudah tersedia. Bambu, dan juga
tanduk, masih belum dapat ditinggalkan
karena media tulisnya membawa makna sebagaimana
diungkapkan oleh Marshall
McLuhan, sang “nabi zaman elektronis” – the
medium is the message (McLuhan, 1964).
Tanduk
Ungkapan Marshall McLuhan bahwa
media adalah pesan sendiri juga tampak jelas
pada naskah tanduk. Kebanyakan naskah
tanduk merupakan tambo (silsilah) yang biasanya
dibuka dengan perkataan “Ini surat
tutur tamba ninik” (inilah cerita silsilah nenek
moyang). Seringkali silsilah nenek moyang
itu bermula di Bumi Minangkabau yang juga
39
dieja Banang Kabau (TK11, 25,38) atau
Binang Kabau (TK35). Tanduk kerbau, dan
kadang-kadang juga tanduk kambing, merupakan
media tulis surat incung. Hanya satu naskah
tanduk (TK211), sebuah piagam depati
Sirah Bumi Putih dari Dusun Cupak, menggunakan
huruf jawi.
Hanya sekitar 10% naskah tanduk menunjukkan
pengaruh agama Islam sehingga dapat
disimpulkan bahwa kebanyakan naskah tanduk
ditulis sebelum pertengahan abad ke-19.
Akan tetapi ada pula naskah tanduk yang jelas
menunjukkan pengaruh Islam sebagaimana
tampak pada penggunaan formula pembukaan
Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim. Di sini timbul
pertanyaan mengapa teks yang jelas berasal
dari zaman Islam ditulis di atas tanduk
dan bukan kertas. Dapat diduga bahwa di
Kerinci pada saat itu kertas masih sulit diperoleh
dan juga mahal. Akan tetapi ada juga
interpretasi yang lain. Westenenk menulis
bahwa “jika di dahulu kala terdapat perselisihan
antara daerah maka diadakan upacara
perjamuan di puncak Bukit Setinjau Laut
untuk meleraikan konflik tersebut. Perjanjian
di antara kedua belah pihak ditulis di atas
kedua tanduk kerbau yang dipotong, dan
masing-masing pihak menerima satu tanduk
yang sekaligus menetapkan batas-batas kedua
daerah” (Westenenk, 1922a:96).
Banyak tambo memang merujuk pada
corak-corak topografi termasuk hutan dan
sungai, dan tidak jarang batas-batas daerah
juga ditetapkan secara terinci sehingga dapat
disimpulkan bahwa tanduk digunakan sebagai
lambang persepakatan yang telah diraih.
Bahwa tanduk memang terutama bersifat simbolis
juga diperkuat dengan kenyataan bahwa
sebagai bahan tulis tanduk tidak terlalu praktis
dibandingkan dengan bambu. Bambu dapat
diperoleh dengan lebih mudah, dan aksara
yang dihitamkan dengan abu kemiri yang
dibakar jauh lebih mudah terbaca dibandingkan
dengan aksara yang diukir di tanduk yang
permukaannya sendiri sudah hitam.
Kertas
Walaupun kebanyakan naskah kertas ditulis
dengan huruf jawi, terdapat pula sepuluh
naskah kertas yang ditulis dengan surat
incung (TK 36, 61, 64, 65, 95, 96, 186, 238,
250, 258). TK 36 merupakan naskah yang istimewa
karena sebenarnya terdiri dari dua naskah.
Naskah pertama ialah naskah bambu dan
yang kedua naskah kertas. Naskah kertas itu
digulung dan dimasukkan ke dalam ruas bambu.
Karena kedua naskah merupakan ratapan
percintaan dapat diduga bahwa naskah bambu
dilanjutkan di kertas untuk menyambung teks
di bambu yang belum selesai tetapi tempatnya
sudah habis. Kesembilan naskah kertas
lainnya (dengan pengecualian TK 96 yang
sudah tidak terbaca lagi) semuanya merupakan
ratapan percintaan dan kertasnya selalu
digulung. Dalam hal ini dapat timbul pertanyaan
mengapa si penulis menyambung
ratapan tangisnya di kertas. Mengapa ia tidak
memotong satu lagi ruas bambu untuk menyelesaikan
ratap tangisnya? Tampaknya si penulis
menganggapnya lebih mudah dan praktis
menulis di kertas, tetapi sekaligus ia merasakan
perlu untuk setidak-tidaknya memulai
ratapannya di bambu karena memang demikian
tradisi ratap tangis. Dalam hal ini tampak
jelas adanya keterkaitan antara jenis teks
(ratap tangis) dan media tulisnya sebagai
pembawa makna (bambu).
Kebanyakan naskah jawi yang terdapat di
40
Kerinci berasal dari luar daerahnya, biasanya
dari Jambi. Pada umumnya naskah jawi
berupa surat yang dikirim oleh pihak kesultanan
Jambi kepada para depati di Kerinci.
Surat-surat tersebut merupakan sumber
sejarah yang penting, terutama karena
kebanyakan surat ditulis antara tahun 1727
dan 1833 sementara untuk kurun waktu tersebut
hanya sedikit terdapat sumber Belanda.
Khususnya di paruh kedua abad ke-18 terdapat
banyak surat dari Jambi sehingga dapat
disimpulkan bahwa Jambi berusaha untuk
memperluas kekuasaan di daerah ulu.
Di sejumlah surat piagam yang semuanya
ditulis pada tahun 1778 (TK 3, 4, 13, 231)
sultan Jambi Pangeran Sukarta, mengangkat
sejumlah depati dengan memberi mereka
"undang-undang serta cap", dan mengancam
akan menghukum mati para pemberontak,
perampok, penipu, peracun, penikam di
malam hari, dan pengecoh: “Dan demikian
lagi yang diketahui oleh segala hukum
parentah ada negeri seperti hukum orang
daga-dagi dan sanduk-samun, umuk-umbai,
upas-racun, telum-tikam malam, kincungkicuh,
sekalian itu mati hukumnya” (TK 3
tertanggal 25.7.1778).
Piagam-piagam tersebut membuktikan
bahwa pada saat itu Kerinci berada di bawah
naungan Jambi. Pada masa itu agama Islam
ternyata belum diterima secara umum di
Kerinci sehingga dalam surat TK 13 yang bertanggal
18.7.1778 sang sultan menyuruh
orang Kerinci agar “mengeraskan hukum
syarak di dalam tanah Kerinci” dengan memperhatikan
empat perkara:
“Pertama jikalau kematian jangan diarak
dengan gendang, gong, serunai dan bedil
dan kedua jangan laki-laki bercampur
dengan perempuan bertauh nyanyi dan
jangan bersalah dan memuja hantu dan
syetan dan batu kayu dan barang sebagainya
dan ketiga jangan menikahkan perempuan
dengan tiada walinya.”
Perkara keempat rupanya terlupakan dan
menyusul pada piagam yang satu lagi (TK 4)
yang dikeluarkan pada hari yang sama dan
hampir sama bunyinya:
“Keempat jangan makan minum yang
haram dan barang sebagainya daripada
segala yang tiada diharuskan syarak.
Hubaya-hubaya jangan dikerjakan!”
Seruan agar menghentikan kebiasaan
seperti bersabung, minum tuak dan arak juga
terdapat di naskah TK 142 (tidak bertanggal).
Dalam surat Pangeran Sukarta tertanggal
21.7.1778 (TK 231) terdapat himbauan kepada
para depati:
“Mufakatlah kamu dengan segala .... yang
di dalam alam Kerinci mendirikan agama
Rasul Allah salla llahu ‘alaihi wasallam dan
seboleh-bolehnya buangkan kamu barang
yang mungkir. [...] Adalah umur dunia ini
tiadalah akan berapa lama lagi. Sebaikbaiknya
kamu dirikan ugama yang sebenarnya.”
Di samping surat dan piagam yang pada
umumnya berkaitan dengan perselisihan tentang
batas wilayah terdapat juga tiga kitab
undang-undang (TK 133, 165, 215), berbagai
silsilah (tambo) (TK 8, 41, 50,143, 223),
sebuah teks yang berkaitan dengan agama
Islam (TK 144), beberapa teks berisi mantra
serta rajah penangkal (TK 239-241), dan
sebuah surat dari sultan Inderapura (TK 183)
yang meminta agar depati Simpan Bumi “berniaga
bawa barang-barang lagi gading gajah
dan lilin, dan banyak-banyak tali Kerinci yang
putar tiga lain-lain yang boleh dapat dalam
negeri Kerinci. Tetapi jangan lupa bawa emas
banyak-banyak ke dalam Air Aji.” Untuk
41
barang dagangan tersebut sultan Inderapura
berjanji akan memberi berbagai jenis kain.
Naskah yang tertua di antara naskah bertanggal
ialah TK 23, sebuah piagam yang dikeluarkan
oleh Pangeran Suria Karta Negara
kepada depati Payung Negari di Sungai Penuh
tertanggal 1100 H (= 1689 M) dan satu lagi
piagam (TK 22) oleh pengirim dan kepada
penerima yang sama tertanggal 1116 H (=
1704 M). Sementara naskah yang terbaru adalah
TK 44, sebuah piagam yang dikeluarkan
Pangeran Citra Puspa Jaya yang dialamatkan
kepada depati Sungai Laga di tahun 1340 H =
1922 M).
Kebanyakan naskah yang bertanggal berasal
dari abad ke-18 (sembilan naskah), dan
tujuah di antaranya ditulis antara tahun 1776 –
1794 M, yaitu sesudah Belanda meninggalkan
Jambi di tahun 1770 ketika Pangeran
Temenggung Mangku Negara menjadi sultan
Jambi. Lima naskah berasal dari abad ke-19.
Walaupun kebanyakan naskah tidak bertanggal,
banyak di antaranya masih dapat ditanggalkan
berdasarkan nama para raja. Misalnya
Pangeran Temenggung Mangku Negara yang
mengeluarkan tiga piagam yang bertanggal
antara tahun 1792 dan 1776 juga disebut
dalam 17 naskah lainnya yang tidak bertanggal.
Kulit Kayu
Penulis sendiri tidak pernah sempat
melihat naskah yang ditulis di kulit kayu dan
dalam Tambo Kerinci tidak terdapat pula
keterangan yang memuaskan tentang wujud
dan rupa naskah kulit kayu. Delapan di antara
keduabelas naskah kulit kayu ditulis dengan
huruf jawi. Di antara naskah jawi terdapat dua
kitab agama yang jumlah katanya lebih dari
seribu, yaitu TK 75 dan TK 77. Di TK 75 di
antara lain tertulis: “Barang siapa membaca
doa ini atau menaruh dia diberi sagala
malaekat penglihatannya daripada melihat
pahalanya yang membaca doa ini Allah ta’ala
melepaskan segala dosa.” TK 100 dan 101
sangat pendek dengan jumlah kata di bawah
seratus. TK 78 tidak ditransliterasi, dan TK
157, 158 dan 209 sudah sedemikian rapuh
sehingga Voorhoeve tidak berusaha untuk
menyalinnya. TK 76 merupakan ketika
(petunjuk untuk menentukan saat yang bertalian
dengan nasib), tetapi tidak disebut beraksara
apa dan juga tidak disalin. TK 120 , TK
164, dan TK 236 ditulis dengan surat incung
akan tetapi teksnya kurang jelas isinya.
Daun Lontar
Di antara daun-daun palem, daun lontar
yang paling umum digunakan sebagai media
tulis, khususnya di India selatan, di Filipina,
dan di berbagai darah di Indonesia termasuk
Sulawesi, Jawa, dan Bali. Pohon lontar
(Borassus flabellifer) hanya tumbuh di daerah
yang tidak terlalu basah dengan curah hujan
antara 500 - 900 mm per tahun sementara
curah hujan di kebanyakan daerah di Sumatra
di atas 1.000 mm, dan bahkan dapat mencapai
5.000 mm. Selebihnya benihnya daun lontar
membutuhkan suhu minimal 25 derajat agar
dapat bertunas sehingga tidak dapat tumbuh di
daerah pegunungan. Oleh sebab itu pohon
lontar tidak terdapat di Sumatra kecuali di
pantai utara Aceh. Pohon palem yang mirip
dengan lontar, dan yang juga dapat digunakan
sebagai bahan tulis, adalah daun nipah (Nypa
fruticans) yang sangat umum terdapat di
Sumatra, dan umumnya tumbuh di hutan
bakau. Pohon nipah juga dikenal sebagai
42
pohon atap karena daunnya digunakan di
pesisir Sumatra untuk bahan atap. Akan tetapi
daun nipah tipis, sementara naskah palem di
Kerinci daunnya tebal sehingga dapat disimpulkan
bahwa bahan tulis tersebut memang
daun lontar yang diimpor dari Jawa. Hal itu
juga sepadan dengan jenis huruf yang terdapat
pada daun lontar yaitu aksara Jawa.
Walaupun bahan tulis berasal dari Jawa,
dan beberapa naskah, khususnya TK 217-222
juga mengandung teks yang berbahasa Jawa,
bahasa yang paling umum digunakan pada
naskah daun lontar adalah bahasa Melayu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kebanyakan naskah daun lontar ditulis di
Sumatra. Hal ini juga diperkuat dengan adanya
naskah lontar yang ditulisi surat incung
(TK 226, TK 260, 261).
Naskah Tanjung Tanah
Beda dengan kitab undang-undang lainnya,
naskah Tanjung Tanah tidak ditulis dengan
menggunakan huruf jawi, melainkan memakai
aksara pasca-Palawa yang masih serumpun
degan aksara Jawa Kuna. Aksaranya masih
belum diteliti dengan sempurna, tetapi untuk
sementara dapat disimpulkan bahwa aksara
yang paling mirip adalah aksara yang digunakan
pada prasasti-prasasti Adityawarman
yang bertuliskan aksara Malayu – istilah tersebut
merupakan ciptaan De Casparis. Naskah
Tanjung Tanah juga berbeda karena tidak
ditulis pada kertas melainkan pada kertas
daluang sementara naskah Melayu yang hingga
kini diketahui hampir semuanya menggunakan
kertas, baik kertas Arab maupun kertas
Eropa.
Pada umumnya teks undang-undang
menunjukkan pengaruh Islam, dan hampir
selalu dibuka dengan formula Bismillahi ar-
Rahmani ar-Rahim sedangkan naskah Tanjung
Tanah dimulai dengan beberapa kalimat
berbahasa Sansekerta yang juga mencantumkan
tahun penulisan yang sayang sekali tidak
terbaca. Naskah Tanjung Tanah juga ditutup
dengan beberapa kalimat berbahasa Sansekerta
yang menyebut nama raja, ialah Paduka
Ari Maharaja Dharmasraya, dan juga bahwa
kitab undang-undang dimaksud untuk seluruh
tanah Kerinci (saisi bumi Kurinci).
Selain bahasa Sansekerta yang terbatas
pada awal dan akhir, naskah Tanjung Tanah
seluruhnya ditulis dalam bahasa Melayu.
Mengingat teksnya berasal dari abad ke-14
maka bahasa yang digunakan sudah jauh
berbeda dengan bahasa Melayu sekarang, dan
hanya sebagian yang dapat dimengerti oleh
seorang penutur bahasa Melayu zaman kini
karena selama masa 600 tahun tentulah
bahasa Melayu mengalami perubahan baik
dari segi kosa kata maupun dari sintaks
kalimat. Bahasa Melayu yang sekarang
digunakan di semenanjung Melayu, Sumatra,
dan Borneo sangat dipengaruhi oleh bahasa
asing, seperti bahasa Asia Selatan (Sansekerta
dan Tamil), bahasa Timur Tengah (Arab dan
Parsi), dan bahasa Eropa (Portugal, Belanda
dan Inggris). Bahasa-bahasa Timur Tengah
dan Eropa sangat mempengaruhi bahasa
Melayu, terutama sesudah abad ke-15 sehingga
tidak mengherankan bahwa naskah
Tanjung Tanah tidak mengandung kata
pinjaman dari kedua daerah tersebut. Di
zaman sebelum abad ke-15 bahasa Melayu
masih kuat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta
sehingga teks naskah Tanjung Tanah
mengandung kata pinjam Sansekerta yang
kini sudah tidak diketahui lagi, dan malahan
juga tidak terdapat dalam teks-teks Melayu
dari awal periode moderen (kira-kira abad ke-
16 dan ke-17), seperti misalnya kata punarapi
(lagi pula) yang berulang kali digunakan.
44
Kata-kata kuno lainnya termasuk jaka yang
dalam bahasa Melayu berubah menjadi jika.
Satu-satunya naskah yang saya temukan yang
masih menggunakan bentuk kuno jaka ialah
Hikayat Banjar dan Kota Waringin, yang
naskahnya dapat ditelusuri kembali ke tahun
1663 (Ras, 1968)11. Sifat kekunoan juga tampak
pada bentuk mamunuh (membunuh) yang
konsonan awal luluh bila ditambah awalan
mem-. Kekunoan bahasa juga nyata pada
bilangan 8 yang ditulis dua lapan. Secara
etimologis bilangan 8 berasal dari gabungan
kata dua dan alapan (yaitu 10 kurang 2).
Ringkasan Isi
Naskah Tanjung Tanah telah diterjemahkan
dalam sebuah upaya terpadu sejumlah
pakar bahasa Melayu, bahasa Sansekerta, dan
bahasa Jawa Kuna yang berkumpul di kampus
Universitas Indonesia pada tanggal 12-18 Desember
2004 dalam rangka lokakarya yang
diadakan oleh Yayasan Naskah Nusantara.
Bagian teks yang berbahsa Sansekerta
diterjemahkan oleh I Kuntara Wiryamartana
dan Thomas Hunter. Disebut bahwa naskah
ini merupakan “anugerah titah Sanghyang
Kemitan kepada penguasa di Bumi Kerinci”
dengan peringatan agar penduduknya ”jangan
tidak taat kepada dipatinya masing-masing.”
Tidak diketahui siapa yang dimaksud dengan
Sanghyang Kemitan, namun tampaknya
bahwa yang dimaksud dengan gelar tersebut
adalah raja Malayu yang dianggap sebagai
inkarnasi (penjelmaan) dari dewa. Kata
11 Pencarian tersebut dilakukan dengan menggunakan situs
Internet Malay Concordance Project yang mengandungi
puluhan teks Melayu dengan lebih dari 1,7 juta kata
(Proudfoot, 2005).
pembukaan dalam bahasa Sansekerta sangat
pendek, dan disusul teks undang-undang yang
berbahasa Melayu yang isinya diuraikan di
bawah.
Alinea terakhir teks berbahasa Melayu
menyebut bahwa undang-undang disusun atas
perintah maharaja Dharmasraya, dan bahwa
“para pembesar Bumi Kerinci [...] memberi
perhatian sepenuhnya.” Semua yang terjadi
dalam sidang besar “ditulis dengan lengkap
oleh Kuja Ali, Dipati, di balai kerapatan, di
Palimbang, di hadapan paduka maharaja
Dharmasraya.”
Besar kemungkinan bahwa yang dimaskud
dengan palimbang bukan kota Palembang
(yang di dahulu kala juga disebut Palimbang),
melainkan “Tanah Emas” atau “Daerah Hilir.”
Kedua kemungkinan tersebut akan diuraikan
di sini.
Dasar kata palimbang ialah limbang, yang
berarti “mencuci”, antara lain juga “mencuci
emas”:
“The name Palembang is perhaps derived
from the word limbang. This means panning
for alluvial gold and, according to Van Rijn
van Alkemade, during the latter half of the
nineteenth century people still dived for
gold in the Musi. However, the quantities
found did not amount to much (Van Rijn
van Alkemade 1883: 66).” (Nas, 1995)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan
palimbang ialah kawasan penghasil emas.
Pertanyaan yang timbul di sini, daerah mana
yang dimaksud? Daerah penghasil emas
utama ialah Kerinci dan daerah Minangkabau.
Apakah sidang yang menghasilkan kitab
undang-undang Tanjung Tanah bertemu di
daerah Minangkabau? Mungkin saja kitab
undang-undang ini diresmikan di Suruaso, ibu
kota kerajaan Malayu pada saat itu, dan
45
bahwa sidang tersebut dihadiri oleh maharaja
Dharmasraya selaku ‘gubernur’ yang memerintah
kawasan hulu Batang Hari termasuk
barangkali Kerinci.
Di samping interpretasi yang tadi, ada pula
kemungkinan kedua, ialah bahwa palimbang
berarti “tanah rendah” atau “ilir”.
Menurut Sejarah Melayu nama asli Palembang
ialah Perlembang:
“Kata sahibu'l-hikayat, ada sabuah negeri di
tanah Andelas, Perlembang namanya.
Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya
daripada anak cucu Raja Sulan, Muara
Tatang nama sungainya. Ada pun Negeri
Perlembang itu, Palembang yang ada
sekarang inilah. Maka di hulu Muara Tatang
itu ada sabuah sungai, Melayu namanya. Di
dalam sungai itu ada satu bukit yang
bernama Bukit Siguntang, di hulunya
Gunong Mahameru, di daratnya ada satu
padang yang bernama padang Penjaringan”
(Shellabear, 1967:20).
Limbang, selain “mencuci” juga memiliki
arti “rendah” (dari tanah) (Wilkinson,
1959:693). Menurut Wilkinson yang merujuk
pada kutipan Sejarah Melayu di atas,
perlimbang berarti “tanah rendah” sementara
“Mahameru” adalah “tanah tinggi”.
Interpretasi tersebut juga masuk akal
karena di naskah Tanjung Tanah kita menemukan
palimbang di samping Kurinci, yang
berarti “tanah tinggi” (lihat keterangan tentang
asal-usul kata Kerinci di hal. 21). Dengan
demikian “di waseban, di Palimbang” dapat
berarti “di balai kerapatan di tanah rendah”
(arti waseban mungkin sama dengan paseban
dalam bahasa Jawa yang berarti “tempat
pertemuan”) sehingga palimbang merujuk
pada kawasan ilir.
Akan tetapi kawasan ilir mana yang dimaksud?
Hal ini tidak dapat dijawab dengan pasti,
tetapi ada tiga kemungkinan. Pertama, yang
dimaksud dengan palimbang adalah Dharmasraya
sendiri, kedua, palimbang merujuk
pada daerah hilir Batang Hari, dan dengan
demikian tempat yang dimaksud adalah
Muara Jambi yang pernah menjadi ibu kota
Malayu dan mungkin pada saat penulisan
kitab undang-undang Tanjung Tanah masih
memainkan peranan penting sebagai salah
satu kota administrasi dan pusat perdagangan
kerajaan Malayu. Kemungkinan ketiga, ialah
yang dimaskud dengan palimbang memang
kota Palembang. Kebanyakan ahli sejarah
cenderung menganggap bahwa selama abad
ke-14 Palembang, bekas ibu kota Sriwijaya,
telah kehilangan pamor, dan disingkirkan oleh
kerajaan Malayu sehingga interpretasi yang
ketiga ini agak sulit diterima.
Penulis cenderung untuk menganggap
bahwa tempat yang dimaksud dengan
palimbang tidak lain daripada Dharmasraya
karena tidak ada alasan mengapa balai kerapatan
yang disebut terletak di tempat lain
daripada di Dharmasraya sendiri.
Di samping ketiga interpretasi di atas
masih ada pula interpretasi satu lagi, yaitu
bahwa keharuman nama Palembang sebagai
salah satu tempat yang paling berjaya selama
sejarah Sumatra, masih dibawa-bawa dan
digunakan sebagai epithet ibu kota di kemudian
hari.
Alinea terakhir teks undang-undang disusul
oleh kata penutup yang, sebagaimana halnya
dengan kata pembuka, juga ditulis dalam
bahasa Sansekerta. Kata penutup diawali
dengan persembahan kepada Sang Dewa Suci
ialah sang raja yang disusul dengan sebuah
seloka (puisi) yang memuja para dipati
sebagai “sang pembela [negeri] terhadap
46
aneka musuh, yang berkata tegas, pemimpin
para kesatria.”
Selanjutnya, arti kata-kata yang digunakan
dalam seloka dipati masih dijelaskan secara
terperinci. Adanya daftar kata seperti itu
merupakan kebiasaan para pakar bahasa
Sanskerta di Nusantara. Dengan demikian
penulis naskah, Dipati Kuja Ali, menunjukkan
kemahirannya karena ternyata ia memahami
konvensi-konvensi penulisan Sansekerta yang
berlaku pada zamannya. Daftar kata tersebut
juga sekaligus menekankan sekali lagi kedudukan
terhormat para dipati yang di sini disebut
sebagai “yang unggul.”
Bagian teks berbahasa Sansekerta terbatas
pada awal dan akhir naskah, dan dibandingkan
dengan teks bahasa Melayu sangat
pendek (±170 kata). Sementara teks undangundang
yang mengandungi sekitar 950 kata
tergolong panjang, apalagi bila dibandingkan
dengan teks berbahasa Malayu lainnya dari
zaman yang sama. Hanya sejumlah kecil prasasti
Adityawarman menggunakan bahasa
Melayu, dan teksnya pada umumnya terbatas
pada 70 kata.
Teks undang-undang pada awalnya sekali
menekankan pentingnya peranan para dipati
di Kerinci sehingga ditetapkan bahwa “barang
siapa tidak taat pada dipati didenda dua seperempat
tahil.”
Denda umumnya ditetapkan dalam ukuran
emas (kupang, mas, tahil, dan kati). Di
sepanjang abad terjadi perubahan dalam nilai
takaran sehingga tidak dapat diketahui dengan
pasti perbandingan antara keempat takaran
tersebut. Menurut Jan Christie (email tertanggal
24 Mei 2004) terjadi perubahan dalam
takaran di Jawa selama abad ke-14. Sampai
abad ke-14 satu mas sama dengan empat
kupang, satu tahil sama dengan 16 mas, dan
satu kati sama dengan 20 tahil, sementara satu
mas sama dengan 2,4 gram. Apabila takaran
yang serupa juga digunakan di Malayu maka
perbandingan antara takaran adalah sebagai
berikut:
Dengan demikian tindak kejahatan tidak
menaati perintah dipati didenda 96 gram
emas, yang, dengan harga emas yang berlaku
sekarang, lebih dari tujuh juta Rupiah atau
sekitar 700 Euro!
Denda yang paling ringan, lima kupang,
ditetapkan untuk pencurian tebu serta “ubi
berikut pohon” – maksudnya si pencuri mencabut
sendiri pohon ubi – sedangkan “maling
ubi tidak berikut pohon”, ialah mencuri ubi
yang sudah dipanen, dikenakan denda empat
kali lipat atau lima mas. Denda dua mas
dikenakan jika hilang atau hancur perahu
yang dipinjam tanpa izin si pemilik. Kalau
perahu dipinjam seizin pemilik maka perahu
yang hilang harus diganti dengan yang serupa,
dan tidak dikenakan denda. Denda 2,5 mas
dikenakan untuk pencuri pulut serta pencuri
telur ayam, itik, atau merpati. Yang terakhir
dapat juga didenda dengan tujuh pukulan dan
muka pencuri itu diusap dengan tahi ayam.
Denda lima mas juga dikenakan untuk
Gram Kupang Mas Tahil Kati
1 Kupang 0.6 ¼ 1/64 1/1280
1 Mas 2,4 4 1/16 1/320
1 Tahil 38,4 64 16 1/20
1 Kati 768 1280 320 20
47
berbagai tindak kejahatan seperti membakar
dangau, dan pencurian berbagai jenis tanaman
(birah, keladi, ubi, tuba, bunga sirih, dan
pinang), dan dalam hal pencurian hasil ladang
ini si pencuri juga dapat diperhambakan
selama 28 hari. Denda yang serupa juga dikenakan
untuk maling besi baja, maling tuak,
serta untuk berbagai jenis perangkap ikan
(tangguk, pukat, jala, tangkul, pesap, dan
telai). Secara terpisah disebut maling bubu
(yang juga sejenis alat untuk menangkap ikan)
dan dendanya pun sama, dengan catatan
bahwa denda tersebut hanya harus dibayar
kalau si pencuri tidak dapat menimbuni bubu
penuh dengan padi. Penggantian hasil pencurian
dengan sebuah benda lain juga terdapat
dalam hal mencuri isi jerat yang harus diganti
dengan seekor anjing dan sebilah pisau raut,
dan “maling biduk, pengayuh, galah, tikar
lantai gantinya.”
Halaman 10 sampai 12 secara khusus
menyinggung tindak pidana pencurian ternak.
Dendanya tercantum dalam tabel di bawah.
Menarik bahwa mencuri ayam anak negeri,
ayam kutra, ayam dipati, dan ayam raja masing-
masing dicantumkan dua kali: pertama
dengan denda yang berupa pelipatgandaan hasil
pencurian, dan kedua dengan menyebut
denda dalam takaran emas.
Kambing, babi 10 mas
Anjing biasa 5 mas
Anjing Mawu* 10 mas
Anjing dipati 10 mas
Anjing raja 1 ¼
tahil
Ayam hamba x 2
Ayam anak negeri x 3 x 2 + 5
Ayam Kutra* x 5 2k,u5p manags
Ayam dipati dan anak cucu
dipati
x 7 5 mas
Ayam raja x 7 x 2 10 mas
* Arti Mawu dan Kutra tidak diketahui.
Denda sepuluh mas dikenakan, selain
dengan mencuri ternak yang sudah disebut di
atas, untuk “maling kain, ikat pinggang, baju,
dan destar serba rupanya”, besi malela dan
baja tupang. Dalam hal pencurian tengkalak
(sejenis bubu) ditetapkan denda yang tergantung
pada jenis tengkalak yang dipakai, dendanya
disebut “pengganti ijuk lima kupang,
pengganti ... rotan lima mas, pengganti akar
sepuluh mas.”
Denda sebanyak 1¼ tahil (sama dengan 20
mas) dikenakan untuk berbagai jenis tindak
pidana. Ternyata mencuri padi dianggap kejahatan
yang cukup serius sehingga dikenakan
denda 1¼ tahil, dan denda yang sama juga
dikenakan untuk bandar judi dan sabung ayam
yang dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi,
untuk melarikan orang (yang dimaksud
barangkali adalah melarikan seorang gadis),
serta untuk berbagai tindakan yang mengganggu
ketertiban umum. Antara lain disebut
“bila penghulunya panggil rapat desa dia tidak
turun, tidak turun dia ke rapat desa,
memancing keributan, didenda satu seperempat
tahil.” Orang yang menampung orang
tanpa izin penghulunya dan jika tamu itu
melakukan keributan maka tuan rumah
didenda 1¼ tahil, dan denda yang serupa juga
berlaku bagi yang “memotong ucapan orang”
dan bagi mereka yang “mangubah sukatan”,
yaitu menipu dengan menggunakan timbangan
dan takaran yang tidak betul.
Disebut juga berbagai pelanggaran yang
berat yang didenda 2,25 tahil termasuk tidak
menaati perintah dipati yang sudah disebut di
48
atas, serta pelbagai tindakan yang mengganggu
ketertiban umum yang tidak selalu jelas
karena ada bagian yang tidak terbaca. Teksnya
berbunyi sebagai berikut: “[bila terjadi]
kerusuhan rebut-rampas, melawan, menghunus
keris, ...... tombak, bunuh, mati ... ...
dusun orang bermukim ..... [bila] maling
menyamun yang diangkat oleh pihak penagih
merusak rumah orang, maka maling yang
membuat rusuh itu diasingkan, ... bunuh
anaknya, .... lawan dipati tempat pemukimannya
didenda dua seperempat tahil.” Selain itu
juga disebut “keributan dosa sengketa”, tetapi
juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan
dosa sengketa itu.
Kejahatan lebih berat lagi adalah “mengubah
kitab suci Pancawida” yang terkena
hukuman denda 5,25 tahil. Sayang sekali
tidak jelas apa yang dimaksud dengan
pancawida ini. Mungkin yang dimaksud adalah
keempat veda kitab suci Hindu, yaitu Rig,
Sama, Yajur dan Atharva. Dipercaya bahwa
Brahma, berdasarkan keempat veda yang ada
menciptakan veda kelima, yaitu Natya, kitab
drama. Ternyata pelanggaran terhadap agama
dianggap sebagai tindak pidana yang sangat
berat yang perlu dihukum setimpalnya.
Tindak pidana yang lebih berat hanya
disebut tiga macam, dua di antaranya dikenakan
hukuman mati, dan satu dikenakan denda
satu kati dan lima tahil (sekitar satu kilogram
emas). Denda yang paling berat ini dikenakan
bagi mereka yang “bahilang orang mata karja
yang purwa”. Sayang sekali makna kalimat ini
juga tidak sepenuhnya jelas. Kerja dalam
bahasa Melayu/Indonesia yang sekarang terutama
berarti “melakukan sesuatu untuk mencari
nafkah”, dan di samping itu juga berarti
“melakukan suatu perayaan”, misalnya kerja
nikah. Arti yang terakhir merupakan arti yang
asli yang dalam banyak bahasa daerah masih
tetap dipertahankan, misalnya baik kerja
dalam bahasa Jawa, maupun horja dalam
bahasa Batak memiliki makna perayaan.
Secara kiasan mata berarti ‘sesuatu yang
menjadi pusat’ atau ‘utama’, misalnya mata
hidup ‘pekerjaan yang utama’, atau mata pencaharian.
Yang dimaksud dengan mata kerja
ialah puncak sebuah perayaan. Kerja nikah
misalnya dapat berlangsung selama berharihari,
tetapi mata kerjanya (akad nikah) hanya
berlangsung selama beberapa jam saja.
Dengan demikian mata kerja yang purba
barangkali merujuk pada sebuah upacara
keagamaan.
Hukuman mati dapat dilangsungkan bagi
tindak pidana yang sayang sekali tidak terbaca:
“Orang [yang] .... dua seperempat tahil
[dendanya], [jika] tidak dipenuhi sekian, [pelakunya]
dibunuh.” Tindak pidana yang satu
lagi yang dapat dikenakan “seberapa pun dendanya”
(sesuai dengan beratnya perkara) atau
pelakunya dikenakan hukuman mati ialah tindak
pidana perogolan (pemerkosaan). Hukuman
mati untuk perogolan juga dibenarkan dalam
Undang-Undang Melaka: “Bermula jikalau
orang merogol anak orang, atau saudara
orang, maka hukumnya itu mati seseorang
juga” (Fang, 1976:166).
Tentang pembunuhan juga terdapat pasal
yang menarik yang menyebut bila ada seseorang
masuk ke rumah orang tanpa berseru
atau mengayunkan suluh, dan jika orang yang
mencurigakan tersebut dibunuh, maka pembunuhnya
dinyatakan tidak bersalah.
Kitab undang-undang Tanjung Tanah juga
mengatur perihal utang-piutang, khususnya
untuk utang dalam bentuk berbagai logam dan
49
berbagai jenis tanaman. Disebut bahwa jika
orang berhutang emas, perak, kuningan,
perunggu ataupun tembaga maka setelah tiga
kali ditagih hutang menjadi dua kali lipat.
Sedangkan mengenai hutang bahan pangan
disebut: “Jika berhutang beras, padi, jawawut,
kaoliang, jelai, selama dua masa tanam masuk
yang ketiga dikembalikan setimpal, kalau
sudah lewat dari itu, dua kali lipat.” Jawawut
(Setaria italica, Inggr. foxtail millet), kaoliang
(Sorghum), dan jelai (Coix lacryma-jobii,
Inggr. job’s tears) adalah jenis tanaman yang
dahulu kala umum terdapat di Indonesia,
tetapi sekarang sudah jarang atau malahan
tidak ditanam lagi. Jelai kadang-kadang juga
disebut enjelai atau jali-jali.
Dalam bahasa Melayu asli di naskah
Tanjung Tanah kelima tanaman itu dinamakan
baras, padi, jawa, jagung, dan anjalai. Yang
dinamakan jagung kemungkinan besar
kaoliang dan bukan jagung yang kita kenal
sekarang ini karena tanaman yang berasal dari
Amerika Selatan ini kemungkinan baru
dikenal di Asia di zaman pasca-Kolumbus.
Selain menetapkan denda bagi berbagai
jenis pelanggaran, kitab undang-undang
Tanjung Tanah juga menetapkan berbagai
aturan administratif yang, antara lain, menetapkan
pembagian denda. Misalnya disebut
jika ada perkara yang dendanya lima mas
maka satu mas menjadi bagian dipati, jika
dendanya melebihi lima mas sampai bertahiltahil
maka bagian dipati tidak boleh melebihi
dua mas.
Ternyata enam ratus lima puluh tahun yang
lalu Kerinci sudah memiliki kitab undangundang
yang komprehensif. Bahwa kitab
undang-undang tersebut ditetapkan di Dharmasraya
menunjukkan bahwa Kerinci pada
saat itu menjadi bagian kerajaan Malayu
Adityawarman. Hal tersebut juga menjadi
jelas dari tingkatan gelar para penguasa.
Penguasa tertinggi di dalam kerajaan Malayu
menyandang gelar maharajadhiraja yang,
setahu kita, hanya digunakan oleh Akarendrawarman
dan Adityawarman yang berkuasa di
ibu kota Malayu di Suruaso. Penguasa tertinggi
di Dharmasraya memegang gelar sebagai
maharaja, artinya dia masih mengakui raja
yang lebih tinggi, yaitu raja Malayu di Suruaso.
Sedangkan penguasa tertinggi di Kerinci
hanya menyandang gelar sebagai raja sehingga
dapat disimpulkan bahwa raja tersebut tunduk
pada sang maharaja di Dharmasraya.
Menarik untuk dicatat bahwa istilah raja
hanya terdapat dua kali dalam naskah ini.
Keduanya berhubungan dengan mencuri
anjing dan ayam raja yang dendanya dua kali
lipat dibandingkan kasus pencurian anjing dan
ayam depati. Walaupun kedudukan raja lebih
tinggi daripada depati, tampaknya para depati
memainkan peranan yang jauh lebih penting
dibandingkan dengan sang raja. Para depati
malahan mendapatkan perlakuan yang sangat
istimewa dalam seloka dipati yang memujinya
sebagai “yang unggul.” Dalam hal ini dapat
diduga bahwa roda pemerintahan berada
dalam tangan para depati, sementara sang raja
mempunyai kedudukan yang hanya secara
formal lebih tinggi. Bagaimana bentuk
‘kerajaan’ Kerinci tidak dapat dipastikan,
tetapi terdapat kemungkinan bahwa sang raja
yang disebut itu merupakan seorang dari ilir
yang mewakili kepentingan Malayu-Jambi di
Kerinci.
Hubungan Kerinci dengan pusat kerajaan
pada saat itu kelihatan sangat erat, dan hal itu
tidak mengherankan bila mengingat bahwa
50
bagi kerajaan Malayu, Kerinci merupakan
sebuah daerah yang penting karena sumber
daya alam yang dikandungnya. Dari kitab
undang-undang Tanjung Tanah tampak bahwa
kerajaan pusat di Dharmasraya sangat menghormati
para dipati di Kerinci dan berupaya
untuk menetapkan dasar hukum yang
memungkinkan adanya hubungan yang saling
bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Bila kita bandingkan betapa susahnya
sultan Jambi berupaya mengajak penduduk
Kerinci untuk meninggalkan adat lama dan
menerima hukum Islam di abad ke-18, maka
di abad ke-14 hubungan antara ilir dan ulu
kelihatan lebih mantap. Walaupun orang
Kerinci mengakui sultan Jambi sebagai tuannya,
ternyata tuannya tidak selalu dihormati
selayaknya sehingga pembayaran upeti pun
tidak selalu dilakukan. Hal ini tentu berarti
bahwa pada zaman itu hubungan antara ilir
dan ulu tidak selalu berjalan dengan lancar.
Menyimak naskah Tanjung Tanah timbul
kesan bahwa di abad ke-14 penduduk Kerinci
lebih rela menerima raja di ilir sebagai
tuannya karena kedua belah pihak diuntungkan
dari hubungan yang ada yang berazaskan
kepastian hukum. Selain itu, kerajaan Malayu
di abad ke-14 pasti dianggap lebih berwibawa
karena Malayu pada saat itu berada di tengahtengah
kejayaannya, dan dapat menikmati
kekayaan yang berlimpah. Kekayaan itu tentu
berasal dari sumber daya alam, dan pada abad
ke-14 hasil pertambangan, hasil hutan, dan
hasil pertanian menjadi sumber kekayaan
utama.
Akan tetapi adanya sumber daya alam
belum cukup agar sebuah negeri menjadi
makmur dan sentosa bila tidak ada kepastian
hukum.
Dilihat dari sudut pandang itu maka dapat
kita simpulkan bahwa – secara relatif –
Kerinci mungkin lebih makmur di abad ke-14
daripada di abad ke-18. Bila kita melihat
keadaan di awal abad ke-21, perlu kiranya
kita renungkan apakah kepastian hukum yang
ada sekarang sudah cukup untuk menjamin
bahwa kekayaan alam dieksplorasi sedemikian
sehingga “saisi bumi Kurinci si lunjur
Kurinci” dapat memanfaatkan kekayaan sumber
daya alamnya secara maksimal.
Aksara
Naskah Tanjung Tanah mengandung dua
teks yang ditulis dalam bahasa Melayu
dengan menggunakan dua jenis aksara yang
berbeda. Teks utama, yaitu kitab undangundang
mencakup tiga puluh dua halaman,
dan teks kedua tertulis di halaman 33 dan 34.
Sayang, kondisi kedua halaman tersebut
sudah sangat rapuh sehingga teksnya tidak
dapat dibaca dengan jelas. Namun demikian,
dilihat dari teks yang masih dapat dibaca,
teksnya kemungkinan besar berkaitan dengan
ilmu nujum.
Aksara Pasca-Palawa
Teks undang-undang ditulis dengan sejenis
aksara pasca-Palawa yang mirip dengan
aksara Malayu zaman Adityawarman. Aksara
Malayu merupakan turunan dari aksara
Palawa yang berasal dari India Selatan, dan
digunakan di berbagai tempat di Nusantara.
Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah
bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara
yang pertama yang, antara lain, digunakan
dalam prasasti-prasasti Srivijaya yang
kebanyakan berasal dari abad ketujuh. Karena
51
jumlah prasasti di Sumatra dan juga di
kawasan berbahasa Melayu sangat sedikit
maka tidak jelas bagaimana sejarah perkembangan
aksara Sumatra di antara zaman
Srivijaya sampai pada prasasti Adityawarman
di abad ke-14. Secara paralel aksara pasca-
Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda,
Madura, dan Bali sehingga pada abad ke-16
terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa,
yang, antara lain, mencakup aksara yang digunakan
di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda),
dan di dalam kerajaan Malayu di zaman Adityavarman.
Pada tulisan yang digunakan di
ketiga daerah ini masih tampak warisan
Palawa sehingga Dr. Tim Behrend
(Universitas Auckland) menganjurkan istilah
“late Pallavo-Nusantaric”. Aksara Palawa-
Nusantara ini selanjutnya mengalami perubahan
yang cukup berarti sehingga timbullah
berbagai ragam tulisan di Nusantara yang
hubungan satu dengan yang lain belum diteliti
secara sempurna. Aksara ini mencakup aksara
Jawa dan Bali, serta beberapa ragam aksara di
Sumatra (surat Batak dan surat ulu),
Sulawesi, dan di Filipina yang mengalami
perubahan yang sangat radikal sehingga hubungannya
dengan aksara induknya tidak lagi
jelas.
Surat Incung
Sebagaimana juga halnya dengan aksara
Nusantara lainnya di luar Jawa dan Bali, surat
ulu, yang digunakan di hampir seluruh wilayah
selatan dari sungai Batang Hari, sangat
sederhana dan mudah untuk dipelajari. Setiap
aksara terdiri atas sebuah konsonan yang
diikuti vokal a: g ga, p pa, r ra, l la.
Setiap aksara dapat diubah dengan menggunakan
sandangan. Sebagian sandangan mengganti
vokal /a/ yang melekat pada aksara menjadi
/e/, /é/, /i/, /o/, dan /u/. sehingga pa menjadi
pi, pe, pé, po, dan pu. Ada pula sandangan
yang menambah bunyi sengau atau konsonan
lain sehingga pa menjadi pang, pah,
pan, atau par. Untuk membunuh vokal /a/
digunakan tanda bunuh sehingga pa menjadi
p. Bila ada gugusan dua konsonan maka digunakan
juga tanda bunuh. Dengan demikian
surat ulu jauh lebih sederhana daripada aksara
Jawa yang menggunakan pasangan untuk gugusan
konsonan. Dibandingkan dengan aksara
pasca-Palawa, aksara Sumatra lebih sesuai
untuk menulis bahasa-bahasa setempat yang
memiliki struktur bunyi yang sederhana.
Gugusan konsonan dalam satu suku kata hampir
tidak ada kecuali apabila sebuah konsonan
didahului bunyi sengau (mp, nt, nc, ngg, ngk,
etc.). Karena prenasalisasi tersebut begitu
sering terjadi maka sebagian tulisan Sumatra
menciptakan aksara baru untuk konsonan
yang diawali bunyi sengau, yaitu mpa, nta,
nca, ngka, ngsa. Aksara tambahan ini biasanya
bentuknya mirip dengan aksara induknya,
misalnya ga g dan ngga G, atau ja j dan
nja J (Rejang).
Bahasa-bahasa Sumatra yang sedemikian
sederhana dari struktur bunyinya tidak
memerlukan aksara pasangan untuk menulis
gugusan konsonan sebagaimana terdapat
dalam bahasa Jawa. Penghapusan pasangan
tersebut sangat memudahkan penulisan
bahasa-bahasa Sumatra.
Dengan demikian surat ulu jelas lebih
sesuai untuk menulis bahasa-bahasa Sumatra
dibandingkan dengan aksara pasca-Palawa
maupun abjad jawi. Dari segi itu pengalihan
ke huruf jawi berarti suatu kemunduran, tetapi
di pihak lain juga merupakan kemajuan
52
karena surat ulu berbeda-beda dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Dengan diperkenalnya
abjad jawi maka hasil tulisan menjadi
seragam, dan huruf jawi juga dianggap lebih
maju karena digunakan untuk menulis Al-
Quran dan menyatukan penulisnya dengan
ummat Islam di seluruh Nusantara. Karena
keunggulan itulah maka huruf jawi berhasil
untuk menggeser aksara-aksara Sumatra
sehingga menjadi punah.
Surat ulu juga sering disebut surat
rencong. Istilah ini diperkenalkan oleh Hasselt
(Hasselt, 1881:5) untuk menamakan aksara
yang dipakai oleh suku-suku yang berbahasa
Midden-Maleis (Melayu Tengah), tetapi di
kemudian hari istilah rencong sering juga
digunakan untuk semua aksara yang terdapat
di bagian selatan pulau Sumatra, termasuk
Kerinci dan kadang-kadang juga Lampung.
Istilah surat rencong sebetulnya terbatas pada
beberapa daerah saja, dan tidak dikenal di
Rejang atau di Lampung (Voorhoeve,
1940:3). Lebih umum diketahui oleh pemakai
aksara itu sendiri adalah istilah surat ulu yang
berarti tulisan yang digunakan di daerah hulu.
Jaspan, yang mempelajari naskah Rejang
di tahun 1960an memperkenalkan pula istilah
aksara Ka-Ga-Nga, yang diambilnya dari
ketiga aksara pertama dalam abjadnya, untuk
menamakan aksara yang terdapat di Rejang
(Jaspan, 1964). Istilah KA-GA-NGA
kemudian digunakan oleh berbagai penulis,
dan kadang-kadang malahan digunakan secara
umum untuk semua tulisan di bagian selatan
Sumatra. Dalam konteks Indonesia penamaan
ini dapat diterima karena hanya pada tulisan
Sumatra bagian selatan abjadnya dimulai
dengan ketiga aksara ka, ga dan nga. Akan
tetapi Jaspan mungkin tidak menyadari bahwa
urutan abjad tersebut merupakan urutan yang
asli yang bukan saja digunakan di Sumatra
melainkan oleh sebagian besar abjad di India
dan keturunannya di Asia Tenggara. Dengan
demikian urutan Ka-Ga-Nga bukan khas
Sumatra, melainkan digunakan secara luas di
India dan juga di Asia Tenggara. Karena
kerancuan yang berkaitan baik dengan istilah
rencong dan Ka-Ga-Nga maka istilah surat
ulu lebih tepat untuk menamakan tulisan yang
ada di Sumatra bagian selatan. Secara lebih
terperinci istilah surat incung kami gunakan
untuk aksara Kerinci, surat rencong untuk
kelompok ‘Melayu Tengah’, Rejang, dan
Lebong, dan surat Lampung untuk tulisan
yang terdapat di propinsi paling selatan di
Sumatra.
Pengelompokan tadi dilakukan karena
surat ulu secara kasar dapat dibagi menjadi
tiga subkelompok, yaitu 1.) surat incung
Kerinci, 2.) surat rencong di Bengkulu dan
Sumatra Selatan termasuk Komering, Lebong,
Lembak, Lintang, Ogan, Pasemah, Rejang,
dan Serawai, serta 3.) surat Lampung. Pengelompokan
tadi bersifat sementara mengingat
tidak ada batas yang pasti yang membedakan
surat ulu yang satu dengan surat ulu yang
lain. Pembagian daerah dan “suku bangsa”
yang mula-mula dilakukan oleh penguasa
Belanda dan diteruskan di zaman kemerdekaan
adalah sebuah upaya yang bersifat lebih
memperhatikan perbedaan daripada pesamaan.
Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa
pembahagian daerah sulit dilakukan karena
ketiga surat sangat mirip dan menunjukkan
persamaan aksara antara 60 dan 80 persen.
Angka persamaan yang paling rendah (60%)
terdapat di antara kedua wilayah yang paling
jauh jaraknya, yaitu Kerinci dan Lampung,
53
sementara daerah yang berbatasan cenderung
memiliki tingkat persamaan yang tinggi.
Teks kedua naskah Tanjung Tanah ditulis
dengan menggunakan varian surat ulu yang
teristimewa. Dapat diduga bahwa kedua
halaman beraksara ulu tidak ditulis pada saat
yang sama dengan teks utama (yang notabene
ditulis di Dharmasraya), melainkan ditambahkan
di kemudian hari di Kerinci. Dengan
demikian teksnya tidak setua dengan teks
utama, namun, bila dilihat dari segi hurufnya,
lebih tua daripada semua naskah Kerinci yang
selama ini diketahui. Aksara yang digunakan
menyerupai surat incung Kerinci, tetapi jelas
merupakan bentuk surat incung yang sangat
lama. Berikut ini aksara surat ulu naskah
Tanjung Tanah dibahas berdasarkan tiga
sumber utama 1.) Daftar aksara ulu yang
disusun oleh Westenenk (1922b), 2.) daftar
surat ulu yang terdapat di 53 naskah rencong
di Museum Negeri Bengkulu yang disusun
oleh Nunuk Juli Astuti, dan 3.) bahan saya
sendiri tentang pemetaan surat incung berdasarkan
kira-kira 20 naskah Kerinci.
Sebagian aksara surat ulu yang terdapat di
naskah Tanjung Tanah hanya dapat dibaca
bila dibandingkan dengan aksara surat ulu
dari daerah lain. Aksara da, misalnya, mirip
dengan aksara yang lazim ditemukan di
Rejang dan di Serawai. Aksara nga juga
sangat berbeda dengan incung Kerinci maupun
rencong Bengkulu, dan menunjukkan
persamaan dengan huruf nga yang di daftar
Westenenk disebut sebagai “Rejang Lama”.
Aksara ma di naskah Tanjung Tanah persis
sama dengan aksara ma yang digunakan di
Rejang, Lembak, dan Pasemah, tetapi berbeda
dengan incung Kerinci. Aksara wa terdapat
empat kali dalam naskah Tanjung Tanah. Di
baris 4, halaman 33, aksara tersebut sukar
dibaca, dan juga di baris berikut bentuknya
tidak jelas kelihatan, sementara di baris 8,
halaman 34 tidak terbaca sama sekali. Aksara
wa hanya jelas terlihat di baris 6 halaman 34.
Dalam surat incung Kerinci aksara wa berbentuk
palang (w). Di Rejang, Lembak, dan
Pasemah terdapat berbagai ragam aksara wa
yang satu di antaranya mirip dengan aksara
yang digunakan di naskah Tanjung Tanah.
Tabel 2 Daftar Aksara Terpilih
incung rencong Tj. Tanah
ka k k
nga < <
ta t t
da d d
ma m m
ca c c
ja j j
sa s s
ra r r
wa w w
54
Varian w sangat mirip dengan bentuk huruf
wa di naskah Tanjung Tanah, tetapi bentuk
yang ada di naskah Tanjung Tanah sebetulnya
merupakan kombinasi dari kedua huruf yang
tersebut di atas. Dasarnya adalah bentuk
palang (+) yang pada varian w berubah menjadi
x. Garis miring yang ditambahkan pada
sebelah kiri unsur x juga terdapat pada aksara
yang ditemukan di naskah Tanjung Tanah,
akan tetapi garis miring itu ditambah pada
ujung atas garis vertikal unsur +.
Huruf ca sangat berbeda dari semua varian
yang lazim terdapat di Kerinci dan lebih
menyerupai huruf ca rencong. Demikian pula
dengan aksara ja di naskah Tanjung Tanah
yang tidak ditemukan pada naskah Kerinci
lainnya, tetapi mirip dengan surat rencong.
Akasara sa di naskah Tanjung Tanah erat
berkaitan dengan Lebong Lama dan Rejang
Lama di daftar Westenenk, tetapi juga ditemukan
di dalam beberapa naskah yang kini
disimpan di Museum Negeri Bengkulu.
Aksara ra di Kerinci biasanya terdiri atas
dua unsur: Unsur pertama kelihatan seperti
huruf v yang terbalik, di sampingnya unsur
kedua yang kelihatan seperti huruf v biasa
(lihat Tabel 2). Pada aksara rencong unsur
kedua tergeser ke kiri sehingga bersatu
dengan unsur pertama. Bentuk yang ditemukan
di naskah Tanjung Tanah lebih mirip
dengan aksara rencong, akan tetapi kedua
unsur masih tetap terpisah. Di Kerinci terdapat
sedikitnya satu naskah tanduk, dari Hiang
Tinggi, yang menunjukkan bentuk yang
sangat mirip, namun unsur kedua di sini terletak
di bawah unsur pertama.
Di antara sandangan di naskah Tanjung
Tanah terdapat dua yang tidak dapat
ditemukan di Kerinci, yaitu tanda bunuh, dan
sandangan i. Tanda bunuh yang digunakan di
naskah Tanjung Tanah berbeda sekali dengan
sandangan yang sama di Kerinci, dan hanya
menunjukkan persamaan dengan salah satu
dari tiga varian yang, menurut daftar Westenenk,
terdapat di Lebong Lama dan di
"Lampoengsch in Kroei" (aksara Lampung
yang digunakan di Krui – bagian paling
selatan provinsi Bengkulu yang berbatasan
dengan Lampung).
Sandangan i di naskah Tanjung Tanah juga
sangat istimewa, dan sama sekali tidak
menunjukkan persamaan dengan surat incung
maupun surat ulu lainnya. Di naskah Tanjung
Tanah sandangan ini berupa lingkaran kecil
yang ditempatkan di atas aksara, sementara di
hampir semua varian surat ulu sandangan i
berbentuk seperti huruf v yang terbalik. Di
daftar Westenenk ada varian yang berbentuk
titik yang terletak di atas aksara agak ke kiri
sedikit. Menurut Westenenk varian tersebut
ditemukan di Rejang, Lembak, dan Serawai.
Akan tetapi tiada satu pun naskah yang
tersimpan di Museum Negeri Bengkulu yang
menunjukkan bentuk titik sehingga dapat
disimpulkan bahwa varian tersebut sangat
jarang ditemukan. Bentuk i yang terdapat di
naskah Tanjung Tanah tidak merupakan titik,
melainkan sebuah lingkaran besar yang
berada di atas aksara atau malahan ke kanan
sedikit. Bentuk seperti itu tidak dapat ditemukan
dalam surat ulu apa pun, akan tetapi bentuk
tersebut mengingatkan kita akan bentuk
aksara i di teks pertama yang berupa lingkaran
yang sedikit terbuka di bagian bawah. Letaknya
pun sama, yaitu di atas aksara, sebagaimana
dapat dilihat di Tabel 3 yang
menunjukkan posisi sandangan i terhadap
aksara da dan sa. Bentuk sandangan i dengan
55
lingkaran yang sedikit terbuka yang ditempatkan
di atas aksara, masih bertahan sampai
sekarang di dalam aksara Jawa moderen.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa bentuk sandangan i sebagaimana digunakan
di teks 2 naskah Tanjung Tanah merupakan
bentuk
kuno yang kini
tidak ditemukan
lagi, dan
yang juga dengan
jelas menunjukkan
bahwa
aksara surat
ulu di dahulu
kala lebih banyak
menunjukkan
persamaan dengan aksara pasca-
Palawa.
Sebagaimana dijelaskan di atas, teks surat
ulu di naskah Tanjung Tanah lebih banyak
menunjukkan persamaan dengan rencong
daripada incung Kerinci. Kalau begitu, apa
boleh ditarik kesimpulan bahwa teksnya ditulis
di kawasan provinsi Bengkulu, atau di
Kerinci oleh seseorang yang berasal dari
sana? Mungkin saja, akan tetapi kalau kita
perhatikan bentuk tanda bunuh dan sandangan
i maka bentuk yang digunakan di naskah
Tanjung Tanah masih cukup berbeda dengan
bentuk-bentuk yang lazim kita temukan di
provinsi Bengkulu. Oleh sebab itu penulis
lebih cenderung menganggap tulisan yang ada
di naskah Tanjung Tanah sebagai tulisan yang
lazim terdapat di Kerinci pada saat teksnya
ditulis. Hal itu lansung membawa kita ke
pertanyaan: Kapankah teks surat ulu ditulis?
Tidak ada jawaban yang pasti, namun
mengingat kekunoan surat ulu di naskah Tanjung
Tanah, penulis cenderung beranggapan
bahwa teks surat ulu ditulis tidak terlalu lama
setelah naskah Tanjung Tanah tiba di Kerinci,
pada saat mana aksara incung Kerinci masih
sangat mirip dengan surat rencong, dan ciriciri
khas surat incung baru terbentuk di kemudian
hari. Kalau memang benar bahwa pada
saat teks surat ulu ditulis perbedaan antara
varian-varian surat ulu belum begitu menonjol,
maka malahan dapat kita anggap teks
surat ulu naskah Tanjung Tanah sebagai bentuk
proto untuk varian-varian aksara di Kerinci,
Lembak, Lebong, Pasemah, Rejang, dan
Serawai.
Surat Ulu dan “Aksara
Minangkabau”
Dengan adanya aksara surat ulu di sebagian
besar wilayah Sumatra bagian selatan, dan
aksara surat Batak di Sumatra Utara, timbullah
pertanyaan mengapa daerah Minangkabau
tidak memiliki aksara tersendiri.
Prasasti-prasasti Akarendrawarman dan
Adityawarman, dan demikian juga naskah
Tanjung Tanah, menggunakan aksara Malayu.
Karena kebanyakan prasasti ditemukan di
daerah Minangkabau, maka tidak salah kalau
aksara tersebut disebut sebagai aksara asli
Minangkabau-Malayu. Aksara Malayu ini
masih jelas termasuk kelompok aksara pasca-
Palawa yang berkembang di Nusantara mulai
dari aksara Sriwijaya hingga pada aksara Jawa
Kuno. Dengan demikian aksara tersebut jelas
termasuk dalam keluarga tulisan pasca-Palawa,
tetapi berbeda dengan aksara yang dianggap
lebih khas Sumatra seperti surat ulu atau
surat Batak.
Kenyataan bahwa sampai sekarang belum
Tabel 3 Sandangan i
Teks 1 Teks 2
di
si
56
ditemukan naskah yang beraksara Minangkabau
yang mirip dengan surat ulu atau surat
Batak tidak berarti bahwa Minangkabau tidak
pernah memiliki aksara seperti itu. Kozok
menunjukkan dalam buku yang menguraikan
perkembangan surat Batak bahwa aksara
tersebut mula-mula terbentuk di daerah Mandailing
dan dari situ menyebar ke Toba dan
Simalungun, lalu ke Dairi dan Karo (Kozok,
1999).
Mengingat persamaan yang nyata antara
struktur, bentuk dan wujud surat ulu dan surat
Batak, maka jelas bahwa kedua aksara
memiliki asal usul yang sama. Secara
struktural surat ulu dan surat Batak memiliki
persamaan bahwa kedua aksara tidak memiliki
pasangan untuk gugusan konsonan sebagaimana
terdapat pada aksara Palawa, dan
semua jenis aksara pasca-Palawa, termasuk
aksara Jawa dan Bali. Hal tersebut sangat
masuk akal karena bahasa-bahasa Sumatra,
khususnya bahasa Melayu dan juga bahasa
Batak memiliki struktur fonologi yang sederhana,
dengan pola konsonan-vokal-konsonan,
dan apabila terdapat gugusan konsonan maka
konsonan pertama biasanya berupa bunyi
sengau, seperti dalam kata hampa (m-p),
sangka (ng-k), pantai (n-t), pandang (n-d),
lancar (n-c), senja (n-j) dsb. Karena pola
bahasa yang sedemikian maka penghilangan
sandangan sangat memudahkan penulisan
aksara Sumatra. Dibandingkan dengan aksara
Jawa, atau aksara pasca-Palawa, aksara
Sumatra lebih mudah untuk dipelajari, dan
sangat sesuai untuk bahasa-bahasa setempat.
Karena kombinasi sengau velar (ng) dengan
konsonan velar (k dan g), sengau labial (m)
dengan konsonan labial (p, b), dan sengau
dental (n) dengan konsonan dental (t, d) serta
konsonan palatal (j, c) sangat umum terdapat
dalam bahasa-bahasa Sumatra maka di berbagai
daerah ditambahkan aksara khusus seperti
mba (Batak Karo dan semua surat ulu), ngga
(semua surat ulu), nda (Batak Karo dan
semua surat ulu), nja (semua surat ulu),
sementara aksara khusus untuk mpa, ngka,
nta, dan nca hanya terdapat di sebagian surat
ulu. Dengan demikian jumlah aksara pada
surat Sumatra bervariasi antara 19 (Batak
Toba) dan 20 (Lampung) sampai 28 dan 30
(Lembak dan Serawai).
Jumlah sandangan atau tanda diakritik juga
bervariasi. Sandangan yang terdapat pada
semua surat Sumatra ialah e dan i serta o dan
u (beberapa daerah hanya memiliki satu sandangan
untuk i dan e, dan untuk o dan u), ng
(sebagai penutup suku kata: “halang”), dan
tanda bunuh. Di samping itu kebanyakan
aksara menambah sandangan e-pepet (bunyi e
ini berbeda dengan bunyi é seperti dalam kata
keréta) dan h (sebagai penutuk suku kata:
“tambah”), dan malahan ada beberapa surat
yang menambah r dan n sebagai penutup suku
kata.
Penjelasan yang agak panjang lebar di atas
kiranya perlu untuk menanggapi gagasan
adanya aksara Minangkabau.
Pada Seminar Sedjarah dan Kebudajaan
Minangkabau di Batusangkar, 1-10 Agustus
1970, dikemukakan bahwa telah ditemukan
aksara Minangkabau "dalam kitab tambo Dt.
Suri Diradjo dan tambo Dt. Bandaro Kajo"
yang konon ditemui di Pariangan, Padang
Panjang. “Penemuan” ini lalu disebarkan dalam
artikel sebuah surat kabar di Padang. Penulis
memiliki kliping dari artikel tersebut
yang sayang sekali tidak terdapat keterangan
tentang surat kabar mana yang menerbitkan57
nya maupun tanggalnya. Ringkasan artikel
tersebut kemudian dimuat dalam buku H.
Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau,
diedit kembali oleh A. Damhoeri. Bukittinggi:
Pustaka Indonesia, [1976], hal. 346-51.
Aksara yang menurut penulis artikel tersebut
adalah aksara Minangkabau berdasarkan
aksara ulu, tetapi di sana-sini terdapat variasi
sehingga kelihatan asli Minangkabau.
Penulis menjadi ragu jika melihat bahwa
aksara Minangkabau itu memiliki aksara khusus
untuk a dan ha. Padahal di semua aksara
ulu hanya terdapat satu aksara yang – menurut
konteksnya – dapat dibaca a atau ha. Hal itu
masuk akal karena bunyi a memang sudah
menjadi bagian pada setiap aksara (ka, ga,
nga, ta, da, na, dsb). Kata yang berawalan a
seperti anak, adat, atap ditulis dengan aksara
yang juga dapat dibaca ha. Hal itu juga masuk
akal karena dialek-dialek Melayu tidak selalu
membedakan antara a dan ha di awal kata,
misalnya adang dan hadang, ati dan hati, dsb.
Keraguan penulis berubah menjadi tidak
percaya ketika melihat bahwa dalam aksara
Minangkabau itu tidak termasuk sandangan
ng. Dalam semua aksara Sumatra kata seperti
“gadang” ditulis dengan dua aksara, yaitu ga
dan da ditambah dengan sandangan ng.
Sedangkan aksara Minangkabau itu menulisnya
dengan tiga aksara ditambah tanda bunuh,
yaitu ga, da, nga, tanda bunuh. Hal tersebut
mustahil sama sekali.
Selain itu penulis juga sangat menyayangkan
bahwa naskah yang dikatakan beraksara
Minangkabau itu tidak pernah ditunjukkan
kepada siapa-siapa apalagi didokumentasikan
lengkap dengan foto dan sebagainya. Karena
keberadaan naskah tersebut tidak pernah
terbukti, dan aksaranya menimbulkan pertanyaan
yang sangat meragukan keasliannya,
maka seharusnya aksara tersebut tidak pernah
ditanggapi secara serius. Dalam hal ini penulis
sangat menyesalkan bahwa pihak Museum
Adityawarman di Padang sempat mengangkat
aksara yang kurang jelas asal-usulnya itu
menjadi bagian pamerannya.12
Di samping “aksara Minangkabau” yang
tadi, Museum Adityawarman malahan memamerkan
lagi satu lagi “aksara Minangkabau”
yang konon ditemui dalam Tambo Rueh. Bagi
seorang ahli paleografi sangat jelas bahwa
“aksara” itu direkayasa. Tokoh yang menciptakannya
ternyata tidak memiliki pengetahuan
tentang aksara Sumatra sehingga hasil rekayasanya
malahan mencerminkan asas-asas abjad
Latin! Karena “aksara Tambo Rueh” begitu
jelas memperlihatkan ciri-ciri kerekayasaan
maka penulis merasa tidak perlu menanggapinya
secara lanjut.
Aksara Minangkabau yang mirip dengan
aksara ulu kemungkinan besar memang
pernah ada. Akan tetapi daerah Minangkabau
berbeda dengan daerah di sebelah utara
(Batak) dan selatan (Kerinci, Rejang,
Bengkulu) karena lebih duluan agama Islam
masuk ke daerah Minangkabau. Aksara yang
ada sebelumnya seperti aksara Malayu zaman
Adityawarman dan aksara Minangkabau yang
mirip dengan aksara ulu, menjadi punah
karena masuknya huruf jawi. Lama kelamaan
naskah pra-jawi pun hilang. Kemungkinan
bahwa di abad ke-19 naskah pra-jawi sudah
sangat berkurang. Kalaupun masih ada naskah
yang tersisa pada abad ke-19, dapat dipastikan
12 Pada kunjungan saya yang terakhir ke Museum
Adityawarman di Padang (Juli 2005) ternyata kedua
“aksara Minangkabau” sudah tidak lagi dipamerkan
karena pihak museum sendiri meragukan keaslian kedua
“aksara” tersebut.
58
sudah menjadi korban kaum paderi.
Daerah Batak (Mandailing) baru diislamkan
di abad ke-19. Van der Tuuk yang berkunjung
ke Mandailing yang berbatasan dengan
Minangkabau mencatat bahwa pustaha
(naskah beraksara Batak) sudah menjadi barang
sangat langka sesudah daerah ini diserang
dan diislamkan oleh kaum paderi di awal
abad ke-19. Kalau di Mandailing saja, yang
pada awal abad ke-19 masih memiliki tradisi
menulis yang sangat aktif, naskah sudah menjadi
barang langka, dapat dipastikan bahwa di
Minangkabau naskah pra-jawi sudah lama sebelumnya
punah.
Bahan
Naskah Tanjung Tanah telah diteliti oleh
Tokyo Restoration & Conservation Center
pada Oktober 2004, dan hasilnya menunjukkan
bahwa bahannya daluang (Broussonetia
papyrifera Vent). Untuk memastikan bahwa
bahannya memang daluang maka sampel naskah
Tanjung Tanah diperiksa di mikroskop
dan dibandingkan dengan dua naskah daluang
lainnya serta dengan bahan lain yang juga dipakai
di Indonesia sebagai bahan kain. Di antaranya
termasuk sampel kain yang terbuat
dari kulit kayu sukun (dari Bondowoso), dan
sampel kain yang terbuat dari kulit kayu beringin
yang berasal dari Tanah Toraja. Dari
hasil perbandingan ciri-ciri serat diketahui
bahwa naskah Tanjung Tanah memang terbuat
dari daluang. Pemeriksaan mikroskop
juga menunjukkan bahwa naskah Tanjung Tanah
tidak diolesi kanji, dan bahwa pada seratnya
masih ada pektin serta hemiselulose. Serat
kayu yang utuh selalu dibalut oleh serat larut
pektin dan hemiselulose. Pada proses pemurnian
kulit kayu daluang untuk menjadi bahan
tulis kadar kedua hidrat arang biasanya
menyusut sehingga tinggal serat murni. Adanya
kadar pektin serta hemiselulose dalam
sampel naskah Tanjung Tanah menjadi indikator
bahwa proses pembuatan naskah termasuk
sederhana. Di samping itu permukaan daluang
Tanjung Tanah juga termasuk kasar dibandingkan
dengan naskah daluang lainnya
yang diperiksa sebagai bahan pembanding.
Daluang, juga disebut dluwang dan
daluwang, dapat digunakan sebagai kain
(tapa) atau sebagai bahan tulis. Di dahulu kala
daluang sangat luas digunakan sebagai kain
pakaian, dan yang paling terkenal ialah tapa
yang digunakan oleh penduduk kepulauan
Polynesia di Lautan Teduh (Pasifik). Daluang
juga luas digunakan sebagai kain pakaian di
Indonesia, terutama di Jawa dan di Indonesia
bagian timur. Diberitakan bahwa pada awal
abad ke-19 masih ada orang Jawa yang
berpakaian daluang (Teygeler, 1995:5). Kebanyakan
naskah Jawa ditulis di daun lontar,
dan daluang baru menjadi lebih dikenal sebagai
bahan tulis selama abad ke-17 seiring dengan
meluasnya pengaruh Islam di Jawa karena
huruf jawi sulit untuk ditulis pada daun
lontar. Produksi daluang makin meningkat di
zaman VOC yang turut menggunakan daluang
karena persediaan kertas tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan yang makin meningkat.
Akan tetapi pada abad ke-19 kertas
sudah tersedia secara umum dan produksi daluang
makin menurun sehingga menjadi hampir
punah.
Sekarang pohon daluang sudah sulit ditemukan
di Jawa, apalagi di Sumatra. Bagaimana
keadaan di zaman dahulu tidak diketahui.
Boleh jadi bahan untuk naskah Tanjung
59
Tanah diimpor dari Jawa, tetapi hasil penelitian
Tokyo Restoration & Conservation Center
mengisyaratkan bahwa daluang itu barangkali
merupakan produksi setempat karena mutunya
tidak seimbang dengan daluang yang
dihasilkan di Jawa. Daluang yang hendak
digunakan sebagai kertas tulis perlu melalui
berbagai tingkat penghalusan, termasuk pemeraman
yang memakan waktu lama dan prosedur
perataan yang berulang kali dilakukan
sehingga bahannya menjadi benar-benar
halus. Untuk memperoleh hasil yang maksimal
hanya kulit kayu dari pohon yang masih
muda diambil sementara pohon yang sudah
tua hanya dapat digunakan sebagai kertas
pembungkus,
Bahan naskah Tanjung Tanah ternyata
tidak melalui prosedur yang sangat rumit,
tetapi sifatnya yang agak kasar dibandingkan
dengan daluang halus buatan Jawa mungkin
karena teknologi pembuatan kertas pada
zaman itu belum semaju dengan yang ada di
Jawa di abad ke-17. Boleh jadi bahwa di abad
ke-14 teknologi pembuatan daluang di Jawa
pun tidak lebih maju daripada yang di
Sumatra.
Kesimpulannya, tidak dapat dipastikan
apakah bahan daluang Tanjung Tanah didatangkan
dari Jawa atau merupakan penghasilan
setempat, namun penulis lebih cenderung
menganggapnya sebagai produksi lokal
karena pada zaman itu di Jawa kebanyakan
naskah ditulis di lontar sementara pohon
lontar tidak tumbuh di Sumatra bagian selatan
karena curah hujan terlalu tinggi.
Tentu saja hal ini tidak menjawab pertanyaan
mengapa naskah Tanjung Tanah ditulis
di daluang dan tidak di bambu, atau di tanduk
kerbau yang merupakan bahan tulis yang
paling umum di Kerinci. Hal tersebut tentu
berkaitan dengan pengaruh Jawa yang sudah
sejak abad ke-13 atau malahan sebelumnya
merembes ke Sumatra bagian selatan. Adityawarman
yang pernah menjadi mantri
praudhataro di istana Majapahit pasti sangat
terpengaruh dengan budaya Jawa dan ingin
menerapkan gaya kerajaan seperti di Jawa di
dalam kerajaannya. Hal ini tentu tidak berarti
bahwa kerajaan Malayu semata-mata mencontoh
Majapahit, tetapi memilih unsur-unsur
yang dianggapnya sesuai dan yang dapat
memperkuat kedudukan sang Maharajadhiraja
sebagai penguasa mutlak. Kalau menulis di
bambu dan tanduk kerbau sudah menjadi tradisi
kerakyatan dengan menggunakan aksara
setempat seperti aksara Kerinci maka sang raja
dan para pegawai tinggi merasa perlu membedakan
dirinya dari rakyat biasa dengan
menggunakan aksara dan bahan tulis yang
berbeda.
Analisis Radiokarbon
Untuk membuktikan kebenaran asumsi
Voorhoeve bahwa naskah Tanjung Tanah
memang berasal dari zaman sebelum agama
Islam tersebar di pelosok-pelosok alam
Melayu di sekitar Bukit Barisan, maka sebuah
sampel naskah ditentukan usianya dencan cara
pengukuran umur dengan metode radiokarbon.
Sampel kecil yang dengan izin pemilik
naskah Tanjung Tanah diambil dari salah satu
halaman yang kosong (tidak mengandung
tulisan), dikirim ke Rafter Radiocarbon Laboratory
di Wellington, New Zealand untuk dianalisis
dengan menggunakan spektrometer
pemercepat masa. Accelerator mass spectrometry
(AMS) merupakan metode yang relatif
60
baru yang pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1977.
Dengan menggunakan spektrometer, akurasi
penentuan umur menjadi semakin tingi
karena metode tersebut mampu melacak unsur
C-14 dari bahan uji coba yang amat kecil.
AMS dapat disebut terobosan baru dalam metode
pengukuran radiokarbon karena memungkinan
analisis radiokarbon pada sampel
yang sangat kecil volumenya.
Analisis sampel naskah Tanjung Tanah
yang diadakan di Laboratorium Rafter menghasilkan
umur radiokarbon 553 ± 40 tahun
before present (BP) yang sama dengan tahun
1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) karena
tahun 1950 dianggap sebagai ‘present’ —
demikianlah memang kovensi yang berlaku.
Akan tetapi umur yang ‘konvensional” tersebut
tidak persis sama dengan umur yang
sebenarnya karena waktu paruh karbon-14
adalah 5.730 tahun dan bukan 5.568 tahun
sebagaimana dianggap semula. Waktu paruh
ialah waktu yang dibutuhkan untuk meluruhkan
setengah dari inti atom. Artinya apabila
proses peluruhan dimulai pada satu kilogram
material radioaktif, material tersebut akan
luruh menjadi setengah kilogram dari unsur
tersebut. Selanjutnya setengah kilogram material
tersebut akan menjadi setengahnya lagi
setelah waktu paruhnya dan seterusnya.
Karbon-14 dihasilkan terus menerus di
bagian atas atmosfer akibat tembakan sinar
kosmis (partikel nuklir energi tinggi) di alam,
sehingga semua organism mengandung karbon-
14. Kadar kandungan karbon-14 juga
tergantung pada intensitas pancaran yang
mengalami perubahan di sepanjang masa.
Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan
untuk penanggalan yang tepat, dan penyesuaian
dilakukan dengan menggunakan
kalibrasi INTCAL98 (Stuiver et al., 1998).
Setelah diadakan kalibrasi maka terdapat dua
kemungkinan tentang umur naskah Tanjung
Tanah: Dengan probabilitas 95,4% naskah
Tanjung Tanah jatuh pada kurun waktu 1304
dan 1370 M (44,3%), atau antara tahun 1380
dan 1436 M (51,7%). Persentase yang di
kurung adalah distribusi probabilitas yang
untuk kedua kurun waktu hampir sama
sehingga kita harus menerima kenyataan
bahwa penanggalan tidak dapat diadakan
dengan sangat tepat. Namun demikian jelas
bahwa pohon yang digunakan untuk
menghasilkan kertas daluang ditebang antara
tahun 1304 dan 1436 Masehi.
Tabel 4 Umur Radiokarbon
No. Lab d13C
(‰)
Umur Radiokarbon
Umur sesudah
kalibrasi
R 28352
(18-Nov-
03)
-24,5 553 ± 40 BP
= 1397M ±
40
1304 - 1370
(44,3%)
1380 - 1436
(51,7%)
Dapat disimpulkan bahwa naskah Tanjung
Tanah ditulis selama abad ke-14 atau pada
awal abad ke-15. Bila hasil analisis karbon-14
dikaitkan dengan data-data sejarah sebagaimana
dilakukan di atas, maka kemungkinan
besar bahwa naskah Tanjung Tanah ditulis
pada paruh kedua abad ke-14.
Terbukti oleh penanggalan secara radiokarbon,
naskah Tanjung Tanah minimal
seratus tahun lebih tua daripada naskah yang
selama ini dianggap sebagai naskah Melayu
tertua, yaitu kedua surat sultan Abu Hayat
dari Ternate yang berhuruf jawi dan bertanggal
1521 dan 1522 Masehi. Kedua naskah tadi
telah diterbitkan oleh Blagden dalam Bulletin
61
of the School of Oriental Studies (University
of London) pada tahun 1932.
Namun demikian, pada tahun 1988 terbit
pula buku yang berjudul: The oldest known
Malay manuscript: a 16th century Malay
translation of the 'Aqa'id of Al-Nasafi.
Kendatipun naskah tersebut bertanggal tahun
1590 M (jadi hampir 70 tahun lebih muda
daripada kedua surat sultan Abu Hayat), Al-
Attas menamakannya sebagai naskah Melayu
yang tertua, dan tidak ada referensi apa pun
yang merujuk kepada artikel Blagden. Hal ini
terutama mengherankan karena Al-Attas
secara terperinci menyebut naskah-naskah
Melayu yang tua dalam bagian buku “Previous
accounts of some of the oldest Malay
manuscripts”. Entah dengan sengaja atau
tidak sengaja judul buku Al-Attas jelas
menyesatkan.
Naskah Tanjung Tanah bukan hanya
naskah Melayu yang tertua, melainkan juga
satu-satunya naskah Melayu yang tertulis
dalam aksara pasca-Palawa yang juga disebut
sebagai aksara Malayu.
Kenyataan bahwa tidak pernah ditemukan
naskah Melayu yang berasal dari zaman pra-
Islam malahan diinterpretasikan oleh sebagian
pakar sebagai petunjuk bahwa – lain dengan
orang Jawa atau orang Bali misalnya – orang
Melayu tidak pernah memiliki tradisi
pernaskahan pra-Islam dengan menggunakan
daun lontar, buluh, atau kulit kayu sebagai
media tulis (Jones, 1986:139).
Teori ini yang mula-mula dikemukakan
oleh Friedrich (1854) dan belakangan ini
didukung oleh Abdullah (2000:405) tentu
hanya masuk akal bila kita bertolak pada
kesimpulan bahwa naskah berbahasa Melayu
yang ditulis dengan aksara surat ulu di bagian
selatan Sumatra (Kerinci, Bengkulu, Pasemah,
Ogan, Komering, Serawai, dan Lampung)
tidak termasuk dalam kategori hasil tulisan
Melayu. Teori ini juga tidak diterima oleh
sebagian pakar karena tidak masuk akal
bahwa orang Melayu yang pada abad ketujuh
sudah memiliki aksara sendiri tidak pernah
menggunakan bahan lain daripada batu
sebagai media tulis, atau bahkan kehilangan
kemampuan menulis di zaman pasca-Sriwijaya.
Padahal baik Malayu maupun Sriwijaya
menjadi pemain utama dalam perdagangan
antarbangsa karena menguasai Selat Malaka
yang begitu penting bagi arus perdagangan
antara India dan Tiongkok. Sulit bagi kita
untuk membayangkan bahwa kerajaan yang
begitu terfokus pada dunia luar tidak pernah
mengembangkan tradisi pernaskahan sebelum
kedatangan agama Islam.
A. Teeuw juga menarik perhatian kita pada
ejaan huruf Jawi yang memperlihatkan unsurunsur
dari abjad yang digunakan sebelum
huruf jawi diperkenalkan: “Particularies [in
the jawi script] can only be explained as a
continuation of a similar spelling in Indian
writing” (Teeuw, 1959:152).13 Dengan kata
lain, abjad Jawi bukan semata-mata pinjaman
abjad Arab, melainkan ada proses untuk
menyesuaikan ejaan sedemikian rupa sehingga
cocok untuk menulis bahasa Melayu. Bagi
para katib yang mula-mula menyesuaikan
abjad Arab, atau lebih tepat varian Persianya,
agar dapat digunakan untuk menulis bahasa
Melayu, abjad jawi bukan abjad pertama yang
mereka pelajari. Kratz menulis bahwa “one
can assume that those developing the Jawi
script for use with Malay had been familiar
13 Yang dimaksud di sini dengan “Indian writing” adalah
aksara pasca-Palawa.
62
with the Pallava script and some of its South-
East Asian variants” (Kratz, 2002:23).
Naskah Tanjung Tanah membenarkan
anggapan Teeuw dan Kratz, dan juga De
Casparis (1975:73) yang yakin, tetapi tidak
dapat membuktikan, bahwa ada kesinambungan
sejarah penulisan dari zaman Hindu-Budha
ke zaman Islam. Ternyata mereka benar bahwa
keberaksaraan, juga dalam bentuk tradisi
pernaskahan, telah kokoh berakar di alam
Melayu sebelum masuknya agama Islam ke
kawasan Nusantara.
Alih Aksara dan Alih Bahasa
Alih aksara (transliterasi) dan alih bahasa
(terjemahan) yang tersaji di bawah ini merupakan
upaya terpadu sejumlah pakar bahasa
Melayu, bahasa Sansekerta, dan bahasa Jawa
Kuna yang berkumpul di kampus Universitas
Indonesia antara tanggal 12-18 Desember
2004 dalam rangka lokakarya yang diadakan
oleh Yayasan Naskah Nusantara. Lokakarya
tersebut diketuai oleh Achadiati Ikram, dan
diprakarsai oleh Uli Kozok.
Tim inti lokakarya terdiri atas Achadiati
Ikram, Hasan Djafar, Karl Anderbeck, Ninie
Susanti Y, Romo Kuntara Wiryamartana,
Thomas Hunter, Uli Kozok, dan Waruno
Mahdi.
Selain tim inti yang turut membantu adalah
Amyrna Leandra, Dwi Woro Mastuti, Edi
Sedyawati, Made Suparta, Mujizah, Munawar
Holil, Yamin, dan Titik Pudjiastuti yang juga
merangkap sebagai ketua panitia.
Kami juga ingin mengucapkan terima
kasih kepada K.A. Adelaar yang berhalangan
mengikuti lokakarya tersebut, tetapi memberi
sumbangan yang berarti.
Lokakarya tersebut dimungkinkan berkat
adanya dana yang disediakan oleh US
Ambassador’s Fund for Cultural Preservation.
Alih Aksara (1)
Transliterasi berikut merupakan alih aksara
naskah Tanjung Tanah yang kedua. Pertama
kali naskah tersebut ditransliterasi oleh
Poerbatjaraka, seorang budayawan, ilmuwan
Jawa dan terutama pakar sastra Jawa, yang
pada saat itu menjadi kurator naskah di
Museum Gadjah (Museum Nasional). Transliterasi
Poerbatjaraka tidak sempurna karena
beliau tidak sempat melihat naskah aslinya
melainkan hanya dapat berpegangan pada
foto-foto yang dikirim oleh Voorhoeve,
sementara mutu foto tersebut sangat kurang.
Transliterasi naskah Tanjung Tanah tersaji
di bawah ini dalam dua versi sejajar, yaitu
transliterasi kritis dan transliterasi diplomatik.
Transliterasi kritis merupakan salinan
teliti secara huruf demi huruf, tanda demi
tanda, sedapatnya mencerminkan setiap ciri
atau kekhususan teks asli. Transliterasi kritis
banyak bersandar pada hasil kerja oleh Dr.
Ninie Susanti dan Drs. Hasan Djafar selama
lokakarya Desember 2004, yang kemudian
diubahsuaikan oleh Waruno Mahdi.
Waruno Mahdi juga menambahkan
transliterasi diplomatis yang merupakan
salinan luwes yang bertujuan memperkirakan
bagaimana bacaan teks tersebut sebagaimana
yang dimaksudkan oleh sang katib.
Kata-kata Sansekerta dieja sebagaimana
diperkirakan ucapannya di tempat dan waktu
yang bersangkutan. Penulisan sebagaimana
aslinya dalam bahasa Sansekerta, jika diang64
gap perlu, ditambahkan dalam catatan kaki
(terutama bersandar pada hasil kerja I Kuntara
Wiryamartana dan Thomas M. Hunter).
Dalam transliterasi kritis dipergunakan
tanda baca berikut, pengganti atau pencermin
ciri-ciri tertentu daripada teks asli:
° — menyatakan bahwa bunyi vokal berikut
termaktub dalam naskah asli sebagai
aksara tersendiri (artinya bukan sebagai
sandangan pada aksara konsonan);
: — menyatakan sandangan danda, yang
mana biasanya menyatakan vokal a
panjang, tetapi dalam naskah Tanjung
Tanah dipakai juga dengan vokal lain,
dan fungsinya kurang jelas;
¬ — menyatakan tanda bunuh (bhs. Jawa
patèn, Skt. vir ma), meniadakan atau
“membunuh” vokal yang terdapat pada
sebuah aksara konsonan;
— menyatakan sandangan wignyan (bahasa
Jawa; bhs. Skt. visarga) yang
manambah bunyi h pada akhir sebuah
suku kata;
ˆ — menyatakan sandangan cecak (dalam
bahasa Sansekerta [Skt.] dinamakan
anusv ra) yang menambahkan bunyi
sengau (ng) pada akhir sebuah suku
kata;
— menyatakan sandangan keret, yang
dalam bhs. Jawa Kuna dibaca -re-;
tetapi dalam bhs. Melayu Tua dibaca -
er-, dan dalam bhs. Skt. sebagai bunyi -
r- silabik (yang berfungsi bagaikan
vokal);
x — tanda yang dipangkatkan di muka
konsonan lain (dimisalkan dengan x)
menyatakan singkatan aksara a yang
dijunjung di atas aksara lain dalam
ligatur (gabungan aksara) x;
rx — tanda r yang dipangkatkan di muka
konsonan lain menyatakan singkatan
aksara ra yang dijunjung di atas aksara
lain dalam ligatur rx;
xr — tanda r yang dipangkatkan di belakang
konsonan lain menyatakan sandangan
cakra;
xy — tanda y yang dipangkatkan di belakang
konsonan lain menyatakan sandangan
pèngkal;
xk — huruf konsonan yang disubskripkan
(umpamanya k) di belakang konsonan
lain, menyatakan pasangan di bawah
atau di sebelah kanan aksara pokok
(misalnya x) dalam ligatur xk.
Demi mempertahankan asas pencerminan
yang manunggal, maka digraf ng dan ny
digantikan dengan dan ñ. Begitu pun,
urutan vokal ai semata dipakai untuk
dua vokal penuh (seperti misalnya
dalam bahasa Indonesia pada kata
yaitu), sedangkan untuk diftong (tanda
taling rangkap dalam naskah) ditulis
ditulis ay. Kemudian, dibedakan juga
antara e (semata untuk pepet), è (taling
tunggal dalam naskah), dan é (sandangan
berupa "cakra terbalik" dalam naskah).
Sisipan dinyatakan /xxx\ bila disisip dari
bawah; dan \xxx/ bila dari atas.
Salah tulis oleh kealpaan sang katib, yang
dicoret oleh katib itu sendiri, dinyatakan
dengan sebuah atau seurutan tanda #;
bagian lain yang tidak terbacakan,
terlalu samar, atau hilang (karena
daluangnya koyak atau berlubang),
dinyatakan dengan titik-titik.
Dalam transliterasi diplomatis diisyaratkan
peranggapan berikut:
Dianggap bahwa apa yang termaktub seba65
gai urutan dua konsonan berlainan dalam naskah
asli itu hanya benar merupakan urutan
konsonan demikian apabila: konsonan pertamanya
bunyi sengau; atau salah satu di antaranya
adalah s; atau konsonan yang terakhirnya
adalah k daripada akhiran -kan. Begitu pun dianggap
tiada selingan vokal di muka enklitik -
ña (-nya) sekira pun kata sebelumnya berakhir
dengan konsonan. Pada semua kejadian lain,
pengucapan kedua konsonan itu dianggap
diselingi satu vokal, yaitu: vokal i kalau di
muka y (artinya, bila tertulis kalyan, dibaca
kaliyan); vokal u di muka w (tertulis dwa,
dibaca duwa), dengan beberapa perkecualian;
dan vokal e (pepet) pada semua kombinasi
konsonan lainnya (tertulis sri, dibaca seri),
kadang-kadang dituliskan sebagai pangkat
(tertulis putra, dibaca putera).
Tanda-tanda baca yang rumit disederhanakan,
yaitu: dua garis miring // diganti dengan
satu titik tengah (·), kombinasi 4 garis miring
dengan 2 titik tengah //··// menjadi sekadar
dua titik tengah (··), sedangkan kombinasi
berupa //∞// diganti dengan tanda gelombang
(~).
2. [°Au#] [bé?] ....... [swasti]
ri [ a]ka .... [tita] .....
ma:sa wèsa:ka //··// .....
## °u.. //··// jya:sta: masa titi
k snapaksa //··// di wasè... ¬
pduka sri ma:ha:raja karta##bèssa
ri gandawaˆ a mradana ; ma:ga...
sè a ... kartabès¬sa .....
[“aum”] [bé?] [.....] swasti seri
saka[warsa]tita [...] masa wèsaka14 ·· [.....]
“om”15 · jyasta16 masa titi17 keresnapaksa18 ··
di wasè[ba]n peduka seri19 maharaja
karetabèssa seri gandawa sa maredana,
maga-[...] sèna [...]20 karetabèssa [...]
3. °anugraha: °atña saˆ [hya] kammatta21
n¬ pda ma:ndalika: di bumi kurinci
silu:ñjur¬ kurinci: maka: ma: ##
ha: sè apa:ti prapati sama[ re/ga]22
tprabalaˆ balaˆ a ¬ disa: pra[ka][ra]23
dis#i daˆ a ##dèsa: ha:llat¬ ma:
hallatdi dèsa pradèsa ba:
nwa saha:ya ; ja: antida24 °i[da]
anugeraha atña sa [hya ] kemmattan25 peda
mandalika26 di bumi kurinci si-lunjur kurinci
maka mahasènapati perapatih sama[...]t
parebala -bala an di sa pera [ka] [ra] disi
de a[n] dèsa hellat mahellat di dèsa
peradèsa benuwa27 sahaya, ja an tida ida
14 Skt. Vai¢åkha (nama bulan ke-10 tahun Saka).
15 Penulisan seruan ritual ini (Skt. o ) kurang jelas.
16 Skt. Jyai ha (nama bulan ke-11 tahun Saka).
17 Skt. tithi (satu hari).
18 Skt. k®ßøapakßa, hari ke-15.
19 Skt. ¢ri = gelar kerajaan, “yang mulia”.
20 Skt. mahåsena = panglima besar.
21 Vokalnya kurang jelas, mungkin bukan a melainkan i.
22 Teks kurang jelas, ada rekan pakar yang membaca re, ada juga yang membaca ga.
66
4. pda dipatiña yaˆ su raˆ su raˆ ......28
baraˆ tida °ida pda dipati , dwa ta:
hil¬ sapaha: dandaña // sadaˆ
paˆhuluña baha:wumman¬ tyada
ya ma:nurunni , tyada ya ma:nu /ru\ i
pa:ha:wumman¬ , ma: ada raka ka
lahi: , didanda sata:hi:l¬ sa:[pa]
peda dipati-ña ya s[a]-ura s[a]-ura [....]
bara tida ida peda dipati, dua tahil sa-paha
danda29-ña · sada pa hulu-ña bahawumman
tiyada iya manurunni, tiyada iya manurun[n]i
pahawumman, ma ada rakah kalahi, didanda
sa-tahil sa-pa-
5. ha: // jaka balawanna ka:dwa sama:
kadanda ka:dwa // punara:pi jaka ma
annaka judi ja:hi: , yang °adu ma:....30
## danda satahilsa:paha: yaˆ ba
judi kadanda satahi:lsa:paha:: su
raˆ suraˆ , gagga rabuttirampassi31 ma:
la:wan¬ ma: unuskarris¬ ..... tu
mbakbunu: / ma:ti bala[ña]32 [da:] ka
-ha · jaka balawannan kaduwa sama kadanda
kadwa · punarapi jaka ma ennakan judi jahi,
yang adu ma[...] danda sa-tahil sa-paha, ya
bajudi kadanda sa-tahil sa-paha s[a]-ura
s[a]-ura , geggah rabutti rampassi malawan
ma unus kerris [.....] tumbak bunuh; mati
bala[ña] da ka
6. da dusunnuraˆ dunu#ˆ an¬33 [b]rati
maliˆ mañamun¬ dyaˆka/tka\ nuraˆ
mana:gi marusak¬ ruma ..34 °u
raˆ maliˆ rusu caˆ kal¬ °itu pa[ ]
banwaka ¬ , saˆ gabumikan¬ buna
°anak¬ña t ñata panjiˆ ka dalam¬
saparu lawandipati , yaˆ dunuˆ anña
didanda dwa tahi:lsa:paha: // pu
da dusun-n-ura dunu an [b]erati mali
mañamun diya katkan-n-ura managih
marusak rumah ura mali rusuh ce kal itu
pabenuwakan, se gabumikan bunah35 anakña
tereñata panji ka dalam saparu lawan
dipati, yang dunu an-ña didanda duwa tahil
sa-paha · pu-
23 Ada dua aksara amat samar, yang pertama dapat diduga-duga ka, yang kedua bagi beberapa rekan pun masih terbaca ra.
24 Aksara yang dibaca ja di awal urutan ini oleh sebagian rekan pakar dibaca da.
25 Boleh jadi perlu dibaca kemmettin apabila vokal terakhirnya bukan a melainkan i. Oleh karena -in itu bukan akhiran, maka
konsonan ganda -tt- bukan akibat adanya akhiran, melainkan semata menjadi pertanda bahwa “a” harus dibaca e (pepet).
26 Skt. maø∂alika (berkaitan dengan daerah tundukan).
27 Vokal dalam suku kata pertama dianggap pepet karena kata yang sama di tempat lain ditulis dengan konsonan ganda -nn- di
belakang vokal tersebut (halaman 11, baris 2; hal. 27, b. 6; hal. 28, b.-b. 2-3).
28 Ada bagian yang sangat samar sehingga tiada terbaca, lebarnya kira-kira sampai tiga aksara.
29 Skt. daø∂a, denda, hukum.
30 Seakannya termaktub ka atau ga.
31 Pasangan s tercantum tidak di bawah, melainkan di belakang aksara sa, dan agak canggung cara menulisnya, sehingga
sandangan wulu untuk vokalisasi -i yang di atasnya pun agak beda bentuknya.
32 Cara penulisan aksara ña agak lain sendiri.
33 Sandangan suku pada aksara na (membuatnya menjadi nu) dan begitu pun aksara a sangat samar; selain tanda cecak di
sebelah kanan atas dari aksara nu (na dengan suku) terdapat cemaran kecil.
34 Ada tanda yang kurang jelas.
35 Baca bunuh.
67
7. narapi jaka °uraˆ ma:magat¬ pa°u
cap¬ wuraˆ dipirak¬ña °uli °uraˆ
°uraˆ yaˆ mamagat¬ , didanda satahi
l¬ pa:ha: // · // punarapi baraˆ ma u
ba sukattan¬ gantaˆ cupak¬ , ka:
tiya ¬ , kund bu ka/l¬\piha:yu
didanda satahil¬ sa ha: // baraˆ
ma:nu gu °uraˆ tida ta °amit¬
-narapi36 jaka ura mamagat paucap-w-ura
dipirak-ña ulih ura ura ya mamagat,
didanda sa-tahil [sa-] paha · punarapi bara
ma ubah sukattan ganta cupak, katiyan,
kunder[i] bu kal pihayu didanda sa-tahil sa-
[pa]ha37 · bara manu gu ura tida ta amit
8. # pda paˆhuluña °uraˆ yaˆ di:tuˆgu
maˆ°adaka ¬ ran¬/ña \ baribin¬ di
danda satahil¬ sapaha: , yaˆ
ma:ñuru pwan¬ samadanda aˆ[..wa]...38
raˆ ma:magaˆ °uraˆ tandaˆ barta ma:hu:
lukanjudi jadi sabuˆ ma:liˆ , ba
raˆ ma:ma:gaˆ didanda satahil¬ sa
peda pa huluña ura ya ditu gu ma adakan
renñah baribin didanda sa-tahil sa-paha, ya
mañuruh puwan sama danda na [..wa]
[ba]ra mamaga ura tanda bartah
mahulukan judi jadi sabu mali , bara
mamaga didanda sa-tahil sa-
9. paha: // · // baraˆ °uraˆ na:yikka:
ruma °uraˆ tida ya barsarru barku
wat¬ barsulu , bu u saˆ gaˆbu
mi:ka ¬ sala ta °uli ma:mu:
nu saˆ gabumikan¬ °uli dipa:
ti barampat¬ suku , sa:busu:
kma mamunu sabusu:ktida
paha ·· bara ura nayik ka rumah ura tida
iya barserru barekuwat baresuluh, bunuh
se ga bumikan39 salah ta ulih mamunuh
se gabumikan ulih dipati barampat suku,
sabusuk ma-40 mamunuh sabusuk tida
10. ma:muu // · // maliˆ kambiˆ , ma
liˆ babi danda sapulu mas¬ // ma:
liˆ ## °anjiˆ lima # mas¬ °anjiˆ ba
saja , maliˆ °anjiˆ ma:wu sapulu
mas¬ °anjiˆ dipati pwan¬ sakya
n¬ // °anjiˆ ra:ja sata:hil¬
sapa:ha: // ma: # liˆ ha:yam¬ sa:
mamunuh ·· mali kambi , mali babi danda
sa-puluh mas · mali anji lima mas, anji
basaja, mali anji mawu sa-puluh mas anji
dipati puwan sa-kiyan · anji raja sa-tahil sapaha
· mali hayam sa-
11. haya °uraˆ , bagi °aspulaˆ duwa //
ha:yam¬ ban¬nwa sikurpulaˆ tiga //
ha:yamkutra bagi sikurpulaˆ lima //
-haya ura , bagi as42 pula duwa · hayam
bennuwa s[a]-ikur pula tiga · hayam kutera
bagi s[a]-ikur pula lima · hayam dipati, ayam
36 Skt. punar api, lagi pula
37 Rupanya katib alpa, ada aksara pa terlangkau.
38 Sebagian rekan pakar membaca ba yang samar di tempat ini.
39 Tanda cecak (penulis bunyi sengau ) di muka -bu- rupanya kekeliruan katib, sehingga mestinya dibaca se gabumikan,
seperti yang termaktub pada baris berikut.
40 Suku kata ma- berlebihan, rupanya kekeliruan katib.
68
ha:yamdipati , °ayam¬ °anak¬
cucu dipa:ti bagi si/ku\ pulaˆ tuju //
ha:yam¬ ra:ja ba ## gi sa pulaˆ dwa
kali tuju // ha:/y\am¬ banwa lim¬41
anak cucu dipati bagi s[a]-iku[r]43 pula tujuh
· hayam raja bagi sa44 pula duwa kali tujuh ·
hayam benuwa lim[a]
12. kupaˆ , hayam pu\la /manikal¬ //
ha:yamgutra taˆ ah tig:a mas¬ //
ha:yam¬ anak¬ cucu dipati , ha:
yamdipa:ti lima: mas¬ // ha:ya
m¬ ra:ja sapulu mas¬ // baraˆ ma
iwat¬ °uraˆ , da dandaña satahi
lsa:paha: , °uraˆ pulaˆ sarupa:ña //
kupa , hayam pula manikal · hayam gutera
te ah tiga mas · hayam-n-anak cucu dipati
hayam dipati lima mas · hayam raja sa-puluh
mas · bara ma iwat ura , da45 danda-ña satahil
sa-paha, ura pula sa-rupa-ña ·
13. ja:ka °uraˆ tandaˆ baja:la basaja:
bawa minam makan¬ la:luka ¬ // ba
raˆ syapa °uraˆ mambawa °at¬ña pa:
njalak¬ pasugu hi ha:ntar tati dusun
¬ , pakamitkan¬ °ulih °uraˆ pu
ña dusun¬ // maliˆ tuwak¬ di data
sdi bawa , didanda lima: ma:s¬ //
jaka ura tanda bajalan basaja bawa
minam46 makan lalukan · bara siyapa ura
mambawa atña panjalak pasuguhhi hantar
tati dusun, pakamitkan ulih ura puña dusun ·
mali tuwak di datas47 di bawah, didanda
lima mas ·
14. ma:liˆ bu:bu , bubu ditimbunni...48 pa
di sipanu ña , jaka tida tarisi ....49
lima: masdandaña // baraˆ ma:...uba...
pañcawida , didanda lima ta:hil¬
sapaha: // baraˆ bahilaˆ °uraˆ ma:ta
karja yaˆ purwa , sa:kati lima danda
ña // .. // barbu50 // baraˆ syapa: ba
mali bubu, bubu ditimbunni [...] padi sipanuh-
ña, jaka tida tarisi [...] lima mas
danda-ña · bara ma[ ]uba[h]51 pañcawida,
didanda lima tahil sa-paha · bara bahila
ura mata kareja ya purewa, sa-kati lima
danda-ña ·· barebu · bara siyapa ba-
41 Kiranya apa yang seakannya tanda patèn pada aksara ma-itu sekadar tanda danda yang terlalu panjang, sehingga yang
bermaksud ditulis di sini bukan “lim¬” melainkan “lima:”.
42 Mungkin perlu dibaca esa. Perlu dicatat bahwa aksara khusus untuk menulis “°e” tidak ada. Ternyata, katib satu kali menulis“
°as” (di sini) dan satu kali “ sa” (pada baris 6 halaman yang sama).
43 Setelah menyisipkan ku dari bawah, katib rupanya lupa bahwa masih kurang r.
44 Mungkin perlu dibaca esa (lihat keterangan terdahulu).
45 Kealpaan katib: suku kata pertama ditulis ulang.
46 Kiranya kealpaan katib, mestinya dibaca minum.
47 Kata datas dengan d- di awalnya ini, walaupun berarti ‘atas’ kiranya bukan akibat keliru menulis, karena terulang kembali
pada halaman 27, baris 4.
48 Kurang jelas, mungkin ada aksara yang tidak selesai penulisannya, tetapi juga tidak dicoret oleh katib.
49 Mungkin ga atau ta yang ditulis secara gegabah, tetapi dari kedua bacaan dugaan ini tak ada yang cocok dengan konteks
sekitarnya.
50 Kealpaan katib: terlalu pagi mulai menulis kata barbuñi (baca barebuñi) yang kemudian dimulai kembali pada akhir baris
(serta awal halaman berikut).
51 Bacaan yang diduga, karena penulisannya sangat tidak jelas.
69
15. rbuñi dusa saˆkita, danda dwa ta:
hil¬ sapaha: // ma:liˆ tapbu dipi
kul¬ dijujuˆ diga:las¬ , lima ku
paˆ dandaña // ja:ka: dimakandipaha/lu\52
ñña tanamanña tanamkan/..\..53 saba
taˆ di kiri sabataˆ dika[ ]a dikapi
t¬ , digaˆ gam¬ sabataˆ di kiri
-rebuñi dusa sa kita, danda duwa tahil sapaha
· mali tepbu dipikul dijuju digalas,
lima kupa danda-ña · jaka dimakan
dipahalu-ñ-ña tanaman-ña tanamkan[...] sabata
di kiri sa-bata di kanan dikapit,
dige gam sa-bata di kiri
16. sa:bataˆ di ka: an¬ #54 dibawa pula
ˆ tida dusa: ña ma:kantabu °ita
ma:liˆ bira , kaladi , hubi , tuba
dipaha:mba dwa pulu dwa la:pa ha:ri,
tida handakdipaha:mba , lima: mas¬
danda ña // ma:liˆ bu a siri pinaˆ °uraˆ
°atawa sasa iña , dwa pulu dwa lapa na:
sa-bata di kanan dibawa pula tida dusa-ña
makan tebu55 ita56 mali birah, kaladi, hubi,
tuba dipahamba duwa puluh duwa lapan hari,
tida handak dipahamba, lima mas danda-ña ·
mali bu a sirih pina ura atawa sasa i-ña,
duwa puluh duwa lapan-n-[h]a-
17. ri dapaha:mba , tida ha:ndakdipa:ha:
[m]ba lima: masdandaña // ma:liˆ pa:di sata:
hil¬ sapa:ha: dandaña // maliˆ hubi
bajunjuˆ an¬ lima kupaˆ , yaˆ tida bajunjuˆ
an¬ lima mas¬ dandaña // ma:li[ˆ]57 tallu
r¬ ha:yam¬ , °itik¬ prapati ditambu
ktuju tumbuk¬ lima tumbuk¬ °uraˆ ma:
-ri dapahamba58, tida handak dipahamba lima
mas danda-ña · mali padi sa-tahil sa-paha
danda-ña · mali hubi bajunju an lima
kupa , ya tida bajunju an lima mas dandaña
· mali[ ] tellur hayam, itik perapati
ditambuk59 tujuh tumbuk lima tumbuk ura
ma-
52 Suku kata lu (aksara la dengan sandangan suku) termaktub di bawah -pa-, tetapi di belakang -ha terdapat isyarat tempat
penyisipan yang serupa huruf V. Perlu dicatat bahwa aksara la (yang dengan suku) itu berbentuk lengkap, tidak seperti lapasangan,
sehingga tak dapat juga dibaca dipluha.
53 Di tempat ini tertera sejumlah tanda-tanda tidak terbacakan, termasuk goresan berkeluk yang ditempatkan bagaikan pasangan
pada aksara na.
54 Ada bekas aksara da, rupanya terlupa oleh katib yang lalu memulai kembali aksara tersebut akan menulis kata dibawa.
55 Dibaca dengan pepet, karena pada halaman 15, baris 2, dalam penulisan kata ini terdapat semacam ‘penggandaan’ -bb- di
belakangnya, yang ditulis -pb-, rupanya karena bunyi-detus bersuara pada akhir suku kata diucapkan tak bersuara..
56 Baca itu.
57 Tanda cecak sangat samar.
58 Baca dipahamba.
59 Baca ditumbuk.
70
18. na: a °i , dwa tumbuktuha:nña..mukaña60
dihusap¬ da antahi ha:yam¬ .. ti[da]61 ta
risi sakyantaˆ a tiga mas¬ dandaña //
ma:liˆ °isi jarrat , °anjiˆ sikurya piso
ra:wut¬ saha:lay , dandaña // ma:liˆ
pulut¬ °isi pulut¬ , laˆ a sata:pay
yan¬ dandaña , tida tarisi , taˆ a tiga:
-na ah[h]i, duwa tumbuk tuhan-ña muka-ña
dihusap da an tahi hayam tida tarisi sa-kiyan
te ah tiga mas danda-ña · mali isi jerrat,
anji s[a]-ikur iya piso rawut sa-halay,
danda-ña · mali pulut isi pulut, le a satapayyan
danda-ña, tida tarisi, te ah tiga
19. mas¬ dandaña // ma:liˆ ka:yin¬ , ba
bat¬ ba:ju , distar¬ pa:ri rupaña,
sapulu ma:sdandaña // maliˆ basi
baba:jan¬ lima: masdandaña // maliˆ
kuraysa:ni lima mas¬ // mali la , 62
baja tupaˆ , sapulu masdandaña , ti
da tarisi dibunu // °uraˆ maru
mas danda-ña · mali kayin, babat baju distar
pari rupa-ña, sa-puluh mas danda-ña · mali
basi babajan lima mas danda-ña · mali
kuraysani lima mas · mali[ ] [...] baja tupa ,
sa-puluh mas danda-ña, tida tarisi dibunuh ·
ura maru-
20. gul¬ /si\dandaña // °uraˆ mara:gaˆ dwa ta
hi:l¬ sapaha: , tida tarisi sakya
n¬ dibunu // ma:liˆ ha:mpaˆ an¬
tuwak¬ sapa:ra °udaˆ sadulaˆ ti/ha \ su
ku sikur¬ babi hu:tan¬ sikuñ[ñ]a ,
tida tarisi sakyan¬ /sa\pulu mas¬
dandaña // ma:liˆ ta:ka:lakpa:nyali-...
-gul si-danda-ña · ura maraga duwa tahil
sa-paha, tida tarisi sa-kiyan dibunuh · mali
hampa an tuwak sa-parah uda sa-dula
tiha suku s[a]-ikur babi hutan s[]ikuñ[ñ]a,63
tida tarisi sa-kiyan sa-puluh mas danda-ña ·
mali takalak pañali-
21. n¬ hijuk¬ , lima # kupaˆ // pañalin¬
ma:no , rutan¬ lima: mas¬ // paña
li ¬ akarsapulu 64 ma:s¬ // maliˆ °a
ntiliˆ an¬ lima mas¬ // ma:liˆ puka
t¬ ja:la , taˆ kul¬ , pa:sap¬ , talla
y¬, gitraˆ , lima masdandaña , ma:mba65
karda o , babina:sa da u: paka:
-n hijuk, lima kupa · pañalin mano, rutan
lima mas · pañalin-n-akar sa-puluh mas ·
mali antili an lima mas · mali pukat jala,
te kul, pasap, tellay, gitera , lima mas
danda-ña, mambakar da o, babinasa da u
paka-
22. raˆ an °uraˆ , babina:sa taltalo
# y¬ , pa a:loy¬ ya nuraˆ , ha:
-ra an ura , babinasa tal-taloy, panaloyyann-
ura , hatap dindi lantay ra o, lima mas
60 Tiga aksara terakhir, selain didahului satu tanda kurtang jelas, tertulis dengan sangat gegabah dan kurang jelas.
61 Tulisan -da sangat samar dan tak jelas. Selain itu mungkin terdapat sesuatu di antara ha:yam¬ dengan ti[da].
62 Tanda cecak yang semestinya di belakang mali tidak kelihatan; pada tempatnya tampak aksara la yang diikuti oleh tanda baca,
yang keduanya tidak cocok ke mana-mana.
63 Kiranya salah tulis, dan perlu dibaca s[e]-ikur-ña.
64 Dari kedua aksara yang berdampingan, yang pertamanya disertai tanda patèn yang berlebihan, karena aksara yang kedua
tertulis sambung, sehingga berfungsi sebagai pasangan.
65 Tulisan b-pasangan agak kurang jelas.
71
tapdindiˆ lantay ra: o, lima masdanda
ña // pu ara:pi jaka bahu:taˆ mas¬
pirak¬ riti ra:ncuˆ kaˆ a tambaga , si
la:maña batiga puhu:n¬ // si ga ¬
sapa:ha a:yik¬ mas¬ manikal¬ //
ja:ka bahu:taˆ barraspa:di , ja:wa , ja:
danda-ña · punarapi jaka bahuta mas pirak
riti rancu ka sa tambaga, si-lama-ña batiga
puhun · si gan sa-paha nayik mas manikal ·
jaka bahuta berras padi, jawa, ja-
23. guˆ , ha:njalay, dwa tahu: katiga ja
mba barruk , labi dwa ta:hunkatiga
hi ga ¬ ña ma:nikal¬ // pu:nara:pi
ja # ka °uraˆ mamba:wa para:hu:raˆ , ti
da disallaˆña , hi:laˆ paca binasa ,
dwa masdandaña // jaka ya disallaˆ [pa]s#a , 66
hilaˆ ta # ya pa:ca bina:sa saraga
-gu , hanjalay, duwa tahun katiga jamba
berruk, labih duwa tahun katiga hi gan-ña
manikal · punarapi jaka ura mambawa
parahu[-u]ra ,67 tida disella -ña, hila pacah
binasa, duwa mas dandanya · jaka iya
disella [pasa ?], hila ta iya pacah binasa
saraga-
24. ña bayirbali , jaka tida sili[ ]hi
sa:rupa:ña // tida [?/si\?]yaˆ###
liwatdari janjaˆ , tuwaksatapay¬pa68
n¬ ha:yamsikur¬ kapulaˆ an¬ña //
bidukpa: ayu gala , ka:jaˆ la:
ntay pulaˆ an¬ , °itu pwa ¬ sakya-
¬ rak aña // pu arapi /ja\ka °uraˆ
-ña bayir bali, jaka tida silihhi sa-rupa-ña ·
tida [?si?]ya .... liwat dari janja , tuwak satapay[
ya?]n hayam s[a]-ikur kapula an-ña ·
biduk pa ayuh galah, kaja lantay pula an,
itu puwan sakiyan rakna-ña · punarapi jaka
ura
25. tudu manudu , tida saksiña, ti
da cina tandaña , °adu sabuˆ , baraˆ
tida ha:ndaksabuˆ diyala kan¬ //
pu:nara:pi jaka °uraˆ ma:bukpa:n¬
niˆ sala laˆka sala kata sala ka:
ka:kappan¬ , ma:mbayirsapat¬ sica:
ra purwa // pu ara:pi ja:ka °uraˆ ba
tuduh-manuduh, tida saksi-ña, tida cina
tanda-ña, adu sabu , bara tida handak
sabu diyalahkan · punarapi jaka ura mabuk
penni salah la kah salah kata salah ka69
kakappan, mambayir sapat si-cara purewa ·
punarapi jaka ura ba-
26. dusa: saˆkita hi:ram¬ talli nya,
ballumta suda pda dati , dapatta ¬
ta °uli jaja:naˆ , kan¬/na\ danda samu#
-dusa sa kita hiram tellih-ña, bellum ta suda
peda d[ip]ati,71 dapattan ta ulih jajana ,
kenna danda samu[ ]wan duwa kali sa-paha,
66 Bacaan pa kurang pasti; selain itu di atas aksara sa terdapat tanda yang tidak terbacakan.
67 Baca parahu ura .
68 Aksara pa pertama daripada kedua aksara pa pada akhir baris itu membawa kombinasi dua tanda yang tidak mungkin, yaitu
sekaligus tanda taling rangkap di sebelah kirinya (merupakan tanda vokalisasi untuk diftong -ay), dan tanda patèn di sebelah
kanannya (pembatalan vokalisasi)). Ini jelas kealpaan katib, dan kata yang maksudnya ditulis itu kiranya tapayyan yang
termaktub juga pada halaman 18, baris-baris 6-7. Kemungkinan lain, apabila tanda patèn itu dianggap tanda tarung yang
terlalu diperpanjang ke bawah, sedangkan kombinasi taling-tarung merupakan tanda vokalisasi untuk -o, maka bacaannya
tapopan. Tetapi kata demikian tidak dikenal.
69 Kegegabahan katib, menulis aksara ka- berlebihan satu.
72
wa dwa70 ## ka:li sapaha , sapa:ha#
ka dalam¬ , sapa:ha: pda jaja:naˆ #
lawa dipa:ti // dipagat¬ °uli ma
nt muda di luwar¬ hi ga taˆ ah tiga:
sa-paha ka dalam, sa-paha peda jajana
lawan dipati · dipagat ulih manter[i] muda di
luwar hi gan te ah tiga
27. ma:s¬ tida jaja: aˆ dipa:ti baruli
// jaka barala ha:nlima massa:mas¬ pa
ruli ha: dipa:ti // hi ga sapulu ma:
ska: datas¬ batahi:#lla ¬ , dwa ma
spa:ruli handipa:ti // pu ..arapi72 pda
ban¬ wa # // pda saha[:]ya73 , sapulu ta:ˆ
a ti#ga: mas¬ sipattañña , sapu
mas tida jajana dipati barulih · jaka
baralahhan lima mas sa-mas parulihhan
dipati · hi gan sa-puluh mas ka datas
batahillan, duwa mas parulihhan dipati ·
punarapi peda bennuwa · peda sahaya, sapuluh
te ah tiga mas si-pattañña, sa-pu-
28. lu maspda:74 ### di[ ]#ti taˆ a tiga
maspda °uraˆ puña °[a]nak¬ 75 // ban¬
nwa ja:ka ya bapu u[...]n¬ha ak¬76
ña , dipa:ti dipa:ˆ gil¬ dahulu
bakarja pda di/pati\### , jaka dipa:ti ku
diyan¬ °uli bakajaka ¬hana
k¬ didusaka ¬ # sakyanta buñi
-luh mas peda di[pa]ti te ah tiga mas peda
ura puña anak · bennuwa jaka iya
bapu u[tka]n hanak-ña, dipati dipe gil
dahulu bakareja peda dipati, jaka dipati
kudiyan ulih bakajakan hanak didusakan sakiyan
ta buñi-
29. ña atña tita ma:ha:ra:ja dra
mmasara:ya // yatna yatna sidaˆ ma:
ha:t¬ mya sa°isi bumi kuri ci ,
si lunju kuri ci // · samasta li
kitaˆ ## kuja °ali dipa:ti , di
wasè/ba ¬\ di bumi palimbaˆ , di ha:
dappanpa:duka sri ma:/ha:\raja dra
-ña atña titah maharaja daremmaseraya77 ·
yatna-yatna78 sida mahatmiya sa-isi bumi
kurinci, si-lunju kurinci · samasta likita kuja
ali dipati, di wasèban di bumi palimba , di
hadappan paduka seri maharaja dare-
70 Gabungan tiga konsonan + d + w berupa aksara dengan dua pasangan.
71 Kealpaan katib: tertera dati, maksudnya kiranya dipati.
72 Di bawah aksara a dalam kata pu arapi terdapat pasangan yang tidak terbacakan.
73 Karena daluangnya berlubang, maka antara saha dan ya ada luangan yang tidak cukup lebar untuk muat aksara tertentu, tetapi
cukup lebar untuk menempati tanda danda.
74 Gabungan tiga konsonan s + p + d berupa aksara dengan dua pasangan, terdapat sekali lagi pada baris berikut.
75 Bagian sebelah kanan daripada aksara °a “tertelan” oleh lubang dalam daluang, sehingga menjadi mirip dengan aksara °u.
76 Terdapat bagian yang hilang, yang kira-kira selebar pasangan tk[a] apabila ditulis berdampingan (ka bukan di bawah,
melainkan di sebelah kanan ta).
77 Skt. dharmå¢raya, “yang mencari perlindungan pada hukum yang suci”. Tertulis “drammasaraya” yang menunjuk kepada
adanya vokal a antara s dengan r, tetapi cara penulisan tandingan berupa “drammasraya” pada akhir halaman 29 dan awal
halaman 30 menunjukkan bahwa vokal sesungguhnya pada tempat tersebut itu mestinya pepet. Yang dimaksud, tentunya, tak
lain daripada Skt. Dharmasraya (nama kerajaan di Malayu-Jambi).
78 Skt. yatna, perhatian,
73
30. mmasraya //∞//··// bari79 sala
siliña , suwasta °uli sidaˆ ma:
ha:t¬ mya: sa:mapta //∞//
// pra#na mya: diwaˆ risa: maléswaraˆ //
°Au.. // pranamya risa diwa#m¬ , t lu:
kya dipa:ti stutim¬ , a: asattru
mmaseraya ~·· bari salah sili[h]-ña, suwasta
ulih sida mahatmiya samapta ~ ·
pranemiya80 diwa 81 serisa82 [a]maléswara 83
· “aum”84 · pranemiya serisa diwam,
ter[i]lukyadipati85 stutim, nana-setteru86
31. d taˆ wakitnitri satra samuksaya
m¬//··/∞// //# pranam¬mya
a:ma , tundukra87 ma:ñamba , sirsa na ka:
pa:la , diwa nama di/wa\ta , t na:ma su
rga madya prata:la , dipati a:ma la:
bi d ri pa:da sa:kal¬ # liya ¬ ,
na a a:ma: bañak¬ , d taˆ a:
dereta wak[eti] nitri satra-samuksayam88 ·· ~
; pranemmiya nama, tunduk mañambah, sirsa
na[ma] kapala, diwa nama diwata, terenama
surega madiya paretala,89 dipati nama labih
derri peda90 sa-kelliyan, nana nama bañak,
dereta na-
32. ma: yaˆ dika:taka ¬ , satra a:
ma yaˆ satra , sa:muk¬sayamnama
sarba sakalliya ¬ //∞// · //
°i # ni saluka dipa:ti //
-ma ya dikatakan, satra nama ya satra,
samuksayam nama sarba sa-kelliyan ~ · ini
saluka dipati ;
79 Tanda wulu yang menuliskan vokal -i ini agak lain sendiri bentuk dan letaknya.
80 Kata yang tertulis “ pranamya ” di sini dan juga pada baris berikut kami baca dengan vokal pepet e di muka m, karena kata
yang sama ini pun tertulis dangan penggandaan mm pada baris 2 halaman 31.
81 Skt. dewa ‘tuhan’; pada baris berikut ditulis “diwam”.
82 Terulang lagi pada baris berikut, keduanya harus dibaca siresa, sebagaimana termaktub pada halaman 31, baris 3;
mencerminkan kata Sansekerta r a ‘kepala’.
83 Kiranya Skt. a-mala + vara ‘tak-bercela + tuan’. Bunyi-awal a- rupanya terfusi bersama bunyi-akhir -a daripada kata yang
mendahului.
84 Cara penulisan seruan ritual ini (Skt. au ) kurang jelas .
85 Skt. trilokyadhipati ‘penguasa ketiga dunia’.
86 Skt. n n ‘banyak’ dan atru ‘musuh’.
87 Maksudnya tunduk¬; pada yang mana tanda patèn terlalu diperpanjang sampai serupa cakra.
88 Skt. dh ta ‘kokoh tiada dapat dipungkiri’, v kit ‘yang berbicara’, net ‘pemimpin’, k atra ‘satria, hulubalang’,
samuccaya ‘segalanya bersama’.
89 Skt. svarga ‘surga’, madhya ‘tengah, pusat’, p t la ‘bawah-tanah’.
90 Di sini pun kiranya perlu dibaca peda, karena di bagian selainnya ditulis “pda”.
Oleh karena transliterasi yang tercantum di
atas agak sukar dibaca, maka berikut ini kami
sajikan transliterasi yang disederhanakan
untuk memudahkan pembacaan, dan sekaligus
juga agar transliterasi yang ada di halaman
kiri dapat segera dibandingkan dengan
terjemahan yang terdapat di halaman sebelah
kanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, teks
asli disesuaikan sedemikian rupa sehingga
mudah dibaca oleh penutur bahasa Melayu/Indonesia
yang bukan ahli bahasa.
Di sisi yang lain kami juga berusaha
sedapatnya mempertahankan jati diri teks asli,
khususnya bila ada kata yang ejaannya hanya
berbeda sedikit dengan ejaan yang kini
berlaku.
Dalam teks naskah terdapat sejumlah kata
yang dieja dengan vokal u, akan tetapi
kini biasa dieja o atau au: urang (orang),
ulih (oleh), dusa (dosa), marugul (merogol),
rutan (rotan), dangu (dangau), saluka
(seloka), dan piso (pisau). Selain itu terdapat
perbedaan ejaan vokal i yang kini menjadi e,
misalnya dalam kata pirak (perak) dan ulih
(oleh). Perbedaan ejaan juga terdapat dalam
kata jaka (jika), puan (pun), derri (dari).
Dalam semua hal ini ejaan asli tetap dipertahankan.
Dalam abjad Malayu dan banyak abjad
Nusantara lainnya aksara ha pada awal kata
digunakan baik bila kata itu benar bermula
dengan ha maupun bila sekadar bermula
dengan a. Dalam penggunaan aksara ha tidak
selalu jelas apakah lafal pada masa naskah
ditulis itu a ataukah ha, sehingga kami
putuskan untuk selalu mencantumkan h pada
awal kata seperti hubi (ubi), hijuk (ijuk), dan
hayam (ayam).
Ejaan asli juga dipertahankan dalam hal
vokal a yang tidak diikuti konsonan ganda,
kendatipun dalam bahasa Melayu-Indonesia
kini kerap dieja dan dilafal dengan e-pepet:
ampat (empat), danda (denda), panuh
(penuh), kaladi (keladi), basi (besi), tambaga
(tembaga), pacah (pecah), handak (hendak),
dan kapala (kepala) serta awalan sa- (se-), ka
(ke-), ba- dan bar- (ber-), ma- (me-), dan tar-
(ter-). Karena cara penulisan di naskah mengisyaratkan
pelafalan a maka kami pertahankan
ejaan dengan menggunakan vokal a dan
bukan e-pepet walaupun terdapat kemungkinan
bahwa sebagian atau malah semua kata
tersebut pada waktu penulisan naskah dilafal
dengan e-pepet.
Apabila awalan sa- berasimilasi dengan
kata dasarnya sebagaimana halnya dalam kata
surang (seorang) dan sikur (seekor) maka
ejaan kami ubah menjadi s[a]urang, dan
s[a]ikur dengan menempatkan huruf a yang
ditambah dalam kurung persegi.
Kata-kata serta awalan yang disebut di atas
yang ditulis dengan vokal a tidak dapat
dipastikan apakah lafalnya memang demikian,
karena dalam abjad Malayu tidak terdapat
aksara atau tanda sandangan untuk menandai
e-pepet. Untuk mengatasi kekurangan tersebut
penulis naskah menggunakan berbagai cara
untuk menuliskan vokal e-pepet.
Cara yang paling lazim ialah dengan
menulis a sambil menggandakan konsonan
berikut. Dengan demikian kata keris ditulis
karris dan beras ditulis barras. Dalam transliterasi
berikut ejaan yang kami gunakan
sesuai dengan lafal, yaitu kami tulis keris dan
beras dengan konsonan tunggal (artinya,
penggandaan konsonan dalam tulisan asli
kami anggap sekadar isyarat untuk menunjukkan
bahwa vokal a yang mendahuluinya itu
75
dibaca e-pepet).
Pada satu kata dalam naskah, konsonan
ganda yang mestinya -bb- ditulis -pb-, yaitu
dalam kata []tapbu (mungkin untuk mencegah
adanya bunyi dentum bersuara b pada akhir
sukukata). Ini pun dalam ejaan transliterasi
berikut menjadi tebu.
Dalam beberapa hal katib alpa
menggandakan konsonan, misalnya kata
benua ditulis baik dengan konsonan ganda
maupun tanpa konsonan ganda. Dalam hal ini
ejaan diseragamkan menjadi benua.
Dalam teks naskah terdapat beberapa kata
yang ditulis dengan konsonan ganda sehingga
harus dibaca dengan pepet. Misalnya kata
gagah ditulis gaggah sehingga harus dibaca
gegah. Di sinipun kami mempertahankan
pengejaan dengan e-pepet, walaupun kelihatan
agak canggung apabila dibandingkan dengan
ejaan yang lazim, misalnya: penggil
(panggil) dan sakelian (sekalian).
Cara lain yang mengisyaratkan bahwa kata
tertentu dilafal dengan e-pepet ialah dengan
pasangan dua konsonan yang tidak biasa
bertemu dalam satu kata, apalagi pada awal
kata. Misalnya aksara pa yang disusuli
pasangan da sehingga menjadi pda. Karena
pertemuan dua bunyi dentum demikian dalam
bahasa Melayu tidak mungkin, jelaslah bahwa
pembacaan benarnya itu peda (meskipun
dalam bahasa Melayu-Indonesia kini kata
tersebut dilafal pada).
Selain cara yang tersebut di atas masih
terdapat dua cara untuk menulis vokal e-pepet
pada abjad Malayu, yang menyangkut penggunaan
sandangan cakra dan sandangan keret.
Rupanya, ini satu kekhususan daripada cara
melafal kata-kata asal Sansekerta dalam bahasa
Melayu lama, yaitu dengan menyisipkan
bunyi e-pepet pada pertemuan bunyi r dengan
konsonan lain.
Misalnya, kata sri yang ditulis dengan
sandangan cakra lazim dilafal seri. Akibatnya,
para katib rupanya menganggap cakra itu
sebagai sandangan bukan untuk menulis –r–,
melainkan untuk menulis –er– (dengan epepet).
Dalam pada itu, vokal yang di
belakang –er– itu (dalam hal ini i) ditunjukkan
oleh sandangan vokal (di sini wulu) pada
aksara dasar (di sini s).
Rupanya, pemakaian sandangan cakra ini
tidak begitu teliti dalam hal letak kedua vokal,
sehingga bisa terbalik. Kata Sansekerta ¢Δrßa
pada halaman 30 ditulis serisa (dengan aksara
sa yang dilengkapi dengan sandangan cakra
dan sandangan wulu), sedangkan pada halaman
31 ditulis siresa (dengan pasangan aksara
ra dan sa di tengah kata, yang kami sisipi epepet).
Dengan demikian timbul kesan bahwa
katib menganggap menulis serisa dan siresa
itu sama saja.
Mengingat, bahwa kata tersebut asalnya
sirsa (atau siresa setelah pemisahan pasangan
konsonan dengan menyisipkan e-pepet), maka
dapat disimpulkan bahwa dalam pemakaian
cakra, e-pepet dan vokal tambahan itu dapat
bertukaran tempat, dan orang dapat membaca
–erV ataupun –Vre (V = salah satu vokal),
atau tulisan srisa dapat dibaca serisa ataupun
siresa. Tidaklah mengherankan lagi, bahwa
nama Dharmasraya ditulis sekali
drammasaraya, sekali drammasraya, yang
keduanya kiranya perlu dibaca daremaseraya.
Dalam hal ini, aksara da yang disandangi
cakra itu tidak dibaca dera, melainkan dare,
apalagi karena ma yang di belakangnya itu
ganda (pertanda vokal yang mendahuluinya
76
itu e-pepet).
Ketidaktentuan vokal lain terdapat pada
pemakaian sandangan keret, yang dalam
bahasa Sansekerta diperuntuk menulis bunyi ®
(bunyi r yang berfungsi sebagai asas vokal
sukukata), dalam naskah Tanjung Tanah
rupanya dipakai untuk menulis –erV– (V =
salah satu vokal). Contohnya, ada kata ditulis
mant®, yang kami baca manteri (dalam hal ini,
V = i). Sedangkan yang ditulis t®ñata kami
baca terenyata.
Diftong ai dalam naskah tetap dieja ay:
sahalay (sehelai), telay (telai), lantay (lantai),
hanjalay (anjalai). Tetapi untuk memudahkan
pembacaan teks maka apabila letaknya pada
akhir kata kami tulis –ai sesuai ejaan bahasa
Melayu-Indonesia yang sekarang.
Penyesuaian lainnya menyangkut ejaan
huruf w di antara sebuah konsonan dengan a,
begitu pun huruf y di antara sebuah konsonan
dengan a. Dalam hal ini huruf w kami ganti
dengan u, dan y diganti dengan i sehingga
dwa kami eja dua, dan tyada dieja tiada.
Tanda baca titik tengah dan tanda
gelombang, begitu pun rangkaian tanda-tanda
tersebut, diganti menjadi titik biasa.
Bagian yang tidak jelas terbaca diganti
dengan tiga titik.
Alih Aksara (2)
Kata Pembuka yang menggunakan ragam bahasa bercampur dengan bahasa Sansekerta
[02] [Aum] [bé?] [...] swasti seri saka[warsa]tita [...]
masa wèsaka.
[.....] Om.
Jyasta masa titi keresnapaksa.
Di wasè[ba]n peduka seri maharaja karetabèsa seri gandawangsa maredana, maga-
[...] sèna [...] karetabèsa [...][.]
[03] Anugeraha atnya sang [hyang] kematan peda mandalika di bumi kurinci silunjur
kurinci maka mahasènapati perapatih sama[...]t parebalang-balangan [...] denga[n] dèsa
helat mahelat di dèsa peradèsa benua sahaya, jangan tida ida [04] peda dipatinya yang
s[a]urang s[a]urang
Teks undang-undang
[...] Barang tida ida peda dipati, dua tahil sapaha dandanya.
sadang panghulunya bahauman tiada ia manuruni, tiada ia manuruni pahauman,
mangada rakah kalahi, didanda satahil sapaha.
[05] Jaka balawanan kadua sama kadanda kadua.
Punarapi jaka mangenakan judi jahi, yang adu ma[...] danda satahil sapaha, yang
bajudi kadanda satahil sapaha s[a]urang s[a]urang, gegah rabuti rampasi malawan
mangunus keris [...] tumbak bunuh; mati bala[nya] [...] [06] dusun urang dunungan
[b]erati maling manyamun diangkatkan urang managih marusak rumah urang maling
rusuh cengkal itu pabenuakan, senggabumikan bunuh anaknya terenyata panjing ka
dalam saparu lawan dipati, yang dunungannya didanda dua tahil sapaha.
[07] Punarapi jaka urang mamagat paucap urang dipiraknya ulih urang-urang yang
mamagat, didanda satahil [sa]paha.
79
Alih Bahasa
Kata Pembuka yang menggunakan ragam bahasa bercampur dengan bahasa Sansekerta
[01] [tidak terbaca]
[02] Oμ. Pada tahun ›aka yang baru lalu, pada bulan Vai¢åkha91.
Oμ. Pada bulan Jyai߆hå92, di fase bulan mati. Di Waseban paduka Sri Maharaja Yang
Menyembuhkan Segala Jenis Racun (?), Yang Lahir Dalam Dinasti Harum, Yang
Pertama Antara Para Pegawai Tinggi dan Panglima, Yang Menyembuhkan Segala Jenis
Racun (?), yang mulia...
[03] Ini anugerah titah Sanghyang Kemitan93 kepada penguasa di Bumi Kerinci
sepanjang Kerinci, beserta hulubalang, para patih, pemuka agama, punggawa, .....,
perkampungan pendatang, desa-desa, daerah bawahan, jangan tidak taat [04] kepada
dipatinya masing-masing.
Teks undang-undang
Barang siapa tidak taat pada dipati didenda dua seperempat tahil.
Bila penghulunya panggil rapat desa dia tidak turun, tidak turun dia ke rapat desa,
memancing keributan, didenda satu seperempat tahil.
[05] Jika berkelahi sama-sama didenda keduanya.
Dan lagi, jika mengenai judi dadu94, yang adu .... didenda satu seperempat tahil, yang
berjudi didenda satu seperempat tahil masing-masing, [bila terjadi] kerusuhan rebutrampas,
melawan, menghunus keris, ...... tombak, bunuh, mati ... ... [06] ... dusun orang
bermukim ..... [bila] maling menyamun yang diangkat oleh pihak penagih merusak
rumah orang, maka maling yang membuat rusuh itu diasingkan, ... bunuh anaknya, ....
lawan dipati tempat pemukimannya didenda dua seperempat tahil.
[07] Dan lagi, jika orang memotong ucapan orang, dan mereka diPIRAK oleh orangorang
yang memotong, dendanya satu [se-]perempat tahil.
91 = bulan Wesaka.
92 = bulan Jyesta.
93 Dalam naskah asli, nama ini kurang jelas terbaca, dan mungkin perlu dibaca Kematan.
94 Rupanya semacam permainan dadu; bandingkan bhs. Besemah jaih, bhs. Serawai jaiah ‘semacam permainan dadu’ (Helfrich,
1904:37).
80
Punarapi barang mangubah sukatan gantang cupak, katian, kunderi bungkal pihayu
didanda satahil sa[pa]ha.
Barang manunggu urang tida ta amit [08] peda panghulunya urang yang ditunggu
mangadakan renyah baribin didanda satahil sapaha, yang manyuruh puan sama danda
... [ba]rang mamagang urang tandang bartah mahulukan judi jadi sabung maling,
barang mamagang didanda satahil sa[09]paha.
Barang urang naik ka rumah urang tida ia barseru barekuat barsuluh, bunuh
senggabumikan salah ta ulih mamunuh senggabumikan ulih dipati barampat suku,
sabusuk mamunuh sabusuk tida [10] mamunuh.
Maling kambing, maling babi danda sapuluh mas.
Maling anjing lima mas, anjing basaja, maling anjing mau sapuluh mas anjing dipati
puan sakian.
Anjing raja satahil sapaha.
Maling hayam sahaya urang, [11] bagi [esa] pulang dua.
Hayam benua s[a]ikur pulang tiga.
Hayam kutera bagi s[a]ikur pulang lima.
Hayam dipati, ayam anak cucu dipati bagi saiku[r] pulang tujuh.
Hayam raja bagi [e]sa pulang dua kali tujuh.
Hayam benua lim[a] [12] kupang, hayam pulang manikal.
Hayam gutera tengah tiga mas.
Hayam anak cucu dipati hayam dipati lima mas.
81
Dan lagi, barang siapa mengubah sukatan gantang95, cupak, katian96, kundir,97
bungkal,98 PIHAYU, didenda satu seperempat tahil.
Barang siapa menampung orang tanpa izin [08] penghulunya, dan orang yang
ditampung itu mengadakan keributan maka ia [=tuan rumah] didenda satu seperempat
tahil, yang menyuruh [=tamu] pun sama dendanya.
Barang siapa menjadi bandar judi JALI,99 dan sabung diam-diam, yang mengadakan
didenda satu seperempat tahil.100 [09]
Barang siapa naik ke rumah orang, tidak berseru, tidak mengayunkan suluh,101 kalau
membunuh ..... ... ..... .... .... ... ... dipati berempat suku.102 ........ ........ ....... ....., [10]
membunuh. 103
Maling kambing, maling babi dendanya sepuluh mas, maling anjing lima mas, kalau
itu anjing biasa; kalau anjing MAWU sepuluh mas, anjing dipati pun sekian.
Anjing raja satu seperempat tahil.
Maling ayam hamba orang, [11] untuk satu kembalikan dua.
Ayam anak negeri, untuk seekor kembalikan tiga.
Ayam KUTRA, untuk seekor kembalikan lima.
Ayam dipati dan ayam anak-cucu dipati, untuk seekor kembalikan tujuh.
Ayam raja, untuk seekor kembalikan dua kali tujuh.
Untuk ayam anak negeri, lima [12] kupang, dan ayamnya dikembalikan dua kali
lipat.
Untuk ayam GUTRA104 dua setengah mas.
Untuk ayam anak-cucu dipati, dan ayam dipati, lima mas.
95 1 gantang = kira-kira 5 kati (sekitar 3kg beras).
96 1 kati = 16 tael.
97 1 kundir = 1/16 mas.
98 1 bungkal = ½ kati.
99 Yang termaktub dalam naskah sebagai judi jali di sini kiranya sama seperti yang disebut judi jahi pada halaman-naskah yang
ke-5.
100 Kalimat ini dalam naskah asli kurang jelas, dan terjemahannya agak bebas.
101 Bandingkan bhs. Besemah [me]ngkuatkan suluh, bhs. Serawai [me]ngkuatkan suloah ‘mengayunkan suluh kian-kemari agar
apinya tambah menyala’ (Helfrich, 1904:83).
102 Menurut Morison (Morison, 1940:11) istilah suku tidak dikenal di Kerinci. Dipati berempat suku yang disebut di sini
mungkin memiliki kaitan dengan Dipati nan Empat yang mengepalai empat mendapo (federasi kampung) yang utama di
Kerinci, yaitu Tamiai, Pulau Sangkar, Pengasih, dan Hiang.
103 Aslinya tidak dapat diartikan dengan sempurna, tetapi kesimpulannya agaknya bahwa apabila ada barang siapa naik ke rumah
orang dengan tidak berseru dsb., dan oleh penghuni rumah ia dibunuh, maka penghuni itu tiada bersalah karena itu dihalalkan
oleh dipati berempat suku.
104 Yang dalam naskah asli ditulis gutra ini kiranya sama dengan kutra pada halaman-naskah yang ke-11. Yang benar kiranya
kutra, karena aksara ka dan ga serupa bentuknya, hanya pada aksara ka terdapat tambahan garis kecil, yang bila terlupa,
menjadikannya ga.
82
Hayam raja sapuluh mas.
Barang mangiwat urang, dandanya satahil sapaha, urang pulang sarupanya. [13]
Jaka urang tandang bajalan basaja bawa minum makan lalukan.
Barang siapa urang mambawa atnya panjalak pasuguhi hantar tati dusun,
pakamitkan ulih urang punya dusun.
Maling tuak di datas di bawah, didanda lima mas.
[14] Maling bubu, bubu ditimbuni [..] padi sipanuhnya, jaka tida tarisi [..] lima mas
dandanya.
Barang ma[ng]uba[h] pancawida, didanda lima tahil sapaha.
Barang bahilang urang mata kareja yang purewa, sakati lima dandanya.
Barang siapa ba[15]rebunyi dusa sangkita, danda dua tahil sapaha.
Maling tebu dipikul dijujung digalas, lima kupang dandanya.
Jaka dimakan dipahalunya tanamannya tanamkan [...] sabatang di kiri sabatang di
kanan dikapit, digenggam sabatang di kiri [16] sabatang di kanan dibawa pulang tida
dusanya makan tebu itu[.]
Maling birah, kaladi, hubi, tuba dipahamba dua puluh dua lapan hari, tida handak
dipahamba, lima mas dandanya.
Maling bunga sirih pinang urang atawa sasanginya, dua puluh dua lapan [h]a[17]ri
dipahamba, tida handak dipahamba lima mas dandanya.
Maling padi satahil sapaha dandanya.
Maling hubi bajunjungan lima kupang, yang tida bajunjungan lima mas dandanya.
83
Untuk ayam raja sepuluh mas.
Barang siapa melarikan105 orang, dendanya satu seperempat tahil, dan orang
mengembalikan serupanya.106 [13]
Jika orang bertandang atau berjalan saja, bawakan dia minuman makanan dan
luluskan.
Barang siapa membawa perintah ....... disuguhi oleh ...... dusun, dijamin
keamanannya oleh orang dusun.
Maling tuak di atas dan di bawah didenda lima mas.
[14] Maling bubu,107 bubunya harus ditimbuni penuh dengan padi olehnya, jika tidak
memenuhi ini, dendanya lima mas.
Barang siapa mengubah surat-surat keramat (“pancawida”) didenda lima
seperempat tahil.
Barang siapa menghilangkan ......,108 didenda sekati lima [tahil].
// BARBU109 // Barang siapa [15] menimbulkan keributan dosa sengketa, dendanya
dua seperempat tahil.
Maling tebu yang dipikul, dijunjung ataupun digalas, lima kupang dendanya.
Jika dimakan di ..... [tempat] tanamannya ditanamkan, atau dikempit sebatang di kiri
sebatang di kanan, digenggam sebatang di kiri [16] sebatang di kanan dibawa pulang,
tidak salahnya makan tebu itu[.]
Maling birah, keladi, ubi, tuba diperhambakan 28 hari, kalau tidak mau
diperhambakan, lima mas dendanya.
Maling bunga sirih dan pinang orang, atau .......-nya, 28 [17] hari diperhambakan,
kalau tidak mau diperhambakan, lima mas dendanya.
Maling padi satu seperempat tahil dendanya.
Maling ubi yang berikut pohon lima kupang dendanya, yang tidak berikut pohon
lima mas dendanya.
105 Dalam asli termaktub mengiwat. Bandingkan bhs. Jawa Kuna angiwat, bhs. Sunda ngiwat ‘melarikan [seorang perempuan]’
(Zoetmulder, 1982:708) (Hardjadibrata, 2003:338).
106 Kemungkinan kalimat ini merujuk pada emas kawin yang masih tetap harus dibayar.
107 Maksudnya maling isi bubu, artinya maling ikan.
108 Dalam naskah asli termaktub mata karja yang purwa, yang dimaksud dengan kerja kiranya semacam upacara agama.
109 Pada kalimat berikut dalam naskah asli, kata ketiga adalah barbunyi, Rupanya, si penulis terburu memulai kalimat dengan
kata yang ketiga (barbu....).
84
Mali[ng] telur hayam, itik perapati ditumbuk tujuh tumbuk lima tumbuk urang
ma[18]nangahi, dua tumbuk tuhannya mukanya dihusap dangan tahi hayam tida tarisi
sakian tengah tiga mas dandanya.
Maling isi jerat, anjing s[a]ikur ia piso raut sahalai, dandanya.
Maling pulut isi pulut, lenga satapayan dandanya, tida tarisi, tengah tiga [19] mas
dandanya.
Maling kain, babat baju distar pari rupanya, sapuluh mas dandanya.
Maling basi babajan lima mas dandanya.
Maling kuraysani lima mas.
Mali[ng] [...] baja tupang, sapuluh mas dandanya, tida tarisi dibunuh.
Urang maru[20]gul sidandanya.
Urang maragang dua tahil sapaha, tida tarisi sakian dibunuh.
Maling hampangan tuak saparah udang sadulang tihang suku s[a]ikur babi hutan
s[a]ikurnya, tida tarisi sakian sapuluh mas dandanya.
Maling takalak panyali[21]n hijuk, lima kupang, panyalin mano, rutan lima mas,
panyalin akar sapuluh mas.110
Maling antilingan lima mas.
Maling pukat jala, tengkul, pasap, telai, giterang, lima mas dandanya[.]111
Mambakar dango, babinasa dangu paka[22]rangan urang, babinasa tal-taloy,
panaloyan urang, hatap dinding lantai rango, lima mas dandanya.
110 Dalam naskah asli, pada kedua tempat yang dibubuhi koma di kalimat ini, terdapat tanda baca pada lungsi yang berfungsi
sebagai titik.
111 Dalam naskah asli terdapat tanda koma, bukan titik.
85
Maling telur ayam, itik, merpati dipukul tujuh pukulan, lima pukulan oleh orang
yang memergoki, [18] dua pukulan dari tuannya, dan mukanya diusap tahi ayam; kalau
tidak terpenuhi, didenda dua setengah mas.
Maling isi jerat, dendanya seekor anjing dan112 sebilah pisau raut.
Maling pulut dendanya isi pulut bijan113 setempaian, kalau tidak terpenuhi dua
setengah [19] mas dendanya.
Maling kain, ikat pinggang, baju, dan destar serba rupanya, sepuluh mas dendanya.
Maling besi baja, lima mas dendanya.
Maling besi Kurasani, lima mas.114
Besi malela, baja TUPANG sepuluh mas dendanya; [jika] tidak dipenuhi, [malingnya]
dibunuh.115
Orang [20] [yang] memperkosa, seberapa pun dendanya.116
Orang [yang] .... dua seperempat tahil [dendanya], [jika] tidak dipenuhi sekian,
[malingnya] dibunuh.
Maling penampungan tuak ... udang sedulang ... seekor babi hutan ..., jika tidak
dipenuhi sekian, sepuluh mas dendanya.
Maling tengkalak 117 [21] pengganti ijuk lima kupang, pengganti ... rotan lima mas,
pengganti akar sepuluh mas.
Maling tangguk118 lima mas.
Maling pukat, jala, tangkul,119 pesap,120 telai,121 GITRANG, lima mas dendanya[.]
Membakar dangau, merusak dangau pekarangan [22] orang, merusak TAL-TALOI,
PANALOYAN orang, atap, dinding, lantai dangau, lima mas dendanya.
112 Dalam naskah asli termaktub ya yang tidak jelas apakah perlu diartikan ‘dan’ atau ‘atau’.
113 Sesamun oriental, juga dikenal sebagai lenga atau wijen.
114 Besi yang diimpor dari daerah Khorasan yang mencakup bagian timur laut Iran, bagian selatan Turkmenistan, dan bagian
utara Afghanistan. Besi Kurasani menjadi termasyhur di Indonesia karena mutunya yang tinggi.
115 Mengingat ketidakseimbangan hukum mati pengganti denda sekadar sepuluh mas, ada kemungkinan bahwa terjadi kesilapan
penulis yang terburu salah memasukkan ketentuan hukuman dari kalimat berikut.
116 Tampaknya, yang dimaksud di sini ialah bahwa besar dendanya tergantung pada berat perkaranya.
117 Semacam perangkap ikan yang dilapisi ijuk.
118 Bandingkan bhs. Kendayan antilikng ‘tangguk (semacam keranjang rotan atau jaring berningkai untuk menangkap ikan)’
(Adelaar, 2005:229).
119 Jermal besar bertangkai yang dapat ditahan di dasar air dan dapat pula diangkat ke permukaan air (Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, 2002:1140).
120 Semacam jala kecil, bhs. Lebong pesap (Hasselt, 1881:54).
121 Bhs. Kerinci telai ‘semacam pancingan rangkap’ (Sutan Kari, komunikasi pribadi 16 Desember 2004).
86
Punarapi jaka bahutang mas pirak riti rancung kangsa tambaga, si-lamanya batiga
puhun[,]122 singgan sapaha naik mas manikal.
Jaka bahutang beras padi, jawa, ja[23]gung, hanjalai, dua tahun katiga jamba beruk,
labih dua tahun katiga hinggannya manikal.
Punarapi jaka urang mambawa parahu [u]rang, tida diselangnya, hilang pacah
binasa, dua mas dandanya.
Jaka ia diselang [pasang?], hilang ta ia pacah binasa saraga[24]nya bayir bali, jaka tida
silihi sarupanya.
Tida [...] yang [...] liwat dari janjang, tuak satapayan hayam s[a]ikur kapulangannya.
Biduk pangayuh galah, kajang lantay pulangan, itu puan sakian raknanya.
Punarapi jaka urang [25] tuduh-manuduh, tida saksinya, tida cina tandanya, adu
sabung, barang tida handak sabung dialahkan.
Punarapi jaka urang mabuk pening salah langkah salah kata salah kakapan,
mambayir sapat sicara purewa.
Punarapi jaka urang ba[26]dusa sangkita hiram telihnya, belum ta suda peda d[ip]ati,
dapatan ta ulih jajanang, kena danda samu [...] wan dua kali sapaha, sapaha ka dalam,
sapaha peda jajanang lawan dipati.
Dipagat ulih manteri muda di luar hinggan tengah tiga [27] mas tida jajanang dipati
barulih.
Jaka baralahan lima mas samas parulihan dipati.
Hinggan sapuluh mas ka datas batahilan, dua mas parulihan dipati.
Punarapi peda benua. Peda sahaya, sapuluh tengah tiga mas sipatannya, sapu[28]luh
mas peda di[pa]ti tengah tiga mas peda urang punya anak.
Benua[.] Jaka ia bapungu[tka]n hanaknya, dipati dipenggil dahulu bakareja peda
dipati, jaka dipati kudian ulih bakajakan hanak didusakan[.]
122 Di antara dua kata ini terdapat tanda baca pada lungsi yang berarti tanda titik, yang tidak dapat dijelaskan.
87
Dan lagi, jika berhutang emas, perak, kuningan, RANCUNG, perunggu, tembaga,
setelah tiga kali ditagih[, hingga seperempat ... emas berlipat dua.
Jika berhutang beras, padi, jawawut, kaoliang123, [23] jelai124, selama dua masa tanam
masuk yang ketiga dikembalikan setimpal,125 kalau sudah lewat dari itu, dua kali lipat.
Dan lagi, jika orang membawa perahu orang tidak dipinjamnya,126 hilang hancur
lebur, dua mas dendanya.
Jika dipinjam, hilang karena hancur, seharganya [24] dibayar kembali.127 Jika tidak,
gantikan dengan yang serupa.
Tidak ... [tidak terbaca] ... lewat dari tangga, tuak setempayan dan ayam seekor
gantinya.
Untuk biduk, pengayuh, galah, tikar lantai gantinya, itu pun sekian RAKNAnya.
Dan lagi, jika orang [25] tuduh-menuduh dengan tiada saksinya, dan tiada tanda
bukti maka diadu [satu sama lain]; barang siapa tidak bersedia diadu, dinyatakan kalah.
Dan lagi, jika orang mabuk pening salah langkah salah kata, salah tunjuk, membayar
SAPAT SICARA PURWA.
Dan lagi, jika orang berdosa [26] sengketa HIRAM TELIHnya, belum diselesaikan pada
dipati, [tetapi] dapat selesai pada wakil, kena denda ... dua kali seperempat, seperempat
ke dalam, seperempat kepada wakil dipati (?).
Dipegat oleh menteri muda di luar [didenda] hingga dua setengah [27] mas, wakil
dan dipati tidak mendapat [bagian].
Jika kalah perkara [diputuskan bayar] lima mas, satu mas bagian dipati.
[Apabila] hingga sepuluh mas sampai bertahil-tahil, dua mas bagian dipati.
Dan lagi, pada negeri.128 Pada hamba dua belas setengah mas ukurannya, sepuluh
[28] mas untuk dipati, dua setengah mas untuk orang yang punya anak.
Benua129 — jika seseorang memungut anak, dipati diundang dahulu untuk
berupacara pada dipati; jika dipati kemudian boleh mengupacarakan anak, di...kan[.]
123 Dalam asli dikatakan jagung, tetapi yang sekarang disebut jagung berasal dari Amerika, baru masuk ke Indonesia di zaman
penjajahan. Sebelumnya istilah ‘jagung’ dipakai untuk kaoliang (sorghum). Demikian juga dalam bahasa Jawa Kuno (lihat
kamus Zoetmulder).
124 Jelai juga disebut enjelai atau jali-jali.
125 Dalam asli termaktub jamba barruk. Jemba adalah ukuran panjang (8 hasta). Beruk dalam bahasa Jawa adalah batok kelapa
yang dipakai sebagai takaran beras. Barangkali, yang dimaksud di sini adalah harus dikembalikan dalam jumlah yang
setimpal.
126 Maksudnya tidak dengan seizin pemilik.
127 Diganti dengan uang sesuai dengan nilainya.
128 Dalam asli memang kalimat tidak lengkap. Kiranya kesilapan si penulis, yaitu ada bagian teks selanjutnya yang terlewati.
129 Kata benua ini agaknya tidak sambung kemana-mana, sehingga dapat dianggap kesilapan si penulis
88
Sakian ta bunyi[29]nya atnya titah maharaja daremmaseraya.
Yatna-yatna sidang mahatmya saisi bumi kurinci, silunju[r] kurinci.
Samasta likitang kuja ali dipati, di wasèban di bumi palimbang, di hadapan paduka
seri maharaja dare[30]mmaseraya.
Bari salah sili[h]nya, suasta ulih sidang mahatmya samapta.
Persembahan kepada Sang Raja (berbahasa Sansekerta)
Pranemya diwang sirsa [a]maléswarang.
Seloka Dipati
Aum.
Pranemya serisa diwam, terilukyadipati stutim, nana-seteru [31] deretang wak[eti]
nitri satra-samuksayam.
Penutup teks yang menjelaskan seloka Dipati
Pranemya nama, tunduk manyambah, siresa na[ma] kapala, diwa nama diwata, teri
nama surega madya paretala, dipati nama labih deri peda sakelian, nana nama banyak,
deretang na[32]ma yang dikatakan, satra nama yang satra, samuksayam nama sarba
sakelian.
Ini saluka dipati.
89
Demikianlah bunyi [29] perintah titah maharaja Dharmasraya. Para pembesar Bumi
Kerinci, sepanjang Tanah Kerinci memberi perhatian sepenuhnya. Semua [yang terjadi
pada sidang besar] ditulis dengan lengkap oleh Kuja Ali, Dipati, di Waseban, di
Palimbang130 , di hadapan paduka Maharaja [30] Dharmasraya.
Setiap kesalahan diperbaiki oleh sidang para pembesar. Tamat. Persembahan kepada
Sang Raja (berbahasa Sansekerta)
Sembah dengan [menundukkan] kepala kepada Sang Dewa Suci131.
Seloka Dipati
Om, sembah dengan [menundukkan] kepala kepada Sang Dewa,
Pujaan kepada Sang Dipati di tiga buana, [ialah] surga, dunia, dan pretala,
Sang pembela [negeri] terhadap aneka musuh, yang berkata tegas,
Pemimpin para satriya.132
Penutup teks yang menjelaskan seloka Dipati
Pranamya berarti “menundukkan kepala dan bersembah.”
Sirsa berarti“kepala.”
Deva berarti “dewa.”
Tri (3) berarti “surga, dunia dan pretala.”
Dipati berarti “yang unggul133.”
Nana berarti “banyak.”
Dhrtam berarti [32] “apa yang dikatakan.”
Ksatra berarti “mereka yang menjadi satria.”
Samuccayam berarti “segala sesuatu.”
Demikianlah seloka Dipati.
130 Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Palimbang di sini bukan Palembang melainkan daerah penghasil emas.
131 Demikian terjemahan harfiah daripada nama Amaléswara. Kalimat pada keseluruhannya ini menrupakan persembahan kepada
sang raja. Dari sini menyusul seloka dipati dalam bahasa Sansekerta.
132 Di sini seloka berakhir; menyusul bagian penutup yang merupakan “penjelasan” seloka tersebut.
133 Di dalam teks asli: “lebih daripada sekalian.”